Pilkada 2024

PDIP Tuding Pemilu Cacat, 'Partai Cokelat' Masif Cawe-cawe di Pilkada 2024

Penulis: Yolanda Putri Dewanti
Editor: Dedy
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus mengatakan, Pemilu Indonesia kemarin termasuk Pilkada 2024 adalah pemilu yang paling cacat.

TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA --- Pihak DPP PDI Perjuangan menyebut dan menuding Pemilu Indonesia kemarin termasuk Pilkada 2024 adalah pemilu yang paling cacat.

"Budaya politik buruk ini kami menamakan sebagai budaya Jokowisme, karena bermula pada saat seorang penguasa bernama Jokowi dengan segala cara, dengan segala kekuasaan yang dimilikinya, melakukan upaya-upaya untuk menghasilkan pemilu sesuai keinginannya," kata Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Deddy Yevri Sitorus di Kantor DPP PDIP, Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (28/11/2024). 

Menurutnya, dengan adanya hal itu, akhirnya digerakanlah Partai Cokelat yang menjadi kosakata baru dalam perpolitikan Indonesia masa kini. 

"Sudah disebutkan di dalam gedung DPR, baik Komisi II maupun Komisi III juga sudah mensinyalir masalah ini. Jadi ini bukan sesuatu yang baru. Kami di PDI Perjuangan terus terang sedih, karena yang dimaksud Partai Cokelat ini sudah barang tentu adalah oknum-oknum kepolisian. Cuma karena tidak hanya satu, tidak hanya satu tempat, mungkin sebaiknya kita tidak menyebut oknum-oknum,"  ucap dia.

BERITA VIDEO : TEGAS! KLAIM JATENG MASIH KANDANG BANTENG, MEGAWATI: SEHARUSNYA TAK TERKALAHKAN KALAU PILKADA FAIR

Deddy Yevri Sitorus mengatakan, Partai Cokelat bergerak sudah berdasarkan komando, dan orang yang paling bertanggungjawab di balik itu diduga adalah Kapolri Listyo Sigit. 

"Beliau bertanggung jawab terhadap institusi yang dia kendalikan, yang dia pimpin, yang ternyata merupakan bagian dari kerusakan demokrasi kita. Ini tanggung jawab yang saya kira harus dibebani di pikul sepanjang sejarah kita," ujarnya. 

Padahal, kata Deddy, Presiden kelima RI Megawati Soekarnoputri sudah bersusah payah memisahkan Polri dari ABRI.

Tujuannya tak lain untuk melayani dan melindungi masyarakat. Namun yang terjadi kata Deddy, justru aksi Kepolisian diduga sangat parah dalam Pilkada. 

Baca juga: Megawati Soekarnoputri Zikir Pakai Tasbih Hijau, Doakan Pasangan Pramono-Rano Menang Pilkada Jakarta

Atas dasar itu, menurutnya PDIP sudah mendalami agar Kepolisian kembali didorong berada di bawah Panglima TNI atau Kementerian Dalam Negeri. 

"Tetapi perlu diketahui bahwa kami sudah sedang mendalami kemungkinan untuk mendorong kembali agar Kepolisian Negara Republik Indonesia kembali di bawah kendali Panglima TNI. Atau agar Kepolisian Republik Indonesia dikembalikan ke bawah Kementerian Dalam Negeri," katanya. 

"Tugas polisi mungkin jika nanti DPR bersama-sama bisa menyetujui, menjaga lalu lintas kita supaya aman dan lancar, berpatroli keliling dari rumah ke rumah agar masyarakat tidur dengan nyenyak. Ada bagian reserse yang bertugas mengusut, mengurai, melakukan, menyelesaikan kasus-kasus kejahatan untuk sampai ke pengadilan. Di luar itu saya kira tidak perlu lagi, karena negara ini sudah banyak institusi yang bisa dipakai untuk menegakkan hukum, jadi polisi fokus pada itu. Itulah refleksi kami terhadap institusi Kepolisian," ungkap dia.

Dia menyinggung kekinian justru banyak kasus yang harus diselesaikan oleh Polri ketimbang cawe-cawe dalam Pilkada.

Kemudian ia menyoroti juga aksi para PJ Gubernur yang tak kalah cawe-cawenya di Pilkada. 

"Ini bukan soal PDI perjuangan, ini bukan soal calon Kepala Daerah, ini soal cara kita bernegara, ini soal cara kita berdemokrasi. Untuk apa sebuah kemenangan jika itu dihasilkan dari kejahatan terhadap hukum dan per undang-undangan? Apakah sesungguhnya memang kita bukan lagi negara hukum, tapi betul-betul sudah menjadi negara kekuasaan? Kami terus terang bersimpati dan kasihan melihat Presiden Prabowo," ungkapnya.

(Sumber : Wartakotalive.com, Yolanda Putri Dewanti/m27)

Baca berita TribunBekasi.com lainnya di Google News

Ikuti saluran TRIBUN BEKASI di WhatsApp.