Teguh Sumarno Sebut Tidak Ada Dalang dalam Pelaksanaan KLB PGRI Surabaya

Editor: Panji Baskhara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Kongres Luar Biasa (KLB) PGRI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 3-4 November 2023.

TRIBUNBEKASI.COM - Pihak Pengurus Besar PGRI hasil KLB Surabaya menyayangkan tuduhan dari kubu UR, selaku ketua umum PB PGRI.

Tuduhan itu tentang adanya keterlibatan oknum pejabat Eselon I Kemendikbud Ristek RI Kongres Luar Biasa (KLB) PGRI di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, pada 3-4 November 2023.

Menurut Ketua Umum PB PGRI hasil KLB Surabaya Teguh Sumarno bahwa tuduhan terebut sangat berlebihan dan tidak berdasar.

Teguh menegaskan KLB dimaksud murni sebagai aspirasi dari internal PGRI.

Dimana terdiri atas pengurus PGRI provinsi/kabupaten/kota dan 9 orang dari PB PGRI.

"Tidak ada pihak manapun yang ikut campur apalagi menjadi dalang dalam pelaksanaan KLB tersebut. Seluruh ide, proses dan hasil dari KLB murni atas aspirasi dari internal PGRI" ujar Teguh dalam keterangan rilisnya, Rabu (8/11/2023).

Teguh menjelaskan, KLB dimaksud pada dasarnya merupakan akumulasi dan kulminasi dari persoalan yang berkembang di internal PB PGRI dan juga di kalangan pengurus PGRI provinsi/kabupaten/kota.

Gagasan tentang KLB mencuat sebulan terakhir ini saat ketua umum PB PGRI UR tak merespons baik terhadap persoalan yang berkembang di internal PB dan provinsi/kabupaten/kota.

"Di internal PB PGRI sendiri, polarisasi bermula ketika terjadi friksi antara ketua umum dan sekretaris jenderal pasca Kongres Jakarta 2019."

"Sejak awal terlihat bahwa ketua umum mengambil posisi yang sangat dominan dalam kepemimpinan PB PGRI dan cenderung memarjinalkan eksistensi sekretaris jenderal" tegas Teguh.

Teguh juga menjelaskan kronologi perpecahan sekaligus menjadi antiseden peristiwan KLB.

Pertama, friksi disebut di atas kemudian terus berkembang jadi polarisasi yang semakin menguat ketika muncul riak-riak ketidakpuasan atas kepempimpinan UR, yang oleh sebagian Pengurus Besar dinilai jauh dari nilai-nilai demokrasi atau bahkan dikategorikan sangat otoriter.

"Organisasi yang seyognya menjadi tempat untuk bertumbuh bersama dalam suasana demokratis dan kekeluargaan berubah menjadi suatu ekosistem yang feodal, anti kritik dan menihilkan dialektika" paparnya.

Nuansa itu terus menguat dan memicu kesadaran kolektif yang kemudian mengkristal jadi pembelahan.

Dimana ada 9 orang PB yang terdiri atas 2 orang ketua, 1 sekjen dan 6 ketua departemen mengambil posisi berbeda dengan ketua umum.

Sembilan orang itu kemudian dinamai tim 9 karena berjumlah 9 orang.

"Tim 9 pada hanya kumpulan spirit dan aspirasi yang menginginkan perubahan ekosistem PB PGRI, bukan untuk makar atau merebut kekuasaan."

"Tim 9 hanya merasakan bahwa mereka menemui jalan buntu ketika pikiran-pikiran dan semangat mereka sama sekali tidak digubris oleh UR bahkan terkadang justru mendapat respons dengan diksi yang tidak pantas dari ketua umum" jelasnya.

Kedua, bersamaan dengan itu, muncul ketidakpuasan beberapa daerah (provinsi dan kabupaten/kota) yang persoalkan soal tatakelola keuangan yang mereka telah dari dokumen-dokumen kegiatan konkernas ditambah isu-isu lain yang kemudian berujung pada Mosi Tidak Percaya (MTP).

