TRIBUNBEKASI.COM, DEPOK - Universitas Indonesia menjadi entrepreneurial university, ini upaya yang dilakukan UI.
Universitas Indonesia saat ini mengukuhkan diri sebagai Entrepreneurial University.
Sebab, UI dapat memajukan sains, menemukan teknologi baru, dan menggerakkan pasar serta industri baru.
Tak hanya itu, UI juga menghasilkan inovasi yang disitasi oleh peneliti lain di dunia dan industri.
Nah, seperti apa kiprah UI untuk mengukuhkan diri sebagai entrepreneurial university? Simak wawancara Warta Kota dengan Sekretaris Universitas Indonesia dr. Agustin Kusumayati, M.Sc., Ph.D.
Apa saja yang telah diwujudkan UI sehingga dapat menjadi entrepreneurial university?
Baik, semangat untuk menjadi entrepreneurial university ini salah satunya dipicu oleh situasi pandemi Covid-19. Saat itu keadaan serba susah, ekonomi terpukul, dan masyarakat juga terpukul.
Otomatis perhatian pemerintah tertuju kepada masyarakat sehingga alokasi anggaran untuk perguruan tinggi juga berkurang. Anggaran hanya diberikan hanya untuk pelayanan dasar saja agar bisa bertahan hidup, tidak untuk hal-hal lain seperti inovasi.
Sementara di sisi lain UI tetap harus berkembang dan menjaga reputasinya, bukan hanya di Indonesia tetapi juga di kalangan global. Di situlah kita melihat bahwa Universitas Indonesia harus mampu lebih mandiri.
Selama ini UI sudah berupaya mandiri, tetapi dorongan untuk kemandirian ini sangat kuat saat pandemi Covid-19. Lalu, bagaimana caranya mandiri? Salah satunya cara dengan menjadi entrepreneurial university.
Apa maksudnya entrepreneurial university?
Selain melakukan tugas utama tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,
UI mengarahkan kegiatan-kegiatan tersebut agar bisa menghasilkan pendapatan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat, termasuk para mahasiswa.
Pandemi Covid-19 juga mengajarkan bahwa kita masih kurang mandiri. Bikin masker saja tidak bisa, begitu pula ventilator.
Baca juga: Strategi dan Kebijakan Universitas Indonesia Mantapkan Diri Menjadi Entrepreneurial University
Vaksin juga kita tidak punya. Kita mau beli vaksin, tetapi yang punya barang tidak mau jual karena dia mau memenuhi kebutuhan sendiri.
Di situlah pelajaran besar bagi bangsa Indonesia bahwa kita harus mandiri.
Situasi ini memicu UI untuk terjun langsung membantu masyarakat sekaligus memantapkan keinginan sebagai entrepreneurial university. UI lalu membuat ventilator, swab stick, dan peralatan lainnya.
Untuk mengembangkan peralatan ini, UI tidak bisa sendiri. Kita mengerahkan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk industri yang memiliki idealisme yang sama untuk meningkatkan keberdayaan dan kemandirian Indonesia.
Kalau ditanya, inovasi apa yang telah menghasilakan non BOP (biaya operasional pendidikan) paling banyak? Swab stick. Itu yang paling banyak.
Ventilator juga kita buat dan produksi pertamanya dihibahkan ke pemerintah untuk penanganan Covid-19.
Saat ini produknya sudah tersedia di pasar. Untuk produksinya, kita kerja sama dengan industri karena UI tidak punya pabrik.
Setelah itu, muncul produk-produk lainnya dari karya-karya penelitian yang sebelumnya memang sudah diarahkan untuk dihilirkan.
Sekarang sudah banyak hasil penelitian UI yang dihilirisasi. Ada produk herbal dari Fakultas Farmasi bersama Fakultas Teknik. Ini sudah menjadi sebuah usaha yang multidisiplin.
Fakultas Kedokteran juga memiliki banyak produk-produk yang berguna bagi masyarakat dan bisa dihilirkan.
Baca juga: Universitas Indonesia Terima Donasi Ambulans dari ILUNI FEUI 83. Apa Kata Rektor UI
Jadi kalau kita bicara entrepreneurial university, yang langsung terpikirkan adalah bagaimana universitas menghasilkan karya ilmiah, riset dan inovasi yang bisa dihilirkan atau diproduksi untuk kepentingan masyarakat sehingga UI bisa mendapatkan penghasilan.
Salah satu isu utama global saat ini adalah perubahan iklim. UI sudah menghasilkan karya terkait hal ini melalui produk bis listrik.
Bus listrik ini sudah dipakai saat pertemuan G-20 Summit di Bali tahun lalu dengan aman, lancar dan tidak pernah mogok.
Namun UI tidak hanya menghasilkan produk tangible, tetapi juga intangible. Produk-produk ini dihasilkan oleh fakultas ilmu sosial-humaniora.
Mereka menghasilkan kajian-kajian yang bisa memberikan input bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan dan membuat program kerja.
Di rumpun ilmu kesehatan, ada juga fakultas yang menghasilkan karya intangible yaitu Fakultas Kesehatan Masyarakat yang memberikan imput untuk policy making.
Jadi itu social entrepreneurship. Perguruan tinggi tidak boleh lepas dari unsur sosial.