Berita Jakarta

Demi Akselerasi Target Jokowi Soal Penurunan Stunting, Apkesmi Gelar Konsensus Pakar

Ketua Umum DPP Apkesmi dr. Trisna Setiawan sebut konsensus pakar digelar untuk sikapi arahan Presiden Jokowi, soal target penurunan angka stunting.

Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Panji Baskhara
Wartakotalive.com/Fitriyandi Al Fajri
Ketua Umum DPP Akselerasi Pusat Kesehatan Masyarakat Indonesia (Apkesmi) dr. Trisna Setiawan saat membuka konsensus pakar di Hotel Best Western Premier The Hive Jatinegara, Jakarta Timur pada Sabtu (9/9/2023). 

TRIBUNBEKASI.COM - Akselerasi Pusat Kesehatan Masyarakat Indonesia (Apkesmi) menggelar Konsensus Pakar Terkait Peran Setiap Tenaga Kesehatan di Puskesmas dalam Tatalaksana Percepatan Penurunan Stunting yang digelar, Sabtu (9/9/2023).

Hasil konsensus pakar ini akan diserahkan kepada Kementerian Kesehatan dan Kementerian Dalam Negeri untuk mengakselerasi target penurunan stunting yang dipatok Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).

Ketua Umum DPP Apkesmi dr. Trisna Setiawan mengatakan, konsensus pakar digelar untuk menyikapi, arahan Presiden Jokowi, soal target penurunan angka stunting di Indonesia jadi 14 persen pada tahun 2024.

Hal tersebut tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting.

"Stunting di Indonesia, berdasarkan Hasil Survey Status Gizi di Indonesia (SSGI) tahun 2022 alami penurunan prevalensi dari 24,4 persen di tahun 2021 menjadi 21,6 persen di tahun 2022."

"Untuk mengejar target stunting 14 persen di tahun 2024, diperlukan penanganan stunting sebesar lebih dari 3,5 persen per tahun" kata Trisna saat membuka konsensus pakar di Hotel Best Western Premier The Hive Jatinegara, Jakarta Timur pada Sabtu (9/9/2023).

Trisna menyadari, diperlukan kerjasama yang selaras antar institusi kesehatan.

Data Riskedas 2018 menunjukkan angka prevalensi stunting menurut kelompok umur, terdapat sekitar 22,6 persen bayi yang panjang badan lahirnya kurang normal (48 sentimeter).

Setelah lahir, bayi usia 0-5 bulan yang memiliki panjang badan kurang dari normal menurut umur, meningkat menjadi 23,2 persen.

Bahkan setelah bayi berusia 12-23 bulan menjelang 1.000 hari pertama kehidupan (HPK) terjadi peningkatan bayi dengan panjang badan kurang dari normal menurut umur menjadi sebesar 37,3 persen.

Sementara itu, sumber kasus stunting setelah lahir banyak terjadi setelah usia enam bulan.

Meski demikian, ada kasus bayi lahir sehat lalu menjadi stunting.

Hal itu karena sakit yang salah satu sebabnya akibat cakupan imunisasi dasar kurang dari 60 persen atau karena asupan gizi kurang.

"Pada tahun 2020, terdapat 57 dari 100 anak usia 12-23 bulan yang menerima imunisasi dasar lengkap, sedangkan terdapat 70 dari 100 anak 6-23 bulan yang menerima minimal 4 kelompok makanan dalam 24 jam" paparnya.

Menurut dia, Puskemas merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang sangat penting di Indonesia, dan menjadi unit pelaksana teknis dinas yang bertanggungjawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja.

Pada kasus perlambatan pertumbuhan (faltering), kenaikan berat badan yang tidak adekuat sesuai umur dan jenis kelamin merupakan tanda awal stunting.

Kata dia, kejadian ini dapat ditangani dengan standar pelayanan dan standar prosedur operasional di Puskesmas oleh dokter dan tenaga kesehatan pendukung lainnya.

Seperti tenaga pelaksana gizi, bidan dan perawat terkait.

Hal ini sebagaimana keputusan Menkes Nomor Nomor 1936 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1186 Tahun 2022 tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama.

Trisna menambahkan, Puskesmas menjadi pilar krusial dalam tatalaksana stunting yang diperkuat dengan Keputusan Menkes Nomor 1928 tahun 2022 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Stunting.

Di mana Puskesmas akan menerima rujukan dari skrining di posyandu dan merujuk ke rumah sakit apabila tidak dapat ditangani oleh Puskesmas.

“Atas dasar pemikiran tersebut di atas Apkesmi menyelenggarakan konsensus pakar yang dihadiri oleh sekitar 50 peserta, dari wilayah Jabodetabek,” imbuhnya.

Trisna merinci, para pakar itu meliputi: unsur Pemerintah Pusat diantaranya Kemenkes dan Kemendagri; Pemerintah Daerah yang diwakili Pemkot Jakarta Utara, Dinkes Provinsi DKI Jakarta, Sudinkes Jakarta Utara, dan Dinkes Kota Depok; Organisasi Profesi: Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI); Akademisi Guru Besar Gizi Masyarakat FKM UI dan Gizi Pangan IPB; Praktisi Dokter Spesialis Anak dan Spesialis Kandungan; Aktivis Stunting; Influencer Kesehatan; dan Tokoh Masyarakat.

Berdasarkan data yang diterima, Dinas Kesehatan DKI Jakarta dari periode Maret-Juli 2023 yang dirangkum pada 30 Agustus 2023 lalu, telah menyelesaikan 4.159 kasus stunting dari 22.312 kasus yang ada.

Kemudian dinas juga menyelesaikan 573 gizi buruk dari 1.977 kasus dan 1.187 kasus gizi kurang dari 9.032 gizi kurang.

Penurunan prevalensi stunting di DKI Jakarta sejak tahun 2019 mengalami penurunan rata-rata 1,6 persen per tahun. Data SSGI tahun 2019 sebesar 19,7 persen dan SSGI tahun 2021 sebesar 16,8 persen, dan tahun 2022 sebesar 14,8 persen.

Hal ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Provinsi DKI Jakarta yang diharapkan pada 2023 target prevalensi stunting sebesar 13,7 persen.

Penanganan stunting dilakukan melalui intervensi sensitif dan intervensi spesifik oleh lintas sektor dan kolaborasi berbagai pihak.

Intervensi sensitif adalah penanganan faktor-faktor non kesehatan yang berkontribusi terhadap terjadinya stunting.

Sedangkan intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan.

Seperti asupan makanan, pencegahan infeksi, status gizi ibu, penyakit menular dan kesehatan lingkungan.

Upaya untuk menurunkan prevalensi stunting hingga lima persen dilakukan dengan berupaya menemukan balita bermasalah gizi sedini mungkin sebelum menjadi stunting.

Upaya tersebut dilakukan dengan membangun kemitraan dengan banyak pihak dalam gerakan Jakarta Beraksi.

Penemuan kasus secara proaktif melalui active case finding juga dioptimalkan untuk menemukan lebih banyak balita yang memiliki masalah gizi.

Upaya pencegahan dalam intervensi spesifik juga dilakukan sejak usia remaja.

Yaitu skrinning anemia dan pemberian tablet tambah darah bagi remaja putri, skrinning calon pengantin, pemeriksaan berkala ibu hamil, serta pemberian makanan bagi ibu hamil yang kurang energi kronik.

(Wartakotalive.com)

Sumber: Wartakota
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved