Info Keluarga
Trik bagi Orangtua Ajari Buah Hati Belajar Disiplin Tanpa Harus Memarahi, Membentak, bahkan Memukul
"Menjadi catatan penting bagi orangtua, bahwa dalam mendisplinkan anak perlu disesuaikan dengan tahapan usianya," kata dokter Widia
Penulis: Ign Agung Nugroho | Editor: Dedy
TRIBUNBEKASI.COM --- Melatih si buah hati agar disiplin selalu menjadi tantangan bagi para orangtua.
Nah, tak jarang pula, karena orangtua merasa tidak sabar dengan kelakuan anak-anak yang dirasa tidak disiplin.
Akibat ketidaksabaran dan membuat jengkel, kerap membuat ayah atau ibunya memarahi, membentak, bahkan memukul si Kecil ketika menerapkan disiplin ke anak.
Namun, alih-alih menjadi disiplin, ketika anak sering dimarahi, dibentak bahkan diberi kekerasan dengan dipukul, hasilnya justru sebaliknya.
Baca juga: Anies Baswedan Sebut 50 Persen Perempuan dan 30 Persen Anak-anak di DKI Rentan Jadi Korban Kekerasan
Baca juga: Temukan Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak, Hubungi Saja Call Center Jakarta Siaga 112
Lalu bagaimana caranya? Menurut dr. Putu Ayuwidia Ekaputri, M. Sc., yang mendalami ilmu cognitive neuroscience, pada dasarnya, mendisiplinkan anak dapat dilakukan sejak ia lahir.
Pasalnya, menurut dokter Widia - sapaan karibnya - sejak lahir, anak sudah memiliki otak yang mampu bekerja, walaupun fungsi dan kerjanya belum begitu kompleks serta optimal.
"Menjadi catatan penting bagi orangtua, bahwa dalam mendisplinkan anak perlu disesuaikan dengan tahapan usianya," kata dokter Widia di acara talkshow Instagram Live bertajuk 'Mendisiplinkan Anak Ada Triknya!' yang digelar Teman Parenting, pekan lalu.
BERITA VIDEO : PENATARAN KEDISIPLINAN BAGI RATUSAN PELAJAR TERLIBAT TAWURAN
Tak hanya itu, ekspektasi orangtua terhadap anak juga perlu dikontrol dengan baik ketika ingin mengajarkan soal kedisiplinan.
Ketika anak baru lahir, bagian otak yang berfungsi secara dominan adalah bagian lower brain atau primitive brain.
Bagian otak ini memiliki tugas dalam pengaturan emosi anak dan berkembang sangat pesat sebelum anak menginjak usia 3 tahun.
Setelah usianya mencapai 3 tahun, perlahan otak bagian logika akan mulai terbentuk dan bekerja, sehingga mencapai tingkat kematangan di usia 25-30 tahun.
Baca juga: Begini Aksi 36 Pelajar di Karawang, Konvoi Pakai Motor saat Jam Sekolah, Diduga Hendak Tawuran
Baca juga: Lukai Korban Pakai Celurit dan Gergaji Es, Polisi Proses Hukum 6 Siswa Terlibat Tawuran di Karawang
"Dengan memahami perkembangan otak anak ini, diharapkan orang tua akan lebih mudah mencari metode paling efektif saat mengajarkan disiplin pada anak, sejak awal kehidupannya," kata dokter
Widia.
Lebih lanjut ia memaparkan, kekerasan bukanlah cara yang tepat dalam mengajarkan kedisiplinan pada anak.
Sebaliknya, agar anak memahami ketika diajarkan untuk disiplin, orangtua perlu melakukan pendekatan emosional.
"Karena di usia balita dan anak-anak, otak emosional masih dominan, maka cara terbaik untuk orangtua adalah mengambil kesempatan tersebut untuk menarik hatinya," kata Widia.
Di usia bawah 3 tahun, berikan anak perhatian yang penuh cinta. Misalnya, ketika anak menangis, gendong dan tenangkan.
Ketika anak emosional dan mengamuk, tenangkan dan beri pelukan.
"Cobalah pererat bonding dengan anak, buat anak merasa "cinta mati" dengan orangtuanya. Ketika anak merasa dicintai, mereka akan menyadari dan percaya bahwa setiap aturan serta omongan yang terucap dari orangtuanya, merupakan yang terbaik untuknya," katanya.
"Jika anak sudah merasa nyaman dengan aturan yang diterapkan, lakukan secara konsisten," kata dokter Widia lagi.
Ia juga mengatakan, ketika mengajarkan anak untuk disiplin, orangtua sebaiknya jangan terlalu keras.
"Seringkali orangtua terlalu keras ketika mengajarkan anak, namun anak sebenarnya belum memahami tujuan dari orangtua. Hal ini akhirnya hanya akan menimbulkan perasaan takut dan trauma pada diri anak," katanya.
Terkait hal itu, ketika anak diberi kekerasan baik verbal (kata-kata) atau non verbal dengan alasan untuk mendisiplinkan anak, bukannya disiplin malah menimbulkan masalah lain.
Menurut dokter Widia, rasa marah dan tantrum yang timbul dari anak bukanlah tanpa sebab.
Ada berbagai alasan yang mendasari kemarahan si kecil, sayangnya ia belum bisa mengungkapkannya dengan baik secara verbal.
Oleh karena itu, penting juga bagi orangtua untuk mengobservasi apa penyebab anak merasa emosional, kemudian barulah mencari cara untuk menenangkannya.
Apabila orangtua terlalu keras terhadap anak, ada 2 kemungkinan yang mungkin terjadi pada diri anak.
Pertama, anak menjadi takut dan menghindari orangtuanya. Jika sudah begini, bonding yang sudah terbangun mungkin akan perlahan memudar dan anak menjadi semakin jauh dengan orangtua.
Akibatnya, anak akan semakin sulit untuk menuruti perintah orangtua.
Kedua, anak justru akan semakin memberontak karena merasa emosionalnya tidak bisa tersalurkan serta dipahami oleh orangtuanya.
"Dalam jangka panjang, apabila orangtua terlalu sering membentak anak, sangat mungkin terjadi kerusakan komponen di otak anak dan menimbulkan trauma berkepanjangan," kata dokter Widia.
Dia kembali mengatakan, pada prinsipnya, perlakukan anak sebagaimana kita ingin diperlakukan. Kalau anak marah, tanyakan kenapa dia marah, beritahu kalau misalnya kita mengerti kenapa dia marah.
"Namun, bukan berarti juga kita langsung memberikan apa yang dia mau. Ada perbedaan tipis antara mengerti dan memberikan. Yang harus kita lakukan adalah mengerti, karena anak masih punya banyak keterbatasan untuk mengungkapkannya," kata dokter Widia.
(Sumber : Wartakotalive.com/Ign Agung Nugroho/ign)