Kasus Ginjal Akut

Tak Lagi Jual Obat Sirup Menyusul Maraknya Kasus Ginjal Akut, Apotek di Bekasi Tawarkan Obat Tablet

Penulis: Joko Supriyanto
Editor: Dedy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Sebuah apotek di Kota Bekasi sudah tidak lagi menawarkan obat sirup, Rabu (19/10/2022), menyusul instruksi Kementerian Kesehatan untuk tidak dulu menjual obat sirup selama penyelidikan penyebab kasus ginjal akut yang menyerang anak.

TRIBUNBEKASI.COM, BEKASI SELATAN --- Sejumlah pemilik Apotek di Kota Bekasi kini menarik obat sirup atau obat cair dari edaran untuk sementara waktu menyusul instruksi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait kasus ginjal akut.

Seruan Kemenkes ini menyusul merebaknya kasus gangguan ginjal akut misterius atau gangguan ginjal akut progresif atipikal yang menyerang anak-anak, umumnya balita.

Salah satu pegawai Apotek di Jalan Mayor Oking, Bekasi Timur, Kota Bekasi, Viali (23) mengatakan pihaknya sudah mendapatkan informasi terkait kasus ginjal akut untuk tidak lagi menjual obat sirup sementara waktu.

Saat ini, obat sirup pun sudah tidak lagi ditawarkan ke para konsumen.

BERITA VIDEO : SEJUMLAH APOTEK DI BEKASI TARIK OBAT SIRUP

"Kalau obat sirup kami masih ada. Tapi setelah ada informasi itu, kami pun untuk stop penjualannya," kata Viali ditemui, Rabu (19/10/2022).

Meski imbauan secara tertulis belum diterima, namun dari pihak Apotek dan penanggungjawab sudah mengintruksikan kepada pegawai mulai kemarin.

Oleh karena itu, dirinya pun mengaku sudah mengosongkan obat sirup dari estalase.

Baca juga: Kasus Gagal Ginjal yang Menyerang Anak Meningkat, Kementerian Kesehatan Hentikan Pemberian Obat Cair

Baca juga: Antiretroviral Obat HIV Kini Tersedia di 7 Puskesmas dan 2 Rumah Sakit di Karawang

"Edaran resmi belum cuma kalau dari pihak apotek sama penanggungjawab lebih baik menghindari seperti itu. Jadi kami mengikuti aja. Untuk barang tentu kami simpan dulu, sambil nunggu informasi selanjutnya," katanya.

Meskipun obat sirup tidak boleh dijual sementara waktu kepada konsumen.

Menurut Viali, untuk obat pengganti, pihaknya menawarkan obat tablet untuk konsumen.

Ia mencontohkan untuk obat penurunan panas untuk anak, bisa menggunakan merek proris supp.

"Penggantinya mungkin ada yang kalau misalnya demam itu ada yang lewat anus, kalo tidak yang berbentuk tablet, atau bisa juga yang herbal kayak madu gitu," ujarnya.

Sementara itu, salah satu warga Tina (34) mengatakan jika dirinya mengaku tak pernah membeli obat sirup untuk pereda panas untuk anak-anak.

Maka dari itu, ia lebih memilih untuk membeli baby fever yang ia anggap lebih nyaman untuk anak anak.

"Kalau saya memang ngak pernah beli yang sirup untuk anak anak ya. Kalo untuk menurunkan panas biasa saya lebih ke Baby Fever, kayaknya lebih nyaman ya. Harganya pun ngak begitu mahal," kata Tina.

Menyikapi dengan obat sirup yang tak boleh dijual sementara waktu menyusul peristiwa gangguan ginjal akut.

Ia pun berharap kepada Pemerintah untuk segera mengambil langkah, dan solusi yang diberikan.

Sebab, keberadaan obat sirup sendiri tentunya sudah lama beredar di masyarakat dan memang dibutuhkan. 

WHO Larang 4 merek obat batuk

Kasus gagal ginjal akut yang menyerang anak ternyata juga ditemukan di Gambia belum lama ini.

Sebagaimana dilansir laman BMJ, gagal ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) di salah satu negara di kawasan Afrika Barat telah menyebabkan 70 anak meninggal dunia

Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) pun turun tangan menyelidiki situasi tersebut.

Obat batuk

Mereka menduga kuat kasus AKI di Gambia disebabkan oleh senyawa kimia yang mencemari obat batuk dan influenza berbentuk cair atau sirup.

Berdasarkan hasil penyelidikan itu WHO mengeluarkan peringatan kewaspadaan pada 5 Oktober 2022, yaitu agar masyarakat waspada terhadap 4 jenama (merek) obat batuk cair buatan sebuah perusahaan farmasi di India.

Keempat jenama obat batuk itu diduga kuat terkait dengan peningkatan kasus AKI di Gambia.

"Empat obat ini adalah sirup obat batuk dan pilek yang diproduksi Maiden Pharmaceuticals Limited di India. WHO tengah melakukan investigasi lebih mendalam terhadap perusahaan tersebut, serta otoritas regulator di India," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang dikutip BMJ.

Tedros Adhanom kemudian merinci keempat obat batuk tersebut, yaitu Promethazine Oral Solution, Kofexmalin Baby Cough Syrup, Makoff Baby cough syrup, and Magrip N Cold syrup.

"WHO melakukan analisis laboratorium terhadap sampel dari masing-masing jenama obat batuk itu, dan menemukan diethylene glycol dan ethylene glycol dalam jumlah yang tak bisa ditolerir sebagai zat pencemar," ujar Tedros lagi.

Bantah

Maiden Pharmaceuticals disebutnya berlokasi Provinsi Haryana yang berada di bagian utara India.

Namun, sebagaimana dilansir laman NRP, sebuah media massa di India, pihak Maiden Pharmaceuticals dan otoritas regulator obat di India membantah temuan WHO itu.

Meski begitu, otoritas regulator obat memerintahkan pabrik Maiden Pharmaceitucals di Sonuipet, Haryana, dilarang beroperasi sementara waktu karena ternyata di sana ditemukan 12 pelanggaran.

Namun tak dijelaskan dalam artikel itu jenis pelanggaran yang dilakukan.

Lima kali

Menurut NRP, industri farmasi di India sangat besar dan memasok obat ke 200 negara termasuk Amerika Serikat.

Total penjualan yang diraih industri obat India disebut-sebut sampai 50 miliar dolar AS.

Hanya saja, menurut sejumlah aktivis kesehatan masyarakat India, industri sebesar itu tak mendapat pengawasan pemerintah secara selayaknya sehingga rentan terjadi pelanggaran berat.

Salah satu aktivis itu, Dinesh Thakur, mengungkapkan kepada NPR bahwa kasus keracunan diethylene glycol (DEG) sudah 5 kali terjadi di India.

Pertama pada tahun 1972 di kota Madras, yang kini bernama Chennai, menewaskan 15 anak.

Kemudian kasus serupa terjadi pada 1986 di Mumbai dengan korban 14 pasien.

Dua tahun kemudian, 1988, peristiwa serupa terulang di kota Bihar yang menewaskan 11 anak.

Pada 1988 kasus keracunan DEG terjadi di kota Gurgaon dengan korban 33 anak.

Peristiwa paling akhir terjadi pada Desember 2019 di kota Jammu yang mengakibatkan 11 anak meninggal dunia.

(Sumber: TribunBekasi.com, Joko Supriyanto/Jos/AC Pingkan Ulaan/Ink/BJM, NPR)