Berita Karawang
Penemuan Satwa Liar Langka Jenis Katak Bertanduk di Pengunungan Sanggabuana Karawang
Selain amphibi, pada saat herping tim juga mengidentifikasi beberapa reptil yang ada di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana.
Penulis: Muhammad Azzam | Editor: Dedy
TRIBUNBEKASI.COM, KARAWANG ---- Satwa liar langka dan unik ditemukan di Pegunungan Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat oleh Tim Eksplorasi Sanggabuana Conservation Foundation (SCF).
Setelah sebelumnya Tim SCF berhasil mengidentifikasi 5 jenis primata dan 140 jenis burung, kali ini Tim Eksplorasi dari Divisi Pelestarian dan Perlindungan Satwa (DPPS) SCF berhasil mengidentifikasi katak bertanduk jawa di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana.
Komando Tim Eksplorasi DPPS SCF, Deby Sugiri menerangkan pada April 2022 pihaknya kembali melanjutkan pendataan satwa.
Kali ini tim fokus pada herpetofauna (amphibi dan reptil) dan satwa nocturnal. Hasil temuan tim eksplorasi ini adalah 12 jenis amphibi, salah satunya adalah katak bertanduk jawa atau javan horned frog (Megophrys montana Kuhl & Van Hasselt 1822).
Baca juga: VIRAL Ratusan Celana Dalam di Gunung Sanggabuana Karawang, Ternyata untuk Ritual Buang Sial
Baca juga: Serbu Pegunungan Sanggabuana Karawang, Puluhan Burung dari Jepang Ternyata Tengah Mencari Mangsa

Selain amphibi, pada saat herping tim juga mengidentifikasi beberapa reptil yang ada di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana.
Katak bertanduk yang unik ini ditemukan oleh Deby dan tim di dekat sebuah aliran sungai, di sekitar air terjun di ketinggain kurang lebih 750 mdpl, di kawasan hutan Pegunungan Sanggabuana yang masuk wilayah pengelolaan BKPH Pangkalan.
“Karena memang tujuan awalnya adalah herping dan pengamatan satwa nocturnal, jadi pendataan di lakukan malam hari. Kebetulan katak bertanduk ini aktif di malam hari, jadi teridentifikasi oleh tim di malam hari," ujar Deby dalam keterangannya.
Masih menurut Deby, jumlah katak bertanduk yang kadang disebut Asian Spadefoot Toad berhasil diidentifikasi pada hari pertama ada 2 ekor dengan jenis kelamin jantan, dengan ukuran sebesar ibu jari kaki orang dewasa.
BERITA VIDEO : LEUWEUNG GELEDEGAN ECOLODGE TAWARKAN GLAMOURUS CAMPING
"Ukuran katak bertanduk jantan lebih kecil, untuk ukuran yang betina bisa 4 kali lebih besar dari ukuran katak bertanduk jantan. Katak jenis ini sulit sekali ditemukan habitatnya," terang Deby.
Walaupun kebeadaannya sudah susah ditemui, katak bertanduk jawa tidak masuk dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi, dan dalam IUCN (The International Union for Conservation of Nature's Red List of Threatened Species) masuk dalam kategori Least Concern (LC) atau tingkat resiko rendah.
Untuk itu, Bernard T. Wahyu Wiryanta, fotografer dan peneliti satwa liar yang merupakan dewan pembina SCF yang sudah sejak 2020 mendata flora-fauna di Sanggabuana menanggapi temuan katak bertanduk ini secara positif. Menurut Bernard, banyak flora-fauna di Sanggabuana yang berlum teridentifikasi.
Tiap hari, tim eksplorasi selalu pulang dari hutan membawa temuan-temuan baru. Dan selalu dilaporkan ke BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam) Jawa Barat dan KLHK (Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan).
Baca juga: 60 Personel Disebar Cari Lansia Hilang di Gunung Sanggabuana, Jika Belum Juga Ditemukan Lapor Polisi
“Ini semakin memperkaya database keanekaragaman hayati Pegunungan Sanggabuana. Dan eksplorasi oleh Tim SCF ini merupakan bagian dari penyusunan pra kajian terkait usulan perubahan status kawasan Pegunungan Sanggabuana menjadi Taman Nasional," tambah Bernard.
Dia berharap temuan-temuan ini segera direspon oleh para pemangku kebijakan.
Sebab, javan horned frog ini memang tidak masuk di daftar satwa yang dilindung sesuai Permen 106, tapi populasinya memang sudah jarang.

Katak bertanduk ini, jika ditemukan di Sanggabuana menjadi indikator positif, karena keberadaan katak ini sering dijadikan indikator lingkungan.
Kalau masih ada katak bertanduk berarti ekosistemnya masih bagus. Paling tidak ini menjadi indikator juga untuk upaya pelestarian dan perlindungan yang dikerjakan SCF berada dijalur yang benar.
"Keberadaan herpetofauna sangat penting dalam rantai makanan dan menjadi bioindikator lingkungan," tutup Bernard.
Sesuai namanya, katak unik ini mempunyai tanduk di kepala, tepatnya diatas kedua matanya. Kedua tanduk katak dari suku Megophrydae ini sebenarnya adalah perpanjangan dermal pada bagian mata yang menyerupai tanduk.
Tanduk palsu atau tonjolan yang merupakan perpanjangan dermal ini tidak hanya ada di atas kedua matanya, tetapi juga tampak di bagian hidung yang meruncing.
Katak bertanduk jawa, di alam merupakan salah satu amphibi yang jago kamuflase.
Katak ini biasa bersembunyi dibalik serasah daun di dasar hutan, hingga kadang disebut katak serasah.
Biasanya katak bertanduk jawa tidak banyak bergerak, dan aktif pada malam hari, hingga susah untuk ditemukan.
Katak endemik jawa ini mempunyai ukuran sampai sekitar 10 cm untuk katak betina, sedangkan yang jantan berukuran lebih kecil.
Katak bertanduk biasa ditemukan di dataran menengah sampai dataran tinggi di ketinggian 2000 m dpl.
Katak bertanduk mempunyai warna tubuh cokelat keabu-abuan sampai cokelat kemerah-merahan.
Terdapat bintik kehitaman dibawah mata dan sepasang bentol di belakang diantara kedua kakinya.
Warna yang mirip serasah daun ini membantu katak bertanduk berkamuflase dengan kondisi hutan.