Bisnis
Pasang Surut Pedagang Angkringan di Jakarta, dari Banyak Jatah Preman hingga Pulih Pasca Pandemi
Angkringan mulai dikenal di Jakarta sejak beberapa tahun terakhir setelah terkenal di Yogyakarta, Solo dan Klaten, Jawa Tengah.
Penulis: Miftahul Munir | Editor: Lilis Setyaningsih
TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA ---- Menjalankan bisnis tidak selalu langsung berhasil.
Terkadang melewati gulung tikar, berganti bisnis dulu hingga akhirnya mantap menjalankan bisnis yang dilakoni hingga kini.
Nama angkringan mulai dikenal di Jakarta sejak beberapa tahun terakhir setelah terkenal di Yogyakarta, Solo dan Klaten, Jawa Tengah.
Angkringan memiliki arti alat dan tempat jualan keliling atau seperti gerobak dorong untuk menjual berbagai macam makanan dan minuman.
Pada umumnya, angkringan menjual makanan seperti nasi kucing atau nasi bungkus yang isinya terbilang sedikit dengan laut orek atau ikan teri.
Selain itu, pedagang angkringan mejajakan berbagai macan jenis sate misalnya, usus, kulit, kepala, sayap, ati ampela ayam, telur puyuh, tahun dan tempe bacem.
Sedangkan minuman yang dijual adalah jahe, es teh manis atau tawar, es jeruk, wedang jahe serta kopi.
Meski terkenal, tak sedikit orang yang membuka angkringan mengalami pasang surut pembelinya.
Hal itu pun di rasakan oleh salah satu pedagang angkringan bernama Rudi di pinggir Jalan Raya Pasar Minggu, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan.
Sejak 2016, ia sudah membuka angkringan dan pernah dua kali gagal karena pembelinya terus menurun.
Awalnya, ia membuka di daerah Cirebon, Jawa Barat. Di sana ia mengaku pembeli cukup ramai, tapi karena hasil jualannya habis tak tahu ke mana maka ia hanya bisa bertahan satu tahun.
"Kalau di sana, jualan habis, duit juga ikut habis enggak tahu ke mana, padahal biaya hidup di sana lebih murah daripada di Jakarta," ujarnya kepada Wartakotalive.com beberapa waktu lalu.
Baca juga: Kuliner Jakarta: Bakso Bakwan Malang Cak Su Kumis, Berkonsep Prasmanan Bebas Meracik Bumbu dan Menu
Setelah gagal di Cirebon, pria 26 tahun itu kembali mengadu nasib dengan membuka usaha yang sama yaitu angkringan.
Ia diminta oleh saudaranya untuk berjualan angkringan di kawasan Cengkareng, Jakarta Barat pada tahun 2018 lalu.
Usaha angkringan di kawasan Cengkareng cukup ramai pembeli, tapi karena ada saingan usaha yang sama akhirnya ia gulung tikar lagi.
Ditambah, kawasan Cengkareng banyak preman yang silih berganti datang meminta jatah atau makan tanpa bayar.
Padahal, bosnya sudah membayar lapak kepada salah satu preman di sana.
Selain faktor preman, pedagang angkringan di sana juga mulai menjamur, hingga ia mengalami penurunan pendapatan.
"Malam Minggu dan hari Minggu ramai kalau di Cengkareng, terus tutup," terangnya.
Baca juga: Kuliner Bekasi: Pecel Madiun Mbok Mi Sejak 1984, Dibandrol Mulai Rp15 Ribu sudah Bikin Perut Kenyang
Tahun 2019, kerabat jauhnya bernama Jawardi mengajak Rudi untuk membuka angkringan di Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Hampir lima tahun usaha angkringan itu bertahan karena lokasinya sangat strategis berada di pinggir jalan.
Tempatnya itu di depan gerbang ruko samping bengkel Yamaha setelah area malam Pahlawan Kalibata.
Rudi mengaku, menyewa lapak kepada pengelola ruko seharga Rp 600.000 perbulan.
Sewa lapak di tempatnya itu terbilang terjangkau dibanding tempat lain yang sudah mencapai jutaan rupiah.
Dalam sehari, ia bisa menghabiskan sekira 150 tusuk sate berbagai jenis, 150 nasi kucing, 25 gelas jahe serta puluhan gelas es teh dan es jeruk.
Para pembeli yang datang dari hari Senin sampai Jumat adalah pekerja yang biasa pulang melintasi kawasan Pasar Minggu.
Sedangkan di hari Sabtu masih ada pekerja yang membeli tapi tak seramai dari biasanya.
"Kalau hari biasa itu pukul 21.00 WIB biasanya sudah habis, pulangnya agak cepat, kalau Sabtu itu biasanya agak lama habisnya karena pekerjakan libur bisa sampai pukul 01.00 WIB baru pulang, Minggu libur," tuturnya.
Bagi keuntungan
Rudi sudah berpengalaman berjualan angrkingan, tapi ia belum berani membuka usaha sendiri.
