Berita Daerah

Tradisi Mandi Keramas di Cisadane, Antropolog: Semodern Apapun, Manusia Masih Butuh Spiritualitas

Antropolog Prof Myrtati D Artaria menilai perilaku masyarakat melakukan tradisi mandi keramas di Sungai Cisadane, adalah bentuk sebuah penyucian jiwa.

Penulis: Gilbert Sem Sandro | Editor: Panji Baskhara
Wartakotalive.com/Gilbert Sem Sandro
Ratusan warga RW 01 Kampung Bekelir, Kelurahan Babakan, Tangerang, gelar tradisi mandi keramas dalam rangka menyambut bulan suci Ramadan, Jumat (1/4/2022). 

TRIBUNBEKASI.COM - Ratusan warga RW 01 Kampung Bekelir, Kelurahan Babakan, Tangerang, gelar tradisi mandi dan keramas.

Tradisi mandi keramas ini berlangsung di Sungai Cisadane, dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan 1443 Hijriah.

Menanggapi hal tersebut, Prof Myrtati D Artaria, seorang Antropolog menilai perilaku masyarakat yang melakukan tradisi tersebut adalah sebuah penyucian jiwa.

Sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dalam melakukan penyucian jiwa, seperti mandi dan keramas di sungai atau menceburkan diri ke Sungai Cisadane adalah simbol bagian dari penyucian jiwa.

"Aktivitas warga Kampung Bekelir yang melakukan tradisi mandi keramas ataupun menceburkan diri ke Sungai Cisadane yang mereka sebut sebagai tradisi itu adalah cara mereka melakukan pencucian jiwa," ujar Prof Myrtati D Artaria saat diwawancarai Wartakotalive.com, Jumat (1/4/2022) malam.

"Perilaku manusia untuk penyucian jiwa tersebut bermacan-macam bentuknya, seperti tradisi mandi keramas ataupun menceburkan diri ke Sungai Cisadane itu adalah simbol bagian dari penyujian jiwa," jelasnya.

Mirta menjelaskan, masyarakat yang memiliki aktivitas tradisi yang turun temurun terus dilakukan sebagai bentuk dalam menjalankan spiritualitas.

Menurutnya, kegiatan spiritualitas yang bertujuan untuk penyucian diri, tidak hanya pada umat Islam, melainkan pada agama dan kepercayaan lainnya.

Hal itu menujukan, manusia membutuhkan penyeimbang hidup dari sisi religi, untuk memenuhi ketenangan pada jiwa setiap manusia.

"Warga Bekelir melakukan tradisi itu jelang bulan puasa, tapi puasa tidak hanya dilakukan oleh umat musli, tetapi Katolik dan kepercayaan Kejawen juga meyakini aktivitas puasa, jadi hal itu memang ada di berbagai kepercayaan," kata Myrtati.

"Karena itulah manusia itu merasa membutuhkan adanya penyeimbang untuk ketenangan jiwanya, maka disitulah fungsi religi untuk manusia," ungkapnya.

Oleh karena itu Mirta menyatakan, bahwa perkembangan jaman dan kemajuan teknologi, tidak akan membuat spiritualitas manusia yang telah turun temurun dilakukan hilang.

Sebab ia menilai, manusia membutuhkan pegangan teguh, lantaran manusia merupakan bagian dari alam semesta.

Dimana pegangan teguh yang dimaksud itu adalah makhluk yang lebih mulia dari manusia.

"Kalau dari pengamatan saya manusia yang memiliki pemikiran sangat kritis dan maju di dunia akademik, mereka tetap merasa dan membutuhkan pegangan agama"

Halaman
12
Sumber: Wartakota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved