Guru Besar IPB Desak Pencabutan Permen LH yang Jadi Dasar Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus LH

Penulis:
Editor: Ign Prayoga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Diskusi bertajuk Menghitung Kerugian Lingkungan dengan Permen LH No 7/204, Tepatkah?. Diskusi ini diselenggarakan di kampus IPB University, Bogor, Jumat (13/12/2024). 

TRIBUNBEKASI.COM, BOGOR - Metode penghitungan kerugian negara pada kasus kerusakan lingkungan hidup dinilai rawan penyimpangan.

Bahkan, kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan yang dianggap telah merusak lingkungan bisa jadi bancakan.

Sebagai catatan, payung hukum penghitungan kerugian pada kasus kerusakan lingkungan hidup adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7 Tahun 2014.

Sedangkan ganti rugi yang dibayar perusahaan yang diberi sanksi disetor ke negara sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

Berdasarkan kondisi ini, sejumlah guru besar dan praktisi hukum mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7 Tahun 2014.

Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan, Fakultas Kehutanan IPB, Prof Dr Ir Sudarsono Soedomo MS MPPA menekankan kepedulian terhadap lingkungan tidak berarti mengorbankan kepentingan lain, termasuk ekonomi. 

Menurutnya, sejumlah persoalan menjadi latar belakang munculnya desakan pencabutan Permen LH No 7 Tahun 2014. 

Persoalan tersebut di antaranya metode penghitungan kerugian lingkungan yang menggelembung karena ada elemen yang dihitung dua kali, bahkan bisa tiga kali.

Juga penerapan Permen LH No 7 Tahun 2014 sebagai alat penghitung kerugian negara dalam kasus hukum sedangkan pada kasus lain yang digunakan sebagai dasar penghitungan adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Parahnya lagi, denda yang diperoleh negara melalui putusan pengadilan tidak diperuntukkan bagi pemulihan lingkungan yang rusak. 

“Kerugian itu dianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak, PNBP. Artinya jika kita ingin PNBP tinggi maka  kerusakan negara harus tinggi, apa begitu? Itu kan salah logika,” kata Sudarsono Soedomo pada diskusi bertajuk “Menghitung Kerugian Lingkungan dengan Permen LH No 7/204, Tepatkah?“ yang diselenggarakan di kampus IPB University, Dramaga, Bogor, Jumat (13/12/2024). 

Sudarsono pun membeberkan alur yang lebih tepat. “Kerugian lingkungan itu kita hitung, berapa kerugiannya? Uang harus dikembalikan lagi kepada lingkungan, bukan PNPB. Dikembalikan lagi ke lingkungan. Ini yang tidak terjadi,” katanya. 

Sudarsono menambahkan, situasi jadi makin rumit ketika ahli yang ditunjuk menghitung kerugian berdasarkan Permen LH No 7/2014 adalah ahli yang jadi saksi di pengadilan. 

Hal ini menimbukan kesan negara secara tidak langsung menjadikan beleid tersebut sebagai bancakan untuk menaikkan PNBP dengan dalih kerusakan lingkungan. 

“Kurang lebih seperti itu (bancakan PNBP). Jadi PNBP bukan dikembalikan ke lingkungan tapi jadi mobil baru, yang menikmati bukan rakyat terdampak,” katanya. 

Sudarsono mendorong pemerintahan Prabowo dapat merevisi Permen LH No 7/2014. Bahkan pemerintah diharapkan segera menyusun peraturan baru pengganti Permen LH No 7/2014 dan penyusunannya melibatkan akademisi di foum-forum akademik untuk memastikan kebenaran prosedur dan metoda penghitungan yang digunakan.

Sehingga nilai kerugian lingkungan dapat dipertanggungjawabkan dan memberi rasa keadilan bagi masyarakat. 

“Sebelum ada peraturan baru tentang penghitungan kerugian lingkungan yang secara akademis ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, maka demi menjaga nama baik institusi, keterlibatan akademisi dalam penghitungan kerugian lingkungan sebaiknya sangat dibatasi atau dihentikan sama sekali,” ujarnya. 

Pendapat senada disampaikan Guru Besar Bidang Ekonomi, SDA dan Lingkungan, FEM IPB, Prof Dr Ir Akhmad Fauzi, M.Sc.

Menurutnya, di Indonesia ganti rugi kerusakan lingkungan menjadi penghasilan negara bukan pajak (PNBP). Sementara di Amerika Serikat sebagian besar dikembalikan ke alam, bukan jadi pendapatan negara.

"Selain itu di Amerika perhitungan kerugian negara juga harus didiskusikan secara panel,” ucapnya.

Di lokasi yang sama, pakar hukum kehutanan Universitas Al Azhar, Dr Sadino, SH MH memiliki argumen yang sama perihal regulasi Permen LH No 7/2014 sebagai malapraktik. 

Ia menyampaikan setidaknya sudah ada 42 perusahaan menjadi korban perkara lingkungan menggunakan Permen LH No 7/2014 dengan nilai total kerugian yang dihitung Rp 29 triliun.

“Regulasi Permen LH No 7 sudah malpraktek. Saya pernah komplain ke Kadin, ada 42 perusahaan jadi korban perkara lingkungan. Salah satunya  PT CA yang dipaksa membayar denda miliaran rupiah, tapi tidak pernah ada pemulihan. Perhitungan sebenarnya sulit tapi putusannya gampang banget,” tutur Sadino. 

“Agak mengherankan kalau pengusaha diberi izin tapi lahan tak bisa dieksploitasi. Kalu begitu tutup saja semua," katanya.

Sadino turut mengkritisi perihal isu lingkungan disangkutpautkan ke ranah korupsi. 

Kerugian lingkungan bukan kerugian negara jadi seharusnya dikembalikan ke lingkungan. 

Sadino mengingatkan dalam beleid perlu ada pemilahan sektor menyangkut lingkungan.

“Karena nafas dalam Permen LH No 7 itu semua dipulihkan menjadi hutan. Padahal lahan itu sudah diproyeksi jadi lahan perkebunan, misalnya. Bagaimana itu dihutankan. Sehingga harus dipilah pilah," ujar Sadino. 

"Kalau untuk privat seperti apa hitungannya, terus kalau hutan alam seperti apa, konservasi seperti apa, kalau masih satu aturannya standarnya masih satu, semua akan rugi,” kata dia.

Sadino melanjutkan, Presiden Prabowo telah mencanangkan ketahanan pangan dan energi dalam program kerjanya, namun jika  penerapan Permen LH No 7 secara serampangan apalagi diseret ke ranah korupsi.

“Ssekarang pelaku usaha akan takut. Pada saat dia membuka lahan, maka mereka akan dianggap merusak lingkungan.  Saya pikir orang tidak mau usaha, dengan risiko yang sangat tinggi,” ujar Sadino. 

“Akhirnya program pak Prabowo, terhadap ketahanan pangan dan energi kalau tanpa didukung dengan kesediaan lahan yang bisa dikelola dengan baik, ya mau menanam di mana? Apa yang mau ditanam. Harapan kami direvisi, peraturan menteri ini semua diubah, agar semua harus jelas,” katanya.

Sebelumnya, publik sempat dihebohkan dengan pernyataan Kejaksaan Agung yang menyebutkan adanya kerugian lingkungan yang mencapai Rp 300 triliun dalam kasus dugaan korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung. Kejaksaan menggunakan Permen LH No 7/2014 ini sebagai dasar penghitungan kerugian negara dalam kasus tersebut. (*)