Saat ini, masih ada kerabat jauhnya bernama Jawardi yang mau mengeluarkan modal usaha angkringan.
Sistem mendapatkan uangnya adalah bagi hasil sekira 70 persen untuk Jawardi dan 30 persen untuk Rudi.
Satu tusuk sate jenis usus, kulit, ati ampela, tempe serta tahu bacem seharga Rp 3.000. Hasil yang diterima Rudi dari pertusuk sate itu sekira Rp 300 perak.
Untuk harga telur puyuh dijual Rp 4.000 dan ia mendapatkan Rp 400 perak sedangkan kepala serta ayam ia menjual Rp 5.000 dengan pendapatan Rp 500 perak.
"Ya kalau habis semua paling sedikit bisa dapat uang buat saya itu Rp 80.000, paling besar sehari itu Rp 200.000, tergantung bawa berapa banyaknya sate," kata ayah satu anak.
Sementara, minuman yang dijajakan Rudi merupakan modal usahanya sendiri misalnya jahe ia modal satu kilogram Rp 40.000.
Jahe sebanyak itu dijadikan satu teko besar dan ia bisa menjual sebanyak 25 gelas dengan harga Rp5.000 perporsinya.
Es jeruk, ia jual seharga Rp7.000 dan es teh manis Rp5.000 dan ia begitu mensyukuri pendapatan dari jualan.
Dari semalam, ia bisa memberikan setoran ke Jawardi sebesar Rp 800.000 sampai Rp 1.000.000.
Tentunya setoran itu berkurang dibanding sebelum pandemi Covid-19 bisa sekira Rp 1.200.000 per malam.
"Kan saya juga tinggal di kost belakang ruko ini dibayarin sama bos saya, jadi saya hanya berfikir kumpulin uang untuk ngasih anak istri saja," ungkap Rudi.
Alih Profesi Saat Pandemi Covid-19
Rudi pun kilas balik jatuh bangun angkringan yang dilakoninya.
Baru beberapa bulan membuka usaha angkringan, Rudi sudah terkena imbas Pandemi Covid-19.
Mau tak mau, ia harus pulang ke kampung halaman di Klaten, Jawa Tengah karena tak bisa berjualan.
Rudi kemudian memulai bisnis ternak lele dengan membeli bibit dan di taruk di tambak belakang rumahnya.
Dalam kurun waktu tiga bulan ternak lele, Rudi bisa panen dan menjualnya ke penampung.
Harga jual lele yang ditawarkan penampungnya itu sekira Rp 17.000 perkilogram dengan isi sebanyak delapan ekor.
Tentunya jika menjadi peternak lele ia harus punya banyak relasi penampung demi mendapatkan harga yang tinggi.
"Biasanya dibandingin dahulu, biar kata bedanya cuma Rp 500 perak, saya pilih yang lebih gede," tegasnya.
Baca juga: Kuliner Jakarta: Inovasi Mie Ayam Cabe Uleg Rawamangun dari Sambal hingga Topping yang Berbeda
Selain menjual ke penampung, ia juga menjual lele ke tetangganya dengan harga yang lebih mahal sebesar Rp20.000 dalam keadaan hidup.
Namun, kalau lele sudah dalam keadaan mati serta dibersihkan jeroannya, maka dijual Rp 21.000.
"Banyak sih tetangga yang beli, tapi saya enggak terus karena pakan lelenya mahal bisa Rp 200.000 lebih per-50 kilo," terang Rudi.
Pria bertubuh kecil itu hanya satu kali panen dan kemudian beralih lagi menjadi peternak ayam kampung super.
Ia membeli anak ayam kampung super sebanyak 150 ekor seharga Rp 500.000.
Namun, ia mengakui merawat anak ayam lebih sulit dibanding ikan lele karena perlu modal pengukur suhu di kandang supaya tak mati.
Selain itu, Rudi juga memberikan vaksin beberapa minggh sekali dan setelah usia tiga bulan ayam tersebut dipanen untuk dijual.
"Berhasil, terus enggak lanjutin karena ribet dan rentan mati juga kan kalau ayam karena belinya benar-benar baru netes dua hari," ucapnya.
"Terus balik lagi ke Jakarta mulai jualan lagi, ya alhamdulillah sudah agak lumayan lah pembelinya meski enggak seramai sebelum pandemi," pungkasnya. (m26)
Gandeng Bank Mandiri, Garuda Indonesia Gelar Garuda Indonesia Umrah Festival 2025 |
![]() |
---|
Aplikasi Pintu Hadirkan 2 Fitur Terbaru untuk Perdagangan Derivatif Crypto |
![]() |
---|
Rayakan Semangat Kemerdekaan, AQUA Elektronik Luncurkan Inovasi Produk Terbaru |
![]() |
---|
Aplikasi PINTU Gelar Pintu Futures Trading Competition Berhadiah Rp 85 Juta |
![]() |
---|
Resmikan AQUA AC Proshop, AQUA Elektronik Gandeng Jojo Optima Solusindo |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.