Bahlil Raih Gelar Doktor

Pengamat Jamiluddin Setuju UI Tangguhkan Kelulusan Bahlil Lahadalia sebagai Doktor, Ini Alasannya

Penulis: Yolanda Putri Dewanti
Editor: Dedy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Bahlil Lahadalia --- M. Jamiluddin Ritonga, pengamat yang juga dosen di salah satu perguruan tinggi Jakarta mengatakan, langkah UI menangguhkan kelulusan gelar doktor Bahlil Lahadalia perlu dilakukan karena saat ini banyak lulusan doktor yang kualitasnya diragukan. 

TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA --- Ketegasan pihak Universitas Indonesia (UI) yang menangguhkan kelulusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebagai doktor, kiranya layak diikuti kampus lain di tanah air.

Hal itu disampaikan M. Jamiluddin Ritonga, dosen di salah satu perguruan tinggi Jakarta. Jamiluddin mengatakan, langkah UI menangguhkan kelulusan gelar doktor Bahlil Lahadalia perlu dilakukan karena saat ini banyak lulusan doktor yang kualitasnya diragukan. 

“Ada kesan sebagian lulusan gelar doktor (S3) dalam negeri kualitasnya tak jauh beda dengan lulusan master (S2). Hal itu setidaknya bisa dilihat dari kualitas disertasi yang tak jauh berbeda dengan thesis,” ucap pria yang akrab disapa Jamil saat dikonfirmasi mengenai penangguhan gelar doktor Bahlil Lahadalia, Kamis (14/11/2024).

Jamil menilai, kecenderungan yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan S2 dan S1. Banyak thesis yang kualitasnya tak jauh beda dengan skripsi.

BERITA VIDEO : PICU KONTROVERSI! UNIVERSITAS INDONESIA RESMI TANGGUHKAN KELULUSAN MENTERI ESDM BAHLIL LAHADALIA SEBAGAI DOKTOR

“Hal itu terjadi tentu disebabkan banyak faktor. Salah satunya, karena ada kewajiban keluaran antar input dan output. Kalau hal ini tidak dipenuhi dapat berpengaruh terhadap akreditasi perguruan tinggi,” jelas dia.

Akibatnya, sebagian kampus melakukan "cuci gudang" bila input dan output tidak seimbang. Mahasiswa yang tak layak didorong untuk sidang, meskipun karya ilmiahnya belum layak.

Dia menjelaskan, perguruan tinggi seolah salah bila tidak bisa mengantarkan mahasiswa lulus sarjana atau master atau doktor.

Padahal tidak semua orang harus menjadi sarjana atau master atau doktor. Hanya mahasiswa yang punya kualifikasi akademik tertentu saja yang memang layak lulus.

Baca juga: Tangguhkan Gelar Doktor Bahlil Lahadalia, UI Segera Gelar Sidang Etik Potensi Pelanggaran  

“Jadi, selama aturan input dan output itu masih dijadikan salah satu penilaian akreditasi, maka peluang cuci gudang akan terjadi di perguruan tinggi. Hal itu akan menambah banyaknya sarjana atau master atau doktor yang kualitasnya diragukan,” ungkapnya.

“Kalau doktor dan master seperti itu yang mengajar di perguruan tinggi, maka dapat dipastikan akan terjadi penurunan kualitas pada lulusan berikutnya. Hal ini tentunya akan semakin menurunkan kualitas perguruan di tanah air,” tambah dia.

Hal itu terjadi karena mereka sebenarnya belum cukup layak untuk mengajar di S1 atau S2 atau S3. Mereka hanya punya "SIM" tapi ilmu mereka belum cukup untuk menjadi dosen di S1 atau S2 atau S3. 

Hal itu terjadi karena perguruan tinggi kerap hanya melihat gelar dosen dari sisi administratif, bukan kualifikasi akademiknya. 

Semua itu harus dipenuhi untuk memenuhi salah satu persyaratan akreditasi. Semakin banyak dosen bergelar doktor, maka semakin tinggi nilai akreditasinya. 

Semua itu membuat idealisme perguruan tinggi kerap menjadi terdegradasi. Perguruan tinggi akhirnya menjadi lebih pragmatis dengan merekrut dosen bergelar doktor untuk pemenuhan administratif.

Halaman
12