Berita Karawang

Katak Bertanduk Jawa, Satwa Liar Langka dan Unik Teridentifikasi di Pegunungan Sanggabuana Karawang

Tim Eksplorasi DPPS SCF mengidentifikasi satwa liar langka dan unik, yakni katak bertanduk Jawa (Javan Horned Frog) di Pegunungan Sanggabuana Karawang

Penulis: Muhammad Azzam | Editor: Panji Baskhara
Foto Kolase TribunBekasi.com/Dok Tim Eksplorasi DPPS SCF
Tim Eksplorasi dari Divisi Pelestarian dan Perlindungan Satwa (DPPS) Sanggabuana Conservation Foundation (SCF) berhasil mengidentifikasi satwa liar langka dan unik, yakni katak bertanduk Jawa (Javan Horned Frog) di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana Karawang, Jawa Barat, Selasa (19/4/2022). 

TRIBUNBEKASI.COM, KARAWANG - Satwa liar langka dan unik ditemukan di Pegunungan Sanggabuana Karawang, Jawa Barat oleh Tim Eksplorasi Sanggabuana Conservation Foundation (SCF).

Setelah sebelumnya Tim SCF identifikasi lima jenis primata dan 140 jenis burung, kali ini Tim Eksplorasi dari Divisi Pelestarian dan Perlindungan Satwa (DPPS) SCF identifikasi katak bertanduk Jawa di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana.

Komando Tim Eksplorasi DPPS SCF, Deby Sugiri akui, pada April 2022 pihaknya kembali melanjutkan pendataan satwa.

Kali ini tim fokus pada herpetofauna (amphibi dan reptil) dan satwa nocturnal.

Hasil temuan tim eksplorasi ini adalah 12 jenis amphibi, salah satunya adalah katak bertanduk Jawa atau Javan Horned Frog (Megophrys montana Kuhl and Van Hasselt 1822).

Selain amphibi, saat herping tim juga identifikasi beberapa reptil di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana.

Katak bertanduk ini ditemukan Deby dan tim dekat aliran sungai, atau di sekitaran air terjun ketinggain kurang lebih 750 mdpl, di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana yang masuk wilayah pengelolaan BKPH Pangkalan.

"Karena memang tujuan awalnya adalah herping dan pengamatan satwa nocturnal, jadi pendataan di lakukan malam hari." Selasa (19/4/2022).

"Kebetulan katak bertanduk ini aktif di malam hari, jadi teridentifikasi oleh tim di malam hari," ujar Deby dalam keterangannya.

Masih menurut Deby, jumlah katak bertanduk yang kadang disebut Asian Spadefoot Toad berhasil diidentifikasi pada hari pertama ada 2 ekor dengan jenis kelamin jantan, dengan ukuran sebesar ibu jari kaki orang dewasa.

"Ukuran katak bertanduk jantan lebih kecil, untuk ukuran yang betina bisa 4 kali lebih besar dari ukuran katak bertanduk jantan. Katak jenis ini sulit sekali ditemukan habitatnya," terang Deby.

Walau keberadaannya susah ditemui, katak bertanduk Jawa tidak masuk dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018.

Permen KLHK itu tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi, dan dalam IUCN (The International Union for Conservation of Nature's Red List of Threatened Species) masuk dalam kategori Least Concern (LC) atau tingkat resiko rendah.

Untuk itu, Bernard T Wahyu Wiryanta, fotografer dan peneliti satwa liar yang merupakan dewan pembina SCF yang sudah sejak 2020 mendata flora-fauna di Sanggabuana menanggapi temuan katak bertanduk ini secara positif.

Menurut Bernard, banyak flora-fauna di Sanggabuana yang berlum teridentifikasi.

Setiap hari, tim eksplorasi selalu pulang dari hutan membawa temuan-temuan baru.

Bahkan selalu dilaporkan ke Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

"Ini makin memperkaya database keanekaragaman hayati Pegunungan Sanggabuana. Eksplorasi Tim SCF ini bagian penyusunan pra kajian terkait usulan perubahan status kawasan Pegunungan Sanggabuana jadi Taman Nasional," tambah Bernard.

Dia berharap temuan-temuan ini segera direspon oleh para pemangku kebijakan.

Karena, javan horned frog ini tidak masuk di daftar satwa yang dilindung sesuai Permen 106, tettapi populasinya memang sudah jarang.

Katak bertanduk ini, jika ditemukan di Sanggabuana menjadi indikator positif.

Sebab, keberadaan katak ini sering dijadikan indikator lingkungan.

Kalau masih ada katak bertanduk, itu berarti ekosistemnya masih bagus.

Paling tidak hal ini jadi indikator juga untuk upaya pelestarian dan perlindungan yang dikerjakan SCF berada dijalur yang benar.

"Keberadaan herpetofauna sangat penting dalam rantai makanan dan menjadi bioindikator lingkungan," tutupnya Bernard.

Sesuai namanya, katak unik ini mempunyai tanduk di kepala, tepatnya diatas kedua matanya.

Kedua tanduk katak dari suku Megophrydae ini sebenarnya adalah perpanjangan dermal pada bagian mata yang menyerupai tanduk.

Tanduk palsu atau tonjolan yang merupakan perpanjangan dermal ini tidak hanya ada di atas kedua matanya, tapi juga tampak di bagian hidung yang meruncing.

Katak bertanduk jawa, di alam merupakan salah satu amphibi yang mahir berkamuflase.

Katak ini biasa bersembunyi dibalik serasah daun di dasar hutan, hingga kadang disebut katak serasah.

Biasanya katak bertanduk jawa tidak banyak bergerak, dan aktif pada malam hari, hingga susah untuk ditemukan.

Katak endemik jawa ini mempunyai ukuran sampai sekitar 10 cm untuk katak betina, sedangkan jantan berukuran lebih kecil.

Katak bertanduk biasa ditemukan di dataran menengah sampai dataran tinggi di ketinggian 2000 m dpl.

Katak bertanduk mempunyai warna tubuh cokelat keabu-abuan sampai cokelat kemerah-merahan.

Terdapat bintik kehitaman dibawah mata dan sepasang bentol di belakang diantara kedua kakinya.

Warna yang mirip serasah daun ini membantu katak bertanduk berkamuflase dengan kondisi hutan.

(TribunBekasi.com/MAZ)

Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved