TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA ------ Pelabuhan Sunda Kelapa jadi saksi bisu perkembangan sebuah pelabuhan.
Bagaimana tidak, sudah ada sejak abad ke 5, hingga kini tetap beroperasi.
Pelabuhan Sunda Kelapa sudah berdiri lebih dari 1000 tahun. Pelabuhan di Penjaringan, Jakarta Utara itu menyimpan banyak sejarah Jakarta.
Dalam sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa diprediksi pelabuhan ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Tarumanegara tepatnya di abad ke-5.
Artinya, apabila dihitung hingga tahun 2023, maka Pelabuhan Sunda Kelapa sudah berusia 1400 tahun lebih.
Tarumanegara merupakan kerajaan Hindu yang berdiri pada abad ke 4 M atau ke 5 M.
Letak Kerajaan Tarumanegara adalah di tepi sungai Citarum, Jawa Barat.
Diperkirakan letak dari Kerajaan Tarumanegara adalah di wilayah Bekasi saat ini.
Tidak jauh dari pusat Kerajaan Tarumanegara berdirilah sebuah pelabuhan yang kini berlokasi di Penjaringan, Jakarta Utara.
Pelabuhan itu di era Tarumanegara bernama Sundapura.
Kemudian di abad ke-12 Pelabuhan Sunda Kelapa dipegang oleh Kerajaan Pajajaran.
Saat itu Kerajaan Pajajaran menamakan pelabuhan tersebut dengan Pelabuhan Kalapa.
Pada abad-12, beberapa kapal asing mulai berlabuh di pelabuhan untuk menukar barang-barang mereka dengan rempah-rempah Indonesia.
Kapal-kapal tersebut berasal dari Jepang, Tiongkok, India Selatan, dan Timur Tengah.
Di era inilah perdagangan Nusantara dengan Eropa dan Timur Tengah terbuka sehingga berada di tingkat kejayaan.
Baca juga: Rencana Peninggian Tanggul di Pelabuhan Sunda Kelapa Belum Jelas, Padahal Sudah Lama Diusulkan Warga
Baca juga: Pria Muda Tewas Tenggelam Akibat Kaget Mendengar Ban Truk Meledak di Pelabuhan Sunda Kelapa
Pelabuhan Sunda Kelapa berhasil berkembang menjadi salah satu pelabuhan penting yang ada di pulau Jawa, mengingat lokasinya yang cukup strategis.
Selain pedagang-pedagang dari berbagai daerah di Nusantara yang melakukan kegiatan perdagangan di pelabuhan ini.
Tak jarang pedagang – pedagang asing dari negeri luar seperti Tiongkok, Arab, India, Inggris dan Portugis.
Barang-barang yang biasa dibawa untuk ditukarkan adalah kopi, sutra, kain, porselen, kuda, anggur, wangi-wangian, dan zat warna.
Bangsa Portugis bahkan membangun relasi dengan Kerajaan Sunda hingga diizinkan membuat kantor dagang di sekitar pelabuhan.
Perjanjian tersebut juga memberikan kebebasan bagi Portugis untuk berdagang melalui Sunda Kelapa.
Mereka juga mendapat izin untuk membangun gudang sebagai tempat menampung barang dagangannya.
Pada 1527, Portugis kembali datang untuk memperpanjang perjanjian, namun saat itu Pelabuhan Sunda Kelapa sudah dikuasai Kesultanan Demak.
Tidak seperti Kerajaan Sunda, Kesultanan Demak melihat kedatangan Portugis sebagai ancaman.
Kesultanan Demak yang melihat hubungan Portugis dengan Kerajaan Sunda sebagai sebuah ancaman, kemudian merencanakan penyerangan atas Sunda Kelapa.
Pada 22 Juni 1527, pasukan gabungan Kesultanan Demak-Cirebon dibawah pimpinan Fatahillah menyerang dan berhasil menguasai Sunda Kelapa dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta.
Peristiwa ini kemudian diingat sebagai ulang tahun Kota Jakarta.
Nama ini biasanya diterjemahkan sebagai kota kemenangan atau kota kejayaan, namun sejatinya artinya ialah "kemenangan yang diraih oleh sebuah perbuatan atau usaha" dari bahasa Sanskerta, jayakṛta.
Namun kejayaan Jayakarta hanya berlangsung sesaat hingga Belanda tiba di pelabuhan tersebut.
Belanda pada tahun 1596 di bawah kepemimpinan Cornelis de Houtman, datang ke pelabuhan tersebut dengan tujuan utama mencari rempah-rempah.
Awalnya pada tahun 1610 Kesultanan Cirebon dan VOC membuat perjanjian perdagangan di Pelabuhan Jayakarta.
Saat itu wakil VOC ialah Jacques L’Hermite sementara pihak Jayakarta diwakili oleh Pangeran Jayawikarta atau Wijayakarta penguasa Jayakarta saat itu.
Dalam perjanjian tersebut, disebutkan bahwa Belanda diijinkan membuat gudang dan pos dagang di timur muara sungai Ciliwung.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Asal Usul Nama Tomang, dari Tempat Jin Buang Anak Hingga Berarti Dapur
Baca juga: Sejarah Jakarta: Kolam Renang Bulungan Dibangun Ali Sadikin, Pernah Dikunjungi Ratu Elizabeth II
Mendapatkan keuntungan yang besar dari perdagangan tersebut, VOC kemudian memonopoli perdagangan di Pelabuhan Jayakarta bahkan hingga berujung peperangan.
Jan Pieterszoon Coen yang merupakan Gubernur Jenderal VOC kala itu memimpin peperangan melawan Kesultanan Demak yang berakhir dengan kemenangan Belanda.
Hingga akhirnya Jayakarta jatuh ke tangan Hindia Belanda dan diubah namanya menjadi Batavia.
Di dekat pelabuhan itulah Belanda membuat sebuah kota yang juga dinamakan Batavia kini dikenal sebagai Kota Tua Jakarta.
Di masa penjajahan Hindia Belanda, Pelabuhan Sunda Kelapa menjalani renovasi besar-besaran.
Misalnya saja kanal sepanjang 810 meter pada tahun 1817 diperbesar menjadi dua kali lipat yakni 1.825 meter.
Namun memasuki abad ke-19, Pelabuhan Sunda Kelapa mulai sepi karena adanya pendangkalan.
Selain itu Batavia juga bersaing dengan Singapura dalam hal perdagangan.
Baca juga: Sejarah Jakarta: Gedung Pancasila Berusia Lebih Dua Abad, Bekas Rumah Panglima Perang Belanda
Baca juga: Sejarah Jakarta: Masjid Raya di Jakarta Rupanya Masjid KH Hasyim Asyari, Pernah Tampung Pasien Covid
Untuk menggantikannya, Belanda membangun pelabuhan samudera Tanjung Priok yang jaraknya sekitar 15 km ke timur dari Sunda Kelapa.
Di zaman penjajahan Jepang, Batavia diubah namanya menjadi Jakarta.
Kemudian setelah zaman kemerdekaan, dilakukan rehabilitasi sehingga pelabuhan ini memiliki kanal sepanjang 3.250 meter yang dapat menampung 70 perahu layar dengan sistem susun sirih.
Nama pelabuhan tersebut pun diubah seperti kejayaannya di era Pajajaran yakni Pelabuhan Sunda Kelapa.
Penamaan itu juga berdasar SK Gubernur DKI Jakarta tanggal 6 Maret 1974.
Meski sudah berusia lebih dari 1.000 tahun, Pelabuhan Sunda Kelapa hingga kini masih aktif digunakan.
Namun, kini Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta diperuntukkan untuk kapal-kapal dengan ukuran lebih kecil dan melayani lalu lintas perdagangan antar-pulau (dalam negeri).
Adapun pengelola pelabuhan ini adalah BUMN PT Pelabuhan Indonesia (Persero) atau Pelindo.