TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA — Berada di Jalan Pekojan Raya No.71, Tambora, Jakarta Barat, Masjid Jami An-Nawier telah berdiri sejak 263 tahun lalu, tepatnya pada 1760 Masehi.
Bangunan peribadatan umat Islam tertua di DKI Jakarta itu menjadi salah satu saksi sejarah yang tak terpisahkan dari Kampung Pekojan.
Pasalnya, masjid bergaya neo-klasik yang kental akan nuansa kolonial tersebut, terletak di tengah-tengah pemukiman padat penduduk.
Dia menjadi simbol bangunan bersejarah dan wisata halal Kota Tua.
Tak ayal, interior serta arsitektur masjid yang memiliki 33 pilar itu, dibumbui oleh nuansa Eropa.
Usut punya usut, pemukiman tersebut dahulu merupakan sebuah kampung yang penduduknya kebanyakan berasal dari Arab dan Koja, India.
"Kalau misalkan dikatakan Masjid Jami An-Nawier Pekojan ini, tidak bisa dipisahkan juga dengan Kampung Pekojan itu sendiri. Dan kemudian masjid ini memang bagian daripada cagar budaya," ujar Ketua Nazir Masjid Jami Annawier, Ustaz Dikky Basanddid saat ditemui Wartakotalive.com di lokasi, Selasa (20/6/2023).
Menurutnya, nama 'Pekojan' bukan hanya dipakai untuk penamaan kampung di Tambora saja, melainkan sejumlah kota-kota lain di Indonesia juga memiliki Kampung Pekojan.
Di mana, penamaan Kampung Pekojan tersebut lumrah diberikan pada wilayah yang penduduknya diisi oleh dua etnis, yakni Arab dan India.
"Jadi kalau misalkan kata Pekojan ini kan memang salah satu kampung yang berada di berbagai kota besar di wilayah Indonesia termasuk di Semarang, Cirebon, Bogor itu memang ada Kampung Pekojan," kata Dikky.
"Setiap kata Kampung Pekojan itu pasti di dalamnya dihuni oleh dua etnis yaitu Arab, keturunan Yaman dan yang satu lagi adalah Koja atau keturunan India," imbuh dia.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Masjid Al Azhar Dibangun Sejak 1953, Kerap Disambangi Pejabat dan Artis
Baca juga: Sejarah Jakarta: Museum Benyamin Sueb Diresmikan Tahun 2018 di Bangunan yang Berdiri Sejak 400 Tahun
Dikky mengatakan, para penduduk Kampung Pekojan tersebut memiliki makanan favorit yang menu utamanya berasal dari daging kambing.
Tak heran jika tepat di seberang Masjid An-Nawier tersebut, berdiri sederetan lapak pedagang yang menyediakan hewan kambing hidup.
Konon, pasar kambing itu disebut-sebut sebagai penanda masuknya Kampung Pekojan.
"Karena dua etnis ini yang namanya India Koja dan Yaman, memang makanan pembukanya atau sebagai suatu makanan favorit mereka daging kambing," ungkap Dikky.
"Jadi olahan daripada segi makanannya, pun makanan sehari-hari maupun juga untuk kenduri itu pasti mereka membutuhkan daging kambing. Maka asal kambing ini dari kampung Pekojan, ini menjadi satu kesatuan sejarah di wilayah Pekojan," imbuh dia.
Pria yang kini menjadi Imam Masjid An-Nawier itu berujar, Kampung Pekojan merupakan bangunan kota pertama di DKI Jakarta.
Dia dinobatkan sebagai kota lantaran wilayahnya dekat dengan laut Sunda Kelapa.
"Jadi setiap daripada kehidupan yang dimulai di masa lampau itu mereka pasti tidak jauh daripada laut, karena alat transportasi untuk mendukung perjalanan mereka untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain adalah hanya laut," ungkap Dikky.
"Maka Pekojan ini yang paling dikatakan berdekatan dengan laut," lanjut dia.
Kendati sempat merajai wilayah tersebut, namun rupanya Kampung Pekojan tidaklah langgeng dihuni oleh orang Arab dan Koja.
Penduduk wilayah tersebut kini 60 persennya sudah berganti menjadi etnis Tionghoa.
Sementara 40 persennya, masih dihuni oleh masyarakat Arab dan pribumi.
"Betul, banyak yang sudah dihuni oleh etnis Tionghoa. Jadi yang dahulunya dikatakan hanya ada di Glodok, (kini ada di Pekojan)," kata Dikky.
Menurutnya, hal tersebut lantaran masyrakat Islam dan tokoh-tokoh agama sudah berpencar ke berbagai daerah di DKI Jakarta.
Walhasil, penduduk Arab yang sejak dahulu menjadi warga asli Kampung Pekojan, kini justru jadi minoritas.
"Kemudian berakhirnya masa, kemudian juga wilayah Pekojan ini memang sudah berbeda, masyarakat Islam yang sudah berpencar, banyak tokoh-tokoh agama lain daripada Pekojan (berpencar), sehingga masyarakat Arab di Pekojan itu hampir bisa dikatakan tinggal minoritas," ungkapnya.
"Tapi tidak bisa dikatakan hilang, berbeda dengan Koja-nya, dia memang benar-benar hilang," lanjut dia.
Kini, Kampung Pekojan menjadi kampung padat penduduk yang sarat akan sejarah.
Jika masuk ke daerah tersebut, masyarakat akan bisa menyaksikan penampakkan sejumlah bangunan terbengkalai berbentuk memanjang yang kental akan nuansa kolonialisme.
Sementara interiornya, banyak menggunakan pernak-pernik Timur Tengah.
