Gelar Pahlawan Nasional

Cerita Pilu Penyintas Tragedi Tanjung Priok, Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto!

Sebab, pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan akan melukai hati para korban yang belum mendapatkan keadilan.

Editor: Dedy
(Tribunnews.com/Mario Christian Sumampaow)
GELAR PAHLAWAN NASIONAL --- Ratusan replika tengkorak manusia dipajang di lokasi acara forum diskusi publik yang digelar di aktivis 98 di Puri Agung Grand Ballroom, Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Pusat, Sabtu (24/5/2025). Para aktivis tersebut menyampaikan penolakan rencana pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden ke-2 RI, Soeharto. (Tribunnews.com/Mario Christian Sumampaow) 
Ringkasan Berita:
  • Korban Tragedi Tanjung Priok 1984 menceritakan ulang perlakuan rezim Orde Baru yang dialaminya 
  • Cendekiawan Franz Magnis-Suseno atau Romo Magnis menyatakan penolakannya terhadap pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto.
  • Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menutup mata atas penderitaan keluarga korban Tanjung Priok.

 

TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA --- Korban Tragedi Tanjung Priok 1984, Amanatun Najariyah menceritakan ulang perlakuan yang dialaminya di rezim Orde Baru.

Amanatun Najariyah pun menilai bahwa memberi gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan menutup mata atas penderitaan keluarga korban Tanjung Priok.

Sebab, pengakuan terhadap Soeharto sebagai pahlawan akan melukai hati para korban yang belum mendapatkan keadilan.

"Dengan kondisi seperti itu, pantaskah seorang pemimpin, seorang negarawan kemudian memperlakukan rakyatnya seperti itu? Terus dia punya kebaikan yang satu, terus dijadikan pahlawan, tapi semua perbuatannya jelek, apa bisa masuk akal tidak kalau dia itu seorang pahlawan?" tandasnya.

Suara lantang ‘Tidak Adil’ yang keluar dari mulut Amanatun Najariyah menggema di salah satu restoran makanan di kawasan Jakarta Timur, ketika menceritakan ulang perlakuan yang dialaminya di rezim Orde Baru.

Bahkan, Amanatun juga ‘menunjuk-nunjuk’ para mahasiswa yang hadir sebagai peserta diskusi di ruangan itu.

Baca juga: Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Tunggu Keppres, Koalisi Masyarakat Sipil Menolak!

Beranjak dari kursi coklat, Amanatun juga berteriak “Ada tidak suratnya? Ada tidak perintahnya penangkapan ini? Terus kakak saya mau dibawa kemana?”. 

Kejadian itu membuat seisi ruangan yang dipenuhi kurang lebih 50 orang langsung terasa sunyi.

Amanatun juga memperagakan bagaimana seorang ‘komandan’ memperlihatkan pistol kepadanya. “Ini mau sikat gigi kan”, ucap dia sambil memperagakan sedang membuka tas kecil.

Apa yang disampaikannya ini merupakan peristiwa kelam yang dialaminya ketika dirinya harus dijemput paksa dan dijembloskan ke penjara oleh aparat militer saat peristiwa Tanjung Priok tahun 1984, lalu.

Amanatun menyampaikan ini saat menjadi pembicara diskusi ‘SoehartoBukanPahlawan’ pada Rabu (5/11/2026).

Dia secara tegas menolak wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto. 

Dia menyebut, penolakan tersebut datang bukan karena sekadar luka di masa lalu. Melainkan, kata dia, persoalan ketidakadilan yang masih dirasakan. 

"Saya tidak rela kalau Soeharto itu dijadikan pahlawan, karena saya sendiri sampai sekarang tidak mendapatkan pengadilan yang hak untuk diri saya," ucap Amanatun.

Saat itu, dirinya ditangkap hanya karena membela kakaknya yang ditahan tanpa adanya surat perintah. 

"Kemudian dijebloskan di kantor polisi, diinterogasi sampai pagi. Saya melihat penyiksaan kepada kakak saya dan teman-teman yang ada," katanya. 

Amanatun pun menceritakan perlakuan yang dialaminya jauh dari kata manusiawi. Di mana para aparat memberikan makanan dengan cara dilempar dan ditempatkan di ruang sel yang tidak layak.

Setelahnya, dirinya dibawa ke Komando Distrik Militer (Kodim) di mana saat itu dirinya sempat diminta membuka seluruh pakaiannya. 

"Saya melawan, melindungi diri. Tadinya mau ditelanjangi di hadapan teman laki-laki semuanya," tambahnya. 

Amanatun, yang saat peristiwa itu berusia 27 tahun menceritakan bagaimana banyak korban Tragedi Tanjung Priok lain disiksa dan dibunuh tanpa proses hukum.

"Di Priok itu (korban) dilindas pakai tank, bekasnya remuk sekali dan sudah jadi serpihan-serpihan," katanya. 

Cendekiawan Romo Magnis menolak

Sebelumnya, Cendekiawan Franz Magnis-Suseno atau Romo Magnis menyatakan penolakannya terhadap pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden kedua RI, Soeharto.

Meski mengakui sejumlah jasa Soeharto, Romo Magnis menegaskan bahwa seorang pahlawan nasional dituntut untuk tidak memiliki catatan kelam yang melanggar etika bahkan kejahatan kemanusiaan.

