Berita Kriminal

Polisi Gandeng PPATK Selidiki Aliran Dana Khilafatul Muslimin: Sifatnya Berkesinambungan Ya

Polisi gandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna mengetahui aliran dana Khilafatul Muslimin.

Penulis: Miftahul Munir | Editor: Panji Baskhara
Gorontaloprov.go.id via motorplusonline.com
Ilustrasi: Polisi gandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna mengetahui aliran dana Khilafatul Muslimin. 

TRIBUNBEKASI.COM - Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya masih terus selidiki 21 rekening milik kelompok Khilafatul Muslimin.

Penyelidikan tersebut dilakukan Polda Metro Jaya setelah melakukan penggeledahan markas Khilafatul Muslimin beberapa waktu lalu.

Dirketur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Hengki Haryadi, mengatakan, setiap hari anggota Khilafatul Muslimin yang sudah dibaiat, wajib memberikan infak sebesar Rp 1.000 sampai 30 persen.

"Pemberian infak itu sesuai dengan penghasailan yang diterima selama satu bulan," ucapnya Sabtu (18/6/2022).

Menurutnya, kelompok ini memberikan dana secara bersinambungan dan jumlahnya masih terus dihitung.

Polisi gandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) guna mengetahui aliran dana Khilafatul Muslimin itu.

"Ini yang masih kita telusuri bagaimana pendanaan dari pada kelompok ini, kita sifatnya berkesinambungan ya," jelasnya.

Sebelumnya, kelompok Khilafatul Muslimin memiliki 25 sekolah yang tersebar di Indonesia.

DImana biaya pendidikan dari orang tua siswa yang telah dibaiat agar gabung ke organisasi masyarakat tersebut.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Hengki Haryadi mengatakan, karena orang tuanya sudah dibaiat maka pendidikan siswa dilakukan secara gratis.

"Tapi wali muridnya akan dibaiat wajib memberikan infak Rp 1.000 perhari," ucapnya, pada Kamis (16/6/2022).

Mantan Kapolres Metro Jakarta Pusat ini akui, ada puluhan ribu data warga yang sudah dibaiat oleh kelompoknya.

Hal ini terbukti dari buku ditemukan di markas Khilafatul Muslimin dan ada nomor induk warga dianggap sebagai KTP.

"Setelah kami klasifikasi (warga yabg tergabung) yang tertinggi wiraswasta, kemudian petani 20 persen, karyawan 25 persen, guru 3 persen, termasuk di sini ada ASN dan dokter serta lain sebagainya," tutur Hengki.

Polisi berpangkat melati tiga ini akui, ada keprihatinan ke peserta didik karena tidak diajarkan ideologi Pancasila.

Sumber: Wartakota
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved