Berita Nasional

Bikin Pers Tak Merdeka dan Tak Independen, Dewan Pers Tegaskan Tolak RUU Penyiaran 

Ninik Rahayu menegaskan RUU Penyiaran sangat bertentangan dengan Pasal 4 dalam UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Editor: Ichwan Chasani
Tribunnews.com/Fersianus Waku
Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu saat memberikan keterangan dalam konferensi pers penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa, 14 Mei 2024. 

"Pemerintah saja mengakui, kenapa di dalam draf ini penyelesaian sengketa terkait dengan jurnalistik justru diserahkan kepada penyiaran?" imbuh Ninik.

Baca juga: Ratusan Calon Panwascam Kota Bekasi Jalur Umum untuk Pilkada 2024 Ikuti Seleksi CAT di Unisma

Baca juga: Usai Bacok Rekannya Hingga Tewas, Lelaki Ini Menyerahkan Diri ke Polisi, Apa Masalahnya?

Penolakan AJI dan Remotivi

Sebelumnya, penolakan serupa juga disuarakan oleh Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) dan Remotivi. 

Revisi atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran yang tengah berjalan ini dikhawatirkan mengancam kebebasan jurnalis hingga ruang digital.

Tertulis dalam draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 2 Oktober 2023 bahwa cakupan wilayah penyiaran diperluas, bukan hanya penyiaran konvensional seperti TV dan radio, melainkan juga mencakup penyiaran digital.

Sebagai konsekuensi dari perluasan kewenangan KPI, maka platform digital seperti Netflix, Amazon Prime, Vidio, dan platform lainnya harus tunduk pada UU Penyiaran yang baru serta diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia. 

"Perubahan ini dinilai mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital," kata Direktur Eksekutif Remotivi Yovantra Arief, dalam konferensi pers via daring, Rabu lalu, 24 April 2024.

Baca juga: Kadisdik Kota Bekasi, Uu Saeful Mikdar, Masuk Bursa Bacawalkot Pilkada 2024

Baca juga: Lowongan Kerja Bekasi: Rumah Sakit Karunia Kasih Butuh Tenaga Teknisi Gigi

Yovantra Arief menjelaskan, memasukkan platform digital dalam definisi penyiaran membuat konten digital harus patuh pada aturan-aturan yang sama dengan aturan TV konvensional, padahal medium dan teknologinya berbeda. 

"Ini tidak tepat karena platform digital memiliki logika teknologi yang berbeda dengan TV atau radio terestrial,” ujar Yovantra.

Hal berikutnya yang disoroti Remotivi adalah adanya pasal 56 ayat 2 yang berisi larangan atas berbagai jenis konten penyiaran, baik konvensional maupun digital.

Larangan-larangan ini mencakup tayangan terkait narkoba, perjudian, rokok, alkohol, kekerasan, atau unsur mistik. 

Beberapa jenis konten yang dilarang pun dinilai multiinterpretasi sehingga rentan untuk digunakan secara semena-mena.

Baca juga: Lowongan Kerja Karawang: PT Chang Shin Indonesia Butuh Tooling Engineering Assistant Manager

Baca juga: Sebelum Skenario Terbongkar, Pelaku Masih Jaga Warung Usai Habisi Pamannya, Motifnya Sakit Hati

Larangan-larangan ini berpotensi mengekang hak publik untuk mendapat konten yang beragam. 

Padahal di platform digital publik memiliki agensi lebih besar untuk memilih dan menyaring tontonan, berbeda dengan penyiaran konvensional. 

"Revisi ini juga memuat larangan atas tayangan yang menampilkan suatu profesi atau tokoh yang memiliki perilaku atau gaya hidup negatif, dan larangan atas rekayasa negatif informasi dan hiburan. Ketentuan ini sangat multitafsir, dan oleh karenanya berpotensi disalahgunakan," tambah Yovantra.

Halaman
123
Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved