Berita Kriminal

Adiknya Ditahan Setelah Karyawan Gelapkan Lahan Tambang Batubara, Pihak Keluarga Datangi Kejagung RI

Diduga karyawan gelapkan lahan tambang batubara, keluarga pemilik perusahaan ini datangi Kejaksaaan Agung RI minta keadilan.

Editor: Panji Baskhara
Istimewa
Diduga karyawan gelapkan lahan tambang batubara, keluarga pemilik perusahaan ini mendatangi Gedung Kejaksaaan Agung RI untuk meminta keadilan, Rabu (15/6/2022). 

TRIBUNBEKASI.COM - Pihak keluarga dari pemilik PT KMI, SS alias WXJ, yakni Ong Fung sambangi Kantor Kejaksaan Agung (Kejagung) RI, Rabu (15/6/2022).

Kedatangan Ong Fung tersebut dalam rangka meminta bantuan keadilan kepada Kejagung RI terhadap adiknya, SS alias WXJ.

Diketahui, sang adik didera kasus dugaan penggelapan lahan tambang batubara milik perusahaannya sendiri, PT KMI.

Kasus bernomor LP/B/0787/IX/2019/Bareskrim tersebut dalam penanganan penyidik, dan sudah ada penetapan tersangka yakni HS.

Namun saat ini, status hukum HS terbilang tidak jelas lantaran saat ini HS masih bebas walau statusnya sudah jadi tersangka.

Lalu, kedatangan Ong Fung juga bahas soal perkara sengketa batubara dengan nomor perkara :10/Pid.B/2022/PN Plk.

Dimana perkara yang dipublikasikan di Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Palangkaraya di laman https://sipp.pn-palangkaraya.go.id/detil_perkara#.

Dimana secara umum disampaikan, terdakwa WXJ alias SS dijerat dengan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana pada Pasal 263 ayat (2) KUHP.

"Ini ada masalah serius dengan iklim hukum di negara ini, adik saya (SS alias WXJ) dan keluarga besar melakukan investasi di Indonesia dalam usaha tambang batu bara di Kalimantan Tengah"

"Namun kami ditipu oleh karyawan kami dengan digelapkannya lokasi tambang yang dibangun dengan modal dari keluarga kami" ucapnya.

"akan tetapi (SS) malah dijerat dengan perkara hukum pasal 263 KUHP yang saat ini kasusnya sedang diperkarakan di PN Palangkaraya,"

"Dan orang yang melakukan penipuan yaitu HS yang kami laporkan telah menggelapkan tambang kami kasusnya mandeg di Mabes Polri," paparnya kembali.

Ia mengatakan, HS saat ini masih berkeliaran bebas walau statusnya sudah ditetapkan sebagai tersangka.

"(HS) masih bebas berkeliaran padahal sudah menyandang status hukum sebagai tersangka" ungkapnya Ong Fung  didampingi penasihat hukumnya.

Menurutnya, pihaknya telah menggelar konferensi pers di Mabes Polri beberapa waktu lalu, dengan tujuan kasus ini bisa ditangani pihak berwajib dengan serius.

"Kami sangat serius memohon keadilan agar hukum ditegakkan dengan adil. Hari ini kami mendatangi Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk sekali lagi memohon perkara kami diproses dengan adil,"

"Perkara penggelapan dilakukan HS agar diproses, karena dia sudah ditetapkan jadi tersangka, dan selayaknya lah harus segera ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya" ucapnya.

Penasihat Hukum PT KMI, Dr (Cand) Erlangga Lubai mengatakan, saat pertama gelar perkara pada 26 Oktober 2020 dipimpin Kombes Anies Purnawan dan Saksi Ahli Pidana Ibu Ekawati, memberikan rekomendasi, atas tindak pidana pasal 372 KUHP oleh tersangka HS.

Dimana HS dinyatakan memenuhi unsur sebagai tersangka dan harus dilanjutkan.

"Namun mengapa hingga dua tahun berlalu masih tak jelas status hukumnya?" ujarnya.

Ia juga bertanya-tanya mengenai kasusnya selama dua tahun berlalu belum juga P-21.

Bahkan, berkas perkaranya masih tersimpan di meja penyidik tipidum Mabes Polri.

Menurutnya, hal ini tidak selaras dengan makna bunyi pasal 28 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945.

"Bahwa setiap warga negara Republik Indonesia berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum" tegasnya.

Dikatakannya, hukum harus ditegakkan oleh instansi penegak hukum yang memiliki tugas untuk dapat menjamin kepastian hukum itu sendiri, demi tegaknya ketertiban maupun keadilan yang hadir dalam hidup masyarakat.

“Kepastian Hukum yang dimaknai dengan kondisi di mana hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati."

"Jadi kalau sudah berstatus tersangka, ya kenapa tidak dilanjutkan status hukumnya dengan penahanan?" terang Erlangga.

Lebih lanjut Erlangga mengatakan, sesuai dengan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) No. B/103/1/2021/Dit. Tipidum Tertanggal 21 Januari 2021, oleh tim penyidik awal, terlapor HS ditetapkan sebagai tersangka.

Penetapan tersangka terhadap HS juga sesuai dengan undang-undang yang setidaknya penyidik telah menemukan dua alat bukti yang sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHP.

"Pihak Kejaksaan ke penyidik awal merekomendasikan, telah terpenuhinya unsur pidana 372 dan unsur TPPU serta penyidik diminta untuk membuka rekening terlapor."

"Akan tetapi belum dapat dilakukan sehingga dalam perkembangan perkara, tersangka masih berkeliaran dan terkesan seperti kebal hukum" jelasnya.

Saat gelar Perkara 18 Mei 2022 yang jadi rekomendasi dari kejaksaan adalah putusan Perkara Perdata Pembatalan MOU yang dibuat PT KMI dan PT TGM.

Sedangkan dalam perkara a quo yang jadi pokok permasalahan bukan perjanjian perdata yang dibatalkan, namun lahan batubara yang digelapkan dan dibiayai seluruhnya oleh PT KMI (Pelapor).

Lalu, MOU yang pernah dibuat sebagai jaminan hukum tersebut, kata dia, dikarenakan HS tidak mempertanggung jawabkan uang investasi dari PT KMI.

Dimana uang tersebut dipakai untuk pengurusan pembentukan PT TGM hingga diduga digelapkan oleh tersangka.

"Semua isi draf MOU yang dibuat juga merupakan inisiatif dari HS yang seolah-olah PT TGM yang digelapkannya sebagai jaminan untuk pembayaran hutang."

"Sedangkan pembatalan putusan tersebut oleh Pengadilan tidak ada sangkut pautnya dengan penggelapan lahan yang dilakukan oleh HS (terlapor) sebagai karyawan PT KMI" ucapnya.

Sementara itu, untuk Pasal 263 KUHP yang didakwakan kepada SS dan Erlangga, berbeda dengan fakta hukum di persidangan.

"Perkara pidana dengan menjeratkan pasal 263 KUHP yang didakwakan kepada WXJ selaku Direktur PT KMI dalam sengketa tambang batubara di Kalimantan Tengah diduga cacat hukum"

"Yaitu obscuur libel, dan error in persona (salah orang) karena yang menandatangani surat yang disangkakan palsu itu adalah MHY dan yang menggunakan dalam Dakwaan adalah Ibu SS"

"Ini pernah kami sampaikan dalam eksepsi (keberatan) namun mendapat putusan sela dari Majelis Hakim" ungkap dia.

Dirinya menerangkan, MHY sewaktu menandatangani Surat Angkut Asal Barang (SAAB) masih sah berstatus selaku Direktur PT TGM.

Akan tetapi, tuduhan yang disangkakan MHY sudah tidak berhak lagi menandatangani surat SAAB tersebut, karena sudah digantikan dalam RUPS di PT TGM.

"Faktanya, RUPS dibuat PT. TGM tidak didaftarkan di Kemenkumham, tapi hanya didaftarkan di Akte Notaris saja"

"Sehingga kita berpendapat apabila RUPS tidak didaftarkan di KEMENKUMHAM maka Ir. H. Mahyudin itu harusnya tetap dianggap sah masih sebagai direktur di perusahaan PT. TGM" lanjut Angga, sapaan akrab Erlangga.

Pria berprofesi sebagai pengacara dan aktif sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Jakarta (UNIJA) mengakui, jika PT TGM perusahaan tambang, sesuai dengan Undang Undang Minerba dalam melakukan RUPS cacat hukum.

"Karena mereka melakukan RUPS tanpa persetujuan Gubernur/pejabat terkait ataupun menteri dalam melakukan RUPS, itu lah cacatnya" paparnya.

Dijelaskan Angga, diduga surat yang ditandatangani oleh MHY yang dianggap palsu itu memang tanda tangan MHY sendiri dan bukan tanda tangan orang lain.

"Semisal tanda tangan A yang menandatangani B, itu baru dikatakan dipalsukan. Jadi disini ada dugaan kesalahan menerapkan pasal dakwaan dan salah orang (error in persona)." paparnya.

Ia juga mengatakan, diduga MHY menggunakan kop surat palsu dan stempel palsu.

"Menurut saya merupakan jerat hukum yang diajukan oleh penyidik dan jaksa yang mengada ada karena kop surat palsu dan stempel yang dianggap palsu tersebut sebenarnya tidak ada yang palsu"

"Karena saat pergantian stempel dan kop surat pihak PT TGM tidak pernah memberitahukan ke PT. KMI yang saat itu sebagai pemegang kerjasama eklusif sedang MHY sendiri sebagai salah satu direktur PT TGM tidak mengetahui"

"Apakah kop surat dan stempel tersebut telah diganti serta pergantian kop surat tersebut atas persetujuan siapa MHY tidak mengetahuinya, padahal MHY Direktur," terangnya lagi.

Maka itu, ia sempat memohon ke majelis hakim yang menyidangkan perkara tersebut harus bersifat objektif.

"Karena, seandainya ini pemalsuan apa yang dipalsukan? SAAB dikeluarkan oleh pemerintah dan kalau dianggap palsu,"

"Berarti pejabat-pejabat atau Instansi dalam kasus pemalsuan ini ikut terlibat dalam mengeluarkan surat tersebut"

"Namun karena mereka (Pemerintah) menganggap MHY memang benar masih sah sebagai Direktur PT.TGM, maka SAAB tetap keluar" paparnya kembali.

Adanya bukti yang menyatakan waktu RUPS PT TGM oleh petugas Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), agar bisa selesaikan permasalahan di intern perusahaan PT TGM, kata dia, maka tidak ada yang namanya surat palsu.

"Soal mengenai keterlambatan surat jalan itu karena keadaan alam, hal itu pun bukan dipalsukan tetapi tertunda dan tetap dihidupkan surat angkut tersebut" lanjutnya.

Diketahui, polemik WSJ alias SS dengan sangkaan pasal 263 KUHP yang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Palangkaraya Provinsi Kalimantan Tengah dengan nomor perkara : 110/Pid.B/2022/PN Plk masih terus bergulir.

Saat ini sudah masuk dalam tahap pemeriksaan saksi saksi baik saksi a charge maupun a de charge.

"Kami berharap Pengadilan Negeri Palangkaraya dalam memeriksa perkara ini dapat membebaskan WXJ alias SS dan MHY"

"Karena memang tidak ada yang namanya Surat dipalsukan (pasal 263 KUHP) dan itu semua sesuai prosedur dan hukum yang berlaku"

"Kita berharap Pengadilan ini harus bersih, Jujur dan menjaga Harkat serta Martabat Pengadilan" ungkapnya.

(TribunBekasi.com/BAS)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved