Nekat Mengkritik Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, Remaja Putri di Bekasi Malah Menuai Kecaman Netizen

Penulis:
Editor: Ign Prayoga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DIHUJAT - Seorang remaja perempuan di Kabupaten Bekasi, mengkritik pedas kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi karena rumahnya yang berada di bantaran kali digusur. Namun ia malah dihujat warganet

TRIBUNBEKASI.COM, BEKASI - Seorang remaja putri warga Bekasi yang mengkritik Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, menuai kecaman dari netizen.

Perempuan itu awalnya mengkritik kebijakan Gubernur Jabar di wilayah Bekasi terkait penggusuran rumah di bantaran kali.

Beberapa waktu lalu, Dedi Mulyadi mencanangkan program penertiban bangunan di bantaran Kali Bekasi, di wilayah Kota maupun Kabupaten Bekasi.

Gubernur Jabar memerintahkan penggusuran karena bangunan liar di  bantaran menjadi salah satu penyebab banjir tahunan.

Ketika penertiban mulai dijalankan, muncul suara sumbang dari seorang remaja putri. Dia mengkritik kebijakan Gubernur Jabar lewat unggahan di media sosial TikToknya, pada Senin (21/5/2025).

Namun unggahan tersebut tidak berhasil menuai simpati. Netizen justru menghujat remaja putri itu dan membalas pernyataannya dengan sindiran pedas.

Sebagaian besar netizen mengaku mendukung langkah Dedi Mulyadi untuk menggusur bangunan liar yang ada di bantaran Kali Bekasi.

@Sahrill: mereka membongkar tanpa musyawarah denganmu? hei nona apakah orang tuamu sebelum membangun rumah sudah bermusyawarah dengan yg punya lahan?

@KURNIAWAN2 22:ini mah ibarat yang punya hutang lebih galak dri yang nagih 

@Deris Nguyễn:Saya acungi jempol untuk keberanian mengungkapkan pendapat, kritik dan aspirasinya, namun adek cantik harusnya sadar bahwa memang keluarga adek salah membangun bukan ditanah sendiri. 

Pertanyakaan Kebijakan Dedi Mulyadi

Meski dibangun di atas tanah negara, remaja itu tetapi tidak terima ketika eskavator menghancurkan rumahnya.

Ia lalu mengkritik kebijakan Dedi Mulyadi yang menurutnya tidak memperhatikan nasib rakyat kecil.

"Lucu ya, katanya pembangunan tapi yang dikorbankan rakyat kecil. Proyek besar terus diluncurin," ucap remaja berambut panjang itu di media sosial TikToknya, pada Senin (21/4/2025).

Remaja itu menduga kebijakan yang dibuat Dedi Mulyadi bukan untuk mensejahterakan rakyat, tapi hanya untuk mendapatkan validasi agar dibilang lebih baik dari pemimpin sebelumnya.

"Berawal dari larangan sepeda motor, sekolah tanpa wisuda, bahkan bendungan membuat penduduk terusir dari rumah mereka," ujar remaja tersebut.

"Katanya untuk rakyat tapi kenapa rakyat kecil yang dikorbankan? Terkadang gue mikir apakah ini benar-benar untuk kemajuan atau hanya sekadar validasi? Biarkan terlihat berbeda. Biarlah disangka lebih hebat dari sebelumnya," imbuhnya.

Remaja yang belum diketahui namanya ini mengaku sudah empat hari tinggal tanpa rumah.

"Tidak semua orang bisa berteriak jadi gue bersuara. Karena diam bukan berarti rela dan bicara bukan berarti menentang," katanya.

"Hari ini adalah hari ke-4 rumahku digusur. Mungkin besok bisa r rumah kalian yang digusur," imbuhnya.

Remaja tersebut lalu mengaku hanya ingin mendapatkan keadilan.

"Terbungkus rapi atas nama pembangunan. Namun, di manakah keadilan? Kami hanya meminta seseorang untuk dihormati sebagai manusia karena masyarakat bukanlah tempat untuk memamerkan kebijakan," ucapnya.

"Dan ingatlah suara yang tersakiti bisa menjadi gema yang paling keras," imbuhnya.

Pada bagian caption remaja tersebut, mengaku ia dan keluarganya sudah bertahun-tahun tinggal di rumah yang dibangun di atas tanah negara.

Ia lalu mengaku merasa kecewa, karena saat penggusuran tak ada musyawarah antara pemerintah dengan keluarganya.

"Coba bayangin jika rumahmu dihancurkan tanpa musyawarah. Kami memang tinggal di tanah negara, tapi kami hidup dan membangun di sana selama bertahun-tahun,"

Sekarang, bukan hanya rumah yang hilang, puingnya pun di angkut dan dijual tanpa izin. 

Katanya ada konpensasi, tapi yang kami pegang hanya sisa reruntuhan. Katanya demi rakyat, tapi kenapa rakyat disingkirkan?

 Kalau ini untuk kebaikan, kenapa kami tak pernah diajak bicara? Jangan-jangan ini bukan soal kepentingan rakyat, tapi soal pencitraan. Rakyat dijadikan latar, supaya yang berkuasa bisa tampil paling peduli," tulisnya.

 

Artikel ini telah tayang di TribunJakarta.com