Kenaikan PPN 12 Persen
Pertanyakan Kenaikan PPN 12 Persen dan Bandingkan dengan Vietnam, Yenny Wahid: Apakah Ini Bijak?
Yenny Wahid mengatakan, kebijakan pemerintah sejatinya harus didasarkan kepada kemaslahatan untuk masyarakat.
TRIBUNBEKASI.COM — Politikus dan aktivis Nahdlatul Ulama, Zannuba Ariffah Chafsoh atau yang lebih dikenal dengan nama Yenny Wahid, menolak rencana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang bakal diberlakukan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, mulai 1 Januari 2025.
Yenny Wahid mengungkapkan hal itu dalam acara haul atau peringatan ke-15 tahun wafatnya Presiden Keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Pondok Pesantren Ciganjur, Jakarta Selatan, Sabtu malam, 21 Desember 2024.
Yenny Wahid mengatakan, kebijakan pemerintah sejatinya harus didasarkan kepada kemaslahatan untuk masyarakat.
Menurutnya, saat ini Indonesia menghadapi tantangan, mulai dari harga kebutuhan pokok melonjak, daya beli menurun, kelas menengah turun kelas, bahkan jumlahnya berkurang sebanyak 9 juta orang.
Yenny Wahid menjelaskan bahwa para ekonom menganalisa konsumsi domestik adalah penopang terbesar laju ekonomi Indonesia.
"Tetapi justru saat ini ada rencana pemerintah untuk menaikkan pajak pertambahan nilai menjadi 12 persen. Apakah ini bijak?" kata Yenny Wahid.
Baca juga: Lokasi Layanan Samsat Keliling di Kota/Kabupaten Bekasi dan Karawang, Senin 23 Desember 2024 Besok
Baca juga: Perpanjangan SIM Kabupaten Bekasi, Senin 23 Desember 2024 Besok di Dua Lokasi Satpas, Cek Syaratnya
Dia pun membandingkan dengan negara lain seperti Singapura yang justru memberikan bantuan tunai kepada rakyatnya.
Lalu, Vietnam yang menurunkan pajaknya dan justru memperkecil jumlah pejabatnya.
"Namun Indonesia justru mengambil langkah sebaliknya. Jika Gus Dur masih ada, saya yakin beliau akan berdiri bersama rakyat kecil dan mengatakan, hentikan rencana (kenaikan PPN) ini," ujar Yenny Wahid.
Yenny Wahid meminta pemerintah untuk berfokus pada kebijakan yang mensejahterakan masyarakat.
"Prioritaskan kesejahteraan rakyat bukan hanya angka-angka di atas kertas. Turunkan angka korupsi bukan malah rakyat yang harus dibebani," tegasnya.
Baca juga: Jadwal SIM Keliling Karawang Senin 23 Desember 2024 Besok di Pospol Dawuan Hingga Pukul 14.00
Baca juga: SIM Keliling Kota Bekasi, Senin 23 Desember 2024 Besok, di Burger King Harapan Indah, Cek Syaratnya
Gaya kolonial
Penolakan terhadap rencana Pemerintah yang akan segera menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen juga sempat disuarakan elemen buruh.
Kebijakan penerapan PPN 12 persen itu diperkirakan bakal berdampak luas.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menilai, kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen akan membuat harga barang dan jasa semakin mahal.
Hal tersebut juga berpotensi menimbulkan badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor.
"Lesunya daya beli ini juga akan memperburuk kondisi pasar, mengancam keberlangsungan bisnis, dan meningkatkan potensi PHK di berbagai sektor," kata Said Iqbal dalam keterangan tertulis, Rabu lalu, 20 November 2024.
Baca juga: Timnas Indonesia Gagal ke Semifinal Piala AFF 2024, Marselino Ferdinan dan Achmad Maulana Minta Maaf
Baca juga: Berlokasi di JIExpo Kemayoran, Big Bang Festival Bakal Digeber Sampai 1 Januari 2025
Said Iqbal menyebut, rencana pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen pada 2025 di tengah upah yang minim semakin memperparah kondisi ekonomi masyarakat kecil dan buruh.
Kebijakan ini diprediksi akan menurunkan daya beli secara signifikan, mengakibatkan kesenjangan sosial yang lebih dalam dan menjauhkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8 persen.
Di sisi lain, kenaikan upah minimum yang mungkin hanya berkisar 1 persen sampai 3 persen dan dinilai tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat.
"Akibatnya, daya beli masyarakat merosot, dan dampaknya menjalar pada berbagai sektor ekonomi yang akan terhambat dalam upaya mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 8 persen," tuturnya.
Said Iqbal menyatakan, kebijakan PPN 12 persen tidak hanya melemahkan daya beli, tetapi juga berpotensi menambah ketimpangan sosial.
Baca juga: Lowongan Kerja Karawang: PT Honda Prospect Motor Cari 5 Operator Pengemudi Mobil
Baca juga: Lowongan Kerja Bekasi: PT Nichias Metalworks Indonesia Butuh Warehouse Section Head-Plan Supervisor
Menurutnya, dengan beban PPN yang meningkat, rakyat kecil harus mengalokasikan lebih banyak untuk pajak tanpa adanya peningkatan pendapatan yang memadai.
Redistribusi pendapatan yang timpang akan semakin memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin, menjadikan beban hidup masyarakat kecil semakin berat.
"Bagi Partai Buruh dan KSPI, kebijakan ini mirip dengan gaya kolonial yang membebani rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak," katanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU).
Saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI, Menkeu Sri Mulyani menjelaskan penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Baca juga: PKS Minta Pemerintah Tunda Kenaikan PPN 12 Persen
Baca juga: Siaga Perayaan Natal & Tahun Baru, PLN Icon Plus Optimalkan Infrastruktur Andal & Stabilitas Layanan
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi Covid-19.
"Artinya, ketika kami membuat kebijakan mengenai perpajakan, termasuk PPN ini, bukannya dilakukan dengan membabi buta dan seolah tidak punya afirmasi atau perhatian terhadap sektor lain, seperti kesehatan dan bahkan waktu itu termasuk makanan pokok," ujar Sri Mulyani. (Tribunnews.com/Fersianus Waku)
Baca berita TribunBekasi.com lainnya di Google News
Ikuti saluran TRIBUN BEKASI di WhatsApp.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.