Sejarah Masjid An-Nawier
Ustaz Dikky Bashanddid selaku Ketua Nazir Masjid An-Nawier bercerita, masjid An-Nawier merupakan masjid tertua di wilayah Pekojan dan telah ada sejak 1760 Masehi.
Masjid bernuansa khas Arab-Betawi yang kental dengan gaya neo-klasik tersebut, dibangun oleh seorang habib bernama Abdullah bin Husein Alaydrus.
Sementara pembangunan masjid tersebut, diyakini merupakan wakaf dari Syarifah Baba Kecil.
Dia merupakan keturunan Arab Hadrami yang makamnya berada di bagian depan area masjid tersebut.
Menurut Dikky, Masjid An-Nawier kini menjadi salah satu ikon destinasi halal Kota Tua.
"(Masjid An-Nawier) sebagai salah satu ikon daripada destinasi Kota Tua. Jadi ini adalah bagian daripada destinasi wisata yang dikatakan halalnya, yaitu masjid dan juga kampung Arab Pekojan," ujar Dikky kepada Wartakotalive.com.
Kendati sudah berumur hampir tiga abad, rupanya masjid yang berada di tengah-tengah pemukiman padat penduduk itu pernah dirombak secara besar-besaran pada 2014 lalu.
Tak main-main, restorasi skala besar itu menelan biaya hingga Rp 3 miliar lebih.
"2014 kami sudah melakukan restorasi besar-besaran dengan skala besar yang menelan biaya cukup besar, sehingga penampilan saat ini Masjid An-Nawier berbeda dengan sebelum-sebelumnya," kata Dikky.
"Namun tidak menghilangkan daripada keaslian serta keunikan daripada Masjid Jami An-Nawir itu sendiri. (Untuk biayanya) hampir bisa dikatakan melebihi daripada Rp 2 atau Rp 3 miliar," imbuh dia.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Museum Tekstil Mulanya Rumah Orang Perancis yang Dibangun pada Abad ke-19
Baca juga: Sejarah Jakarta: Jakarta Fair Pertama Digelar Tahun1968, ada Pemilihan Ratu Waria
Pria keturunan Arab itu mengatakan, dana miliaran rupiah itu didapat dari masyarakat yang saling bahu-membahu untuk menyalurkan bantuan, baik melalui infaq maupun sedekah.
Hasil restorasi tersebut nampak terasa saat ini.
Masjid An-Nawier nampak megah dengan arsitektur era kolonial dahulu meski berada di seberang pasar kambing.
Dengan cat tembok berwarna putih emas, Masjid An-Nawier juga masih menggunakan lampu-lampu antik tempo dulu.
Sementara arsitektur yang melekat pada bangunan masjid tersebut, sarat akan filosofis ajaran agama islam.
Seperti misalnya, Masjid An-Nawier memiliki lima buah pintu yang melambangkan rukun Islam, enam pintu di samping masjid melambangkan rukun iman, dan 33 pilar masjid melambangkan jumlah zikir.
"Kalau bagian atap yang luar memang dipertahankan menara itu dan menara itu juga sebagai ikon dari pada Masjid An-Nawier Pekojan," kata Dikky.
"Seperti menara tiang atau pilar yang ada di dalam masjid ini memang berjumlah sesuai dengan ayat-ayat yang biasa dibaca setiap habis salat, (berjumlah) 33. Dan juga jendela pintu yang memang dibuat sedemikian rupa oleh pendahulu, sebagai suatu penanda kesatuan di dalam ajaran agama Islam," lanjutnya.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Shiva Mandhir, kuil Hindu Tamil Terbesar di Jakarta yang Dibangun Sejak 1954
Baca juga: Sejarah Jakarta: Gedung Kedubes Amerika Serikat Dibangun 1952, Desain Sempat Dikritik Bung Karno
Dikky menyampaikan, hal lain yang menjadi keunikan Masjid An-Nawier adalah bentuk atap yang menyerupai pekarangan rumah pada umumnya.
"Jadi masjid ini dikatakan memang seperti bentuk bangunan rumah biasa, di atas atapnya itu ada dilindungi dengan dinding-dinding pembatas yang berukir dan mengelilingi daripada sekeliling bangunan masjid," jelas Dikky.
Tak sampai di situ, Dikky menjelaskan jika Masjid An-Nawier juga memiliki tempat wudhu berukuran 2x3 meter yang menghasilkan air dari sumbernya.
"Bisa sudah hampir dikatakan langka di dunia ataupun di wilayah Indonesia, tempat wudhu yang modelnya memang itu air digali dari mata air sumbernya, dan itu bukan di daerah pegunungan dan bukan juga di daerah yang banyak sumber airnya," ujarnya.
"Tapi galian itu ternyata dengan ukuran diameter kurang lebih 2 x 3 meter, itu menghasilkan air yang cukup banyak dan itu sebagai sarana untuk bersuci orang yang salat dulu di Masjid Jami An-Nawier," imbuhnya.
Lebih lanjut, Dikky membagikan sejumlah nama ulama terkait dengan sejarah masjid tersebut.
Mereka di antaranya, Mufti Betawi bernama Usman bin Abdullah bin Adil bin Yahya (Usman bin Yahya) dan ulama besar yakni Syekh Nawawi al-Bantani.
"Beliau adalah seorang ulama besar, beliau dikenal bukan hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh penjuru dunia. Nah maka kedua sosok ini tidak bisa dilepaskan sejarahnya dengan Masjid An-Nawier," pungkasnya.
Kini, masjid An-Nawier resmi dinobatkan sebagai bangunan cagar budaya DKI Jakarta sesuai Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 1371/2019. (m40)