Berita Daerah

Soroti Kenaikan Suhu Bumi, Aktivis Lingkungan: Jika Tidak Ada Terobosan Jakarta Berpotensi Tenggelam

Jika tidak ada terobosan, kata Agus, dalam 20 tahun ke depan suhu bumi benar-benar akan mencapai kenaikan maksimal.

Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Dedy
Wartakotalive.com
ILUSTRASI --- Sejumlah siswa melakukan aksi Cegah Perubahan Iklim Dunia di depan Balaikota, Jakarta Pusat, Jumat (15/3/2019). 

TRIBUNBEKASI.COM --- Aktivis lingkungan Agus Sari menyoroti laporan Sixth Assessment Report oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) tentang kenaikan suhu bumi yang kian mengkhawatirkan.

Berdasarkan laporan itu, kenaikan suhu bumi saat ini mencapai 1,2 derajat celcius, sementara IPCC selaku lembaga Internasional di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), itu menjaga batas maksimal kenaikan suhu bumi antara 1,5 – 2 derajat.

Jika tidak ada terobosan, kata Agus, dalam 20 tahun ke depan suhu bumi benar-benar akan mencapai kenaikan maksimal.

Dampaknya sangat mengkhawatirkan bagi manusia, dan hal itu juga yang berpotensi membuat Jakarta tenggelam.

Baca juga: Ariza Instruksikan Jajarannya Siaga Antisipasi Cuaca Ekstrem di Jakarta

“Makin panas bumi, makin tinggi suhu bumi, penguapan air laut juga akan semakin tinggi juga. Selain itu, es di Kutub Utara juga akan mencair,” kata Agus dalam diskusi virtual yang bertajuk ‘Jakarta Segera Tenggelam?’ pada pekan lalu.

Agus menceritakan, kenaikan suhu bumi akan mengakibatkan miliaran ton es di Kutub Utara mencair, sehingga volume air laut meningkat secara signifikan.

Kemudian, uap air yang menjadi awan bakal lebih banyak dari biasanya, dan terjadi hujan lebat yang tentu akan membebani infrastruktur hidrologi di kota-kota besar, seperti DKI Jakarta.

Permasalahan yang sama, juga memantik kegelisahan penyanyi dan pegiat lingkungan Sheryl Geting atau yang biasa disapa Shae.

Bagi anak-anak muda yang sudah memiliki kesadaran untuk menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan seperti dirinya, kata Shae, yang dibutuhkan adalah dukungan sosial dan wadah untuk mencari bimbingan.

Dia juga menilai bahwa urusan menyelamatkan bumi merupakan kerja kolektif dari semua unsur, dan tidak bisa hanya mengandalkan pihak-pihak tertentu saja.

“Kami butuh support system dan juga komunitas yang mengajarkan info yang tepat karena itu masih sangat kurang, ini yang menurutku dibutuhkan,” ujar Shae.

“Kemudian jangan lagi menunggu top-down, kita harus menemukan cara untuk bekerja sama dan bergerak dari bottom to top, juga top-down, bagaimana caranya kita bertemu di tengah,” tambahnya.

Seperti diketahui, ancaman Jakarta akan tenggelam beberapa tahun ke depan memang pernah disampaikan sejumlah otoritas baik di dalam maupun dari luar negeri.

Beberapa waktu lalu, Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pada laman resminya menyebut, Jakarta dan pulau reklamasi menjadi salah satu kota pesisir yang terancam tenggelam.

Prediksi terebut berdasarkan kondisi dari berbagai faktor.

Di antaranya perubahan iklim, jumlah penduduk yang terus bertambah, juga eksploitasi air di wilayah Ibu Kota.

Bahkan, pada Agustus kemarin Presiden Amerika Serikat Joe Biden sempat menyinggung soal Jakarta terancam tenggelam dalam 10 tahun mendatang akibat perubahan iklim yang melanda dunia.

Peranan generasi muda

Pakar lingkungan hidup menyebut, generasi muda memegang peran penting menyelamatkan bumi dari perubahan iklim yang merusak lingkungan.

Termasuk soal ancaman tenggelamnya Jakarta yang mungkin saja terjadi di tahun-tahun mendatang.

“Sebagai pemimpin masa depan, generasi muda harus mengubah orientasi berpikir pembangunan ini berdasarkan pola pembangunan berkelanjutan,” kata pakar lingkungan hidup dari Universitas Indonesia (UI) Prof. Emil Salim dalam diskusi virtual yang bertajuk ‘Jakarta Segera Tenggelam?’ yang digelar pada pekan lalu.

Menurut Emil, generasi muda harus mampu menguasai ilmu pengetahuan dan melakukan inovasi teknologi dalam upaya menemukan energi-energi terbarukan. Pada gilirannya, target net-zero emissions (emisi nol persen) di tahun 2050 bisa tercapai

Kata dia, kerusakan bumi akibat perubahan iklim sebenarnya dapat disiasati. Generasi muda, harus menciptakan teknologi inovatif dan mengubah orientasi serta pola pembangunan yang selama ini mengandalkan fossil fuels (bahan bakar fosil) ke pemanfaatan energi bersih atau energi terbarukan, misalnya energi matahari, angin, gelombang, mikrohidro dan sebagainya.

“Langkah yang harus ditempuh anak muda adalah mengubah kebijakan yang bersifat eksploitasi sumber daya, memperkaya jenis-jenis sumber daya alam melalui menangkap gas rumah kaca dan mengurangi efek gas rumah kaca dengan memanfaatkan matahari, gelombang laut, angin, dan sebagainya untuk jadi sumber energi baru,” kata mantan Menteri Negeri Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup RI tahun 1983-1993 silam ini.

Selain itu, Emil juga mengkritik model pembangunan pemerintah yang berkiblat pada UU Minerba yang selama ini mengeksploitasi energi dari bahan bakar fosil sebagai sumber pendapatan negara, tanpa memperhitungkan dampak eksternalitas berupa kerusakan lingkungan.

“Kebijakan energi Indonesia masih mengandalkan pada energi bahan bakar fosil dan batu bara, kita ekspor mereka (bahan bakar fosil dan batu bara) sehingga tujuan pembangunan kita bukan pembangunan berkelanjutan (resource enrichment), tetapi memanfaatkan sumber daya alam yang kotor. Jadi kami mengharapkan revenue dari mengekspor bahan-bahan cemar CO2, batu bara, minyak bumi,” terang Emil.

 

Sumber: Wartakota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved