TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA ----- Kawasan Tomang yang berada di Jakarta Barat ini ternyata sudah ada sejak Indonesia belum merdeka.
Wilayah yang terletak di Kecamatan Grogol Petamburan ini menyimpan banyak sejarah Jakarta.
Adapun Tomang kini sudah menjadi nama salah satu kelurahan di Jakarta.
Namun nama Tomang ternyata sudah ada sejak Indonesia belum merdeka.
Tidak ada yang tahu pasti kenapa nama Tomang diberikan pada kawasan yang terletak di perbatasan antara Jakarta Barat dan Jakarta Pusat itu.
Ada yang bilang, nama Tomang diberikan masyarakat Betawi lantaran kawasan itu dulunya merupakan rawa-rawa sehingga tidak dihuni manusia.
Sehingga dipercaya wilayah tersebut menjadi tempat pembuangan jin atau warga Betawi kerap percaya sosok Jin Tomang.
Meski begitu dalam sejarah Tomang lainnya, beberapa tokoh masyarakat yang tinggal di kawasan Tomang mengatakan Tomang artinya dapur.
Konon, kawasan itu dulunya merupakan gudang logistik Hindia Belanda dan sekaligus menjadi semacam dapur umum.
Dapur umum yang memasok makanan bagi para tentara kolonial yang bertugas di wilayah Batavia, khususnya daerah sekitar tempat itu, salah satunya asrama di Petojo.
Tanda-tanda bekas gudang logistik sudah tidak ada lagi, karena Tomang sekarang penuh dengan gedung perkantoran.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Kolam Renang Bulungan Dibangun Ali Sadikin, Pernah Dikunjungi Ratu Elizabeth II
Baca juga: Sejarah Jakarta: Gedung Pancasila Berusia Lebih Dua Abad, Bekas Rumah Panglima Perang Belanda
Pada abad ke-18 sebanyak 75 persen serdadu VOC adalah orang Madura asal Sumenep.
Dipercaya di luar Kastil Batavia, serdadu Madura ditempatkan di benteng-benteng yang menyebar di wilayah Ommelanden; Fort Angke, Vijhoek, Rijswijk, Noordwijk, Jacatra, dan Ancol.
Kemungkinan seluruh serdadu Madura ditempatkan di lingkungan basah, rawa-rawa yang nyaris tak layak huni.
Kawasan Tomang dulunya merupakan salah satu ekosistem lahan basah di Ommelanden.
Menariknya, orang Madura bisa bertahan di tempat ini.
Saat tinggal di Tomang, orang Madura tersebut membawa tradisi kampung halaman.
Yakni salah satunya membuat tungku gerabah untuk masak sehari hari.
Tungku besar untuk memasak nasi itu diletakkan di luar rumah dan orang Madura menyebutnya Tomang.
Selain itu dalam sebuah tulisan disebutkan wilayah Tomang di Jakarta mempunyai asal-usul saat pada tahun 1805 Panembahan Sumolo (Panembahan Natakusuma I) mengirimkan pasukan perang ke Batavia untuk membantu Belanda, dalam perang Padri yang dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol di Sumatera barat.
Panembahan Sumolo yang bernama asli Asiruddin ini bisa dikatakan merupakan maestro di kalangan penguasa dinasti terakhir penguasa Sumenep, Madura (1750-1929).
Dua bangunan monumental Sumenep yang masih bisa disaksikan oleh generasi saat ini, yaitu keraton dan masjid Jami’, lahir di masa Sumolo.
Dikutip dari situs Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, Tomang-Jati Pulo merupakan daerah asli dari seluruh wilayah Kelurahan Jati Pulo dan Tamang.
Di sekitar daratan yang berbentuk pulau ini dikelilingi dengan rawa-rawa yang selalu penuh air di musim hujan atau kemarau.
Dipercaya nama Tomang diambil dari arti bunga.
Sedang pula berarti "pulau atau daratan". Jadi "Tomang Pula" merupakan bunga yang tumbuh di pulau.
Pada zaman Belanda masih berupa hutan dan sawah-sawah milik penduduk.
Di daerah ini tidak ada rumah Belanda, walaupun mereka kadang berpatroli ke Tomang-Jati Pulo.
Kebanyakan orang Belanda tinggal di asrama di sekitar Petojo.
