Sejarah Jakarta

Sejarah Jakarta: Gedung Kesenian Jakarta Dibangun Sejak 1821 Pernah Disebut Gedung Komedi

Gedung Kesenian Jakarta dibangun tahun 1821 di Weltevreden yang saat itu dikenal dengan nama Theater Schouwburg Weltevreden

Penulis: Desy Selviany | Editor: Lilis Setyaningsih
Kompas.com/Arimbi Ramadhiani
Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) adalah situs cagar budaya seni satu-satunya yang dimiliki DKI Jakarta. 

TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA ------ Jakarta memiliki gedung kesenian tertua yang usianya mencapai dua abad.

Gedung Kesenian Jakarta yang sudah dibangun sejak tahun 1821 punya banyak sejarah Jakarta.

Gedung Kesenian Jakarta dibangun tahun 1821 di Weltevreden yang saat itu dikenal dengan nama Theater Schouwburg Weltevreden atau juga disebut dengan Gedung Komedi.

Gedung Kesenian Jakarta terletak di Jalan Gedung Kesenian No. 1 Jakarta Pusat.

Dikutip dari situs Kemdikbud Gedung tersebut diresmikan pada tanggal 7 Desember 1821 dengan nama Schouwburg Weltevreden atau Comidiegebouw.

Sebelum Schouwburg Weltevreden dibangun, di lahan itu berdiri gedung Teater Militer Weltevreden yang dibangun oleh Gubernur Jendral Belanda, Daendels.

Kemudian direalisasikan oleh Gubernur Jendral Inggris , Thomas Stamford Raffles bersama sekelompok tentara Inggris pada tahun 1814.

Dalam sejarah Gedung Kesenian Jakarta, gedung ini berfungsi sebagai teater kota dan lebih dikenal dengan sebutan Gedung Komedi.

Desain gedung yang pada masa pendudukan Inggris sangat sederhana, diperbaharui dan dibangun kembali di lokasi yang sama dengan gaya Empire.

Pengembangan gedung ini melibatkan arsitek VOC Mayor Schultze.

Pengembangan gedung menghabiskan waktu selama 14 bulan. Pembangunannya sempat terhenti karena saat itu ada wabah kolera.

Pembangunan gedung bergaya Romawi itu menghabiskan biaya sekitar 60.000 gulden.

Baca juga: Sejarah Jakarta: Menilik Kampung Pekojan dengan Masjid Jami An-Nawier yang Berdiri Sejak 1760

Baca juga: Sejarah Jakarta: Masjid Al Azhar Dibangun Sejak 1953, Kerap Disambangi Pejabat dan Artis

Pembangunan Gedung Kesenian Jakarta diprakarsai oleh para anggota perkumpulan tonil Ut Desint yang tahun 1820 mencapai puncak ketenaran.

Hanya dalam waktu setahun gedung tersebut telah diselesaikan.

Pada malam perdana peresmiannya Ut Desint mementaskan tonil "Othelo" dan "Penabuh Genderang" karya Williem Shakespeare.

Masa jaya teater Inggris dengan Gedung Teater Militernya hanya berlangsung sampai tahun 1816.

Karena mengalami kekalahan dari Belanda, tentara Inggris harus meninggalkan Batavia sehingga "Bamboe Teater" itu beralih ke tangan para seniman panggung bangsa Belanda.

Gedung ini terdiri atas dua lantai. Lantai satu merupakan ruangan utama untuk pertunjukan yang diapit dua ruangan lain di kanan dan kiri.

Di belakang panggung terdapat green room tempat menunggu para penghibur.

Awalnya penerangan gedung menggunakan lampu minyak dan lilin. Namun, sejak 1864 mulai menggunakan lampu gas.

Penerangan menggunakan listrik baru digunakan pada 1882 dan hanya terbatas di bagian dalam saja, sementara bagian luar tetap menggunakan lampu gas sampai 1910.

Baca juga: Sejarah Jakarta: Museum Tekstil Mulanya Rumah Orang Perancis yang Dibangun pada Abad ke-19

Baca juga: Sejarah Jakarta: Jakarta Fair Pertama Digelar Tahun1968, ada Pemilihan Ratu Waria

Pada masa penjajahan Jepang gedung itu bernama Kiritsu Gehitzzyoo kemudian berubah menjadi Bioskoup Dana dan City Theatre.

Gedung ini tetap berfungsi sebagai tempat pementasan tonil dan berbagai acara hiburan lainnya, tetapi juga dipakai sebagai markas tentara Jepang.

Dengan halus Jepang melakukan propaganda lewat kesenian.

Pembentukan Sendenbu (Barisan Propaganda) dan Keimin Bunka Shidosho (Badan Urusan Kebudayaan) dimaksudkan agar orang Indonesia bergabung dengan perkumpulan sandiwara bentukan Jepang itu

Gedung Kesenian Jakarta juga sempat beberapa kali ditempati tentara dan dijadikan sebagai markas militer.

Pemerintah Jepang mengambil alih pengelolaan Gedung Kesenian Jakarta pada masa Perang Dunia II (1939-1945).

Saat itu gedung dikenal dengan nama Kiritsu Gekitzyoo dan dialihkan fungsinya sebagai markas.

Setelah Indonesia merdeka, Gedung Kesenian Jakarta juga digunakan sebagai markas Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Tercatat sejak diresmikan Presiden RI Pertama Soekarno pada 29 Agustus 1945, KNIP beberapa kali bersidang di gedung ini untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Sejarah Jakarta: Shiva Mandhir, kuil Hindu Tamil Terbesar di Jakarta yang Dibangun Sejak 1954

Baca juga: Sejarah Jakarta: Asal Muasal dibalik penamaan Nama Kawasan di Jakarta Berawalan Ci

Setelah Kemudian dipakai oleh Universitas Indonesia Fakultas Ekonomi & Hukum (1951), dan sekitar tahun 1957-1961 dipakai sebagai Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI).

Setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 24/1984, gedung tua ini kemudian dipugar dan dikembalikan fungsinya semula sebagai gedung kesenian bernama resmi Gedung Kesenian Jakarta.

Kini, setiap akhir pekan, Sabtu-Minggu, banyak seniman berkumpul di Gedung Kesenian Jakarta, bahkan di antara mereka ada yang berekspresi dan memamerkan hasil kreasinya.

Selain karena tempatnya yang mudah dijangkau, banyak warga lebih mengenal tempat ini sebagai gudangnya seniman.

Adapun Gedung Kesenian Jakarta memiliki fasilitas yang bagus dan memadai, di antaranya ruang pertunjukan berukuran 24 x 17.5 meter dengan kapasitas penonton sekitar 475 orang, panggung berukuran 10,75 x 14 x 17 meter, peralatan tata cahaya, kamera (CCTV) di setiap ruangan, TV monitor, ruang foyer berukuran 5,80 x 24 meter, serta fasilitas outdoor berupa electric billboard untuk keperluan publikasinya


 

 

Sumber: Wartakota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved