Fadli Zon Tegaskan, Tak Ada Bukti Tentang Pemerkosaan Massal pada Kerusuhan Mei 1998

TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menegaskan pentingnya penguatan sejarah perempuan dalam narasi kebangsaan Indonesia. 

Hal itu disampaikannya bicara terkait polemik penulisan ulang buku sejarah, termasuk tragedi Mei 1998.

“Saya ikut mendorong sejarah perempuan diperkuat,” kata Fadli dalam sebuah wawancara, Kamis (12/6/2025).

Saat ditanya mengenai peristiwa kekerasan terhadap perempuan dalam tragedi Mei 1998 tidak dimasukkan dalam proyek buku tersebut, Fadli menyatakan hal tersebut masih menjadi perdebatan di kalangan sejarawan dan belum memiliki dasar bukti kuat.

“Kalau itu, itu menjadi domain pada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita enggak pernah tahu ada enggak fakta keras. Kalau itu kita bisa berdebat,” ujarnya.

Fadli mempertanyakan klaim tentang adanya rudapaksa massal dalam peristiwa tersebut. 

Politikus Partai Gerindra itu menyebut sampai saat ini tidak ada bukti konkret yang dapat dipertanggungjawabkan secara historis.

“Nah, ada rudapaksa massa betul enggak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Enggak pernah ada proof (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada enggak di dalam buku sejarah itu? Enggak pernah ada,” ucapnya.

Menurut Fadli, penyebaran rumor-rumor yang belum terbukti hanya akan memperkeruh suasana tanpa menyelesaikan persoalan. 

Ia menekankan bahwa sejarah yang dibangun harus mampu merekatkan persatuan bangsa.

“Rumor-rumor seperti itu, menurut saya, tidak akan menyelesaikan persoalan,” ucapnya.

Menanggapi keberadaan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang sempat dibentuk untuk mengusut kasus tersebut, Fadli menyatakan pernah menyampaikan sanggahan terhadap hasil temuan tim tersebut.

“Saya sendiri pernah membantah itu. Dan mereka tidak bisa buktikan,” katanya.

Lebih lanjut, Fadli menekankan bahwa sejarah Indonesia harus disusun dengan pendekatan yang mempersatukan serta berpijak pada perspektif kebangsaan.

“Maksud saya adalah, sejarah yang kita buat ini adalah sejarah yang bisa mempersatukan bangsa. Dan tone-nya harus begitu,” ucapnya.

Menutup isu perempuan ini, Fadli menegaskan bahwa semangat sejarah harus tetap jujur, tetapi dalam kerangka kepentingan nasional.

“Makanya perspektifnya, perspektif Indonesia,” katanya. (*)

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com