Kemungkinan mereka takut terjangkit penyakit malaria karena banyaknya rawa di daerah Tomang-Jati Pulo.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Masjid Raya di Jakarta Rupanya Masjid KH Hasyim Asyari, Pernah Tampung Pasien Covid
Baca juga: Sejarah Jakarta: Gedung Kesenian Jakarta Dibangun Sejak 1821 Pernah Disebut Gedung Komedi
Seiring meluasnya pelebaran kekuasaan Batavia, penduduk Tomang sudah bercampur antara masyarakat asli dengan pendatang dari Jawa khususnya Sunda, Sumatera, Nusa Tenggara, dan keturunan Cina.
Penduduk asli banyak yang hidup berkecukupan dengan menjual tanah yang dulunya masih belum bertuan.
Rumah tradisional Tomang-Jati Pulo berbentuk kebaya dan masih berdinding gedek serta beratap rumbia.
Hanya rumah kepala kampung saja yang sebagian sudah bertembok.
Antara satu rumah dengan rumah yang lain masih terdapat hutan kecil atau semak belukar.
Di samping rumah dibangun blandongan untuk menimbun dedak. Selain itu juga ada empang atau kolam ikan yang juga digunakan untuk buang air besar.
Di belakang rumah ada kandang kambing dan sumur untuk air minum.
Di dekat rumah juga ada tempat sholat untuk tiga atau empat orang.
Pada saat lebaran, penduduk selalu membunyikan petasan.
Kalau tidak akan dianggap tidak menghormati hari raya ini.
Tata cara pernikahan di Tomang
Zaman dulu, warga Tomang memiliki tata cara perkawinan yang unik.
Hal unik itu terlihat ketika pasangan mempelai belum saling mengenal karena mereka dijodohkan oleh orang tuanya.
Pada malam pengantin, pengantin laki-laki menegur istrinya dengan meletakkan uang sebesar 25 atau 50 sen di sebuah tempat kemudian dia harus menyingkir jauh-jauh sambil melirik apakah uang itu diambil atau tidak oleh pengantin wanita.
Jika diambil maka istrinya akan menyahut kalau ditegur. Tetapi kalau tidak, uangnya harus ditambah.
Waktu melamar pihak laki-laki juga mengirim mas kawin berupa selop, kain batik, cincin emas, tusuk konde, kancing baju dara mas berentengan, almari pakaian berkaca, toilet, dan tempat tidur.
Sedangkan kesenian yang ada di daerah Tomang-Jati Pulo antara lain Rebana Ketimpring untuk mengiringi arak-arakan pengantin perempuan, Lenong, Tanjidor, dan Cokek.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Menilik Kampung Pekojan dengan Masjid Jami An-Nawier yang Berdiri Sejak 1760
Baca juga: Sejarah Jakarta: Museum Benyamin Sueb Diresmikan Tahun 2018 di Bangunan yang Berdiri Sejak 400 Tahun
Kini kawasan Tomang sudah maju sedemikian pesat dan salah satu pusat Jakarta yang patut diperhitungkan.
Wilayah Tomang kini terkenal dengan jalan layang tinggi yang bertingkat.
Proyek jalan layang pertama kali dibangun di Jalan Raya Tomang, Jakarta Barat. Jalan layang itu dibangun 1972 dan selesai pada 1975.
Tidak jauh dari jalan layang tersebut, terdapat sebuah Mall megah dibangun bernama Mall Taman Anggrek.
Mall Taman Anggrek diresmikan pada 28 Agustus 1996.
Di atasnya juga terdapat apartemen mewah bernama Apartemen Taman Anggrek.
Mal ini didirikan oleh Salimin Prawiro Sumarto, konglomerat asal Kebumen.
Saat awal berdiri, Mall Taman Anggrek sempat menjadi mal terbesar di Asia Tenggara.
Kemudian persis di samping Mall Taman Anggrek dibangun sebuah mall modern semi terbuka bernama Central Park dan Neo Soho.
Central Park dan Neo Soho dibuka September 2009.
Bangunan ini didirikan di atas lahan seluas sekitar 125.000 meter persegi.
Dengan luas tersebut, tidak heran jika Central Park dinobatkan sebagai salah satu bangunan terbesar di dunia.
Pada tahun 2016, Kelurahan ini dihuni oleh 34.265 penduduk yang terbagi dari 16.949 laki-laki dan 16.801 perempuan dengan seks rasio 100,88 dan 11.756 kepala keluarga.