"Hal ini sekaligus menjelaskan gagasan tentang MTP ini murni aspirasi dari beberapa pengurus provinsi/kabupaten/kota. Tim 9 sama sekali tidak ada kaitan dengan inisasi dan proses MTP tersebut" katanya.

Ketiga, MTP kemudian masuk dalam ranah tim 9 ketika UR tidak memberikan respons yang proporsional terhadap MTP.

Tim 9 saat itu bersikap wait and see, menunggu respon ketua umum sembari berharap ketua umum bersikap bijak dan sedikit merendah untuk mendengar aspirasi MTP demi untuk terwujudnya islah.

"Namun di luar dugaan, ternyata respons ketua umum sangat jauh dari kata bijak. ketua umum malah meresponsnya dengan sangat emosional dan merendahkan."

"Hal itu kemudian mendorong tim 9 untuk menyampaikan somasi kepada ketua umum atas respons yang bersangkutan terhadap MTP."

"Pada fase inilah kemudian terjadi pembelahan secara total dimana tim 9 dikeluarkan dari grup PB atau pihak UR bentuk WhatsApp grup PB yang baru dan menutup akses bagi tim 9 pada organisasi" terang Teguh.

Sejak saat itu pula, PB UR melakukan pelanggaran tatakelola administrasi persuratan di mana semua surat-surat PB ditandatangani oleh ketua umum dan wakil sekjen.

Hal ini jelas melanggar ketentuan tatakelola yang diatur dalam AD/ART.

Dimana penandatanganan surat PB hanya boleh ditandatangani oleh ketua umum dengan sekjen atau ketua umum dengan Wakil Sekjen, jika sekjen memberi pelimpahan kewenangan kepada wakil sekjen atau salah satu ketua denga sekjen.

"Hanya 3 alternatif itu dibolehkan dalam ketentuan tatakelola yang diatur dalam AD/ART (PO yang merupakan bagian dari AD/ART). Dengan demikian seluruh produk keputusan yang dikeluarkan oleh PB c.q."

"UR menjadi illegal termasuk Surat Keputusan Pemberhentian 9 orang (tim 9) dan Keputusan Pembekuan Pengurus PGRI Provinsi/ Kabupaten per Keputusan PB PGRI Nomor 108/kep/PB/XXII/2023" jelasnya.

Keempat, dalam rentang waktu sejak munculnya riak-riak ketidakpuasan dan sinyal-sinyal perpecahan hingga pada momentum MTP dan setelahnya, ketua umum sama sekali tidak pernah menunjukkan upaya islah melalui mekanisme organisasi, atau dengan pendekatan kekeluargaan untuk mempebaiki keadaan tersebut.

Yang terjadi sebaliknya, ketua umum makin gencar lakukan pembunuhan karakter, dengan menebar narasi-narasi yang merendahkan tim 9 dan provinsi/kabupaten yang tercatat dalam dokumen MTP.

"Padahal yang bersangkutan memiliki kewenangan untuk mengambil langkah-langkah persuasif untuk menyelesaikan masalah tersebut."

"Namun pada akhirnya UR memilih pendekatan represif, mengumbar kebencian dan melakukan tindakan-tindakan pemecatan dan pembekuan kepengurusan secara brutal."

"Hal ini menunjukkan yang bersangkutan sesungguhnya tidak pantas memimpin organisasi pendidikan yang seharusnya selalu mengedepankan ahlak dan kebaikan" ungkapnya.

Kelima, KLB yang berlangsung dan melahirkan kepengurusan baru PB PGRI tidak bisa dipandang sebatas sebagai suatu mekanisme organisasi dengan parameter konstitusi AD/ART.

Namun yang lebih penting daripada itu adalah substansi etik KLB sebagai respons dari sebuah kepemimpinan atau karakter kepempimpinan yang tidak fit and proper dengan lembaga yang dipimpinnnya.

”UR pun gagal menghasilkan resonansi etik-moral, intelektual dan spiritual dalam memimpin PGRI" tegas Teguh.

(TribunBekasi.com)