Hal itu disampaikan Romo Magnis saat konferensi pers terkait penolakan gelar pahlawan kepada Soeharto yang dihadiri para aktivis, akademisi hingga tokoh agama di Gedung YLBHI, Menteng, Jakarta, Selasa (4/11/2025).

"Tidak disangkal sama sekali bahwa Soeharto adalah seorang presiden yang hebat. Soeharto yang membawa Indonesia keluar dari krisis komunisme dalam tahun-tahun terakhir demokrasi terpimpin, dan meskipun orang kaya makin kaya, orang miskin juga jadi lebih baik," ujar Romo Magnis.

Dia juga menyoroti peran Soeharto dalam politik luar negeri. Dimana, Soeharto menyatakan menolak konfrontasi dengan Malaysia dan membuat Indonesia menjadi bagian ASEAN.

Namun, Romo Magnis menekankan bahwa gelar pahlawan nasional membawa standar moral yang lebih tinggi.

"Tapi dari seorang pahlawan nasional dituntut lebih. Dituntut bahwa yang tidak melakukan hal-hal yang jelas melanggar etika dan mungkin juga jahat," tegasnya.

Dia kemudian menyoroti dua dosa besar yang melekat pada rezim Orde Baru yakni soal pelanggaran HAM berat dan korupsi yang masif.

Romo Magnis dengan tegas menyebut peristiwa 1965-1966 sebagai salah satu tindakan genosida terbesar abad ke-20.

"Tidak bisa disangkal, bahwa Soeharto yang paling bertanggung jawab atas satu dari 5 genosida terbesar umat manusia di abad bagian ke dua abad ke-20, yaitu pembunuhan sesudah tahun 1965-1966 antara 800 ribu dan menurut Sarwo Edi yang sangat aktif, 3 juta orang. Mengerikan sekali," katanya.

Selain peristiwa tersebut, dia juga menyebutkan adanya ‘pelanggaran HAM lain yang keras dan kasar’ yang terjadi selama masa pemerintahan Orde Baru.

Alasan kedua yang menurutnya sangat kuat adalah praktik korupsi yang dilakukan Soeharto.

"Salah satu alasan mengapa Soeharto tidak boleh menjadi pahlawan, adalah bahwa dia melakukan korupsi besar-besaran. Dia memperkaya keluarga, dia memperkaya orang-orang dekatnya, memperkaya dirinya sendiri. Bukan pahlawan nasional," ujar Romo Magnis.

Dia menjelaskan bahwa figur pahlawan nasional seharusnya mencerminkan pengabdian tanpa pamrih.

Dengan pertimbangan itu, Romo Magnis menyimpulkan sikapnya dengan jelas menolak gelar pahlawan untuk Soeharto.

"Bagi saya, ini alasan yang sangat kuat bahwa (Soeharto) jangan dijadikan pahlawan nasional," tandas Romo Magnis.

BERITA VIDEO : PSI BERUBAH 180 DERAJAT, KINI NGOTOT INGIN SOEHARTO JADI PAHLAWAN

Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional

Menteri Kebudayaan RI sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, menegaskan bahwa nama Presiden ke-2 RI Soeharto memenuhi syarat sebagai calon Pahlawan Nasional. 

Hal itu disampaikan Fadli usai melaporkan hasil seleksi calon penerima gelar pahlawan kepada Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

Fadli menjelaskan, pengusulan gelar pahlawan nasional berasal dari masyarakat dan melewati proses penilaian berlapis mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi, hingga Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) di Kementerian Sosial sebelum dibahas di Dewan GTK.

“Semua 49 nama ini memenuhi syarat. Perjuangannya jelas, latar belakangnya, riwayat hidupnya sudah diuji secara akademik, secara ilmiah, melalui beberapa tahap,” kata Fadli.

Menurut Fadli, nama Soeharto merupakan salah satu tokoh yang telah beberapa kali diusulkan dan dinilai memiliki rekam jasa perjuangan yang signifikan. Termasuk, kepemimpinannya dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

“Termasuk nama Presiden Soeharto itu sudah tiga kali bahkan diusulkan. Beliau memimpin Serangan Umum 1 Maret yang menjadi tonggak Indonesia bisa diakui eksistensinya oleh dunia,” ujarnya.

Saat ditanya soal kritik publik terkait dugaan pelanggaran HAM dan tuduhan genosida yang kerap diarahkan kepada Soeharto, Fadli mengatakan tidak terdapat pembuktian historis maupun hukum atas tuduhan tersebut.

“Enggak pernah ada buktinya kan. Enggak pernah terbukti. Pelaku genosida apa? Enggak ada. Saya kira enggak ada itu,” kata Fadli.

Lebih lanjut, Fadli menegaskan penilaian gelar pahlawan dilakukan berdasarkan fakta sejarah dan jasa, bukan opini politik.

“Kita bicara sejarah, fakta, dan data. Semua yang diusulkan ini datangnya dari masyarakat dan sudah ada kajian berlapis. Jadi soal memenuhi syarat, itu sudah memenuhi syarat,” ucapnya.

Dewan GTK menyampaikan terdapat 49 nama yang masuk dalam daftar kajian tahun ini. Dari jumlah itu, ada 24 nama diprioritaskan untuk disampaikan ke Presiden Prabowo.

Jumlah akhir penerima gelar pahlawan nasional akan ditetapkan Presiden melalui Keputusan Presiden (Keppres) jelang peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2025. (Tribun Network/ Yuda).
 
(Sumber : Tribunnews.com)

Baca berita TribunBekasi.com lainnya di Google News 

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved