Gelar Pahlawan Nasional
Sejumlah Akademisi di Bali Ramai-ramai Dukung Soeharto Terima Gelar Pahlawan, Ini Alasannya
Kendati demikian, Nova tak ingin pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto malah menimbulkan sebuah isu hingga menimbulkan konflik.
Penulis: Yolanda Putri Dewanti | Editor: Dedy
Ringkasan Berita:
- Sejumlah akademisi di Bali dukung Presiden ke-2 RI Soeharto menerima gelar pahlawan nasional
- Ini alasan akademisi di Bali yang mendukung Soeharto menerima gelar pahlawan
- Begini awal mula rencana pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto
TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA --- Sejumlah akademisi di Bali menyatakan dukungannya terhadap mendiang Presiden ke-2 RI, Soeharto yang menjadi salah satu kandidat penerima gelar pahlawan nasional pada 10 November atau pada hari pahlawan.
Soeharto dianggap sebagai sosok yang memiliki jasa besar bagi Indonesia.
“Kalau kita melihat dari segi objektifnya, Bapak Soeharto memimpin kita puluhan tahun loh ya, kita juga harus melihat apa sih yang sudah dibangun oleh beliau. Jadi berhak juga beliau untuk diberikan gelar tersebut,” kata dosen Fakultas Ilmu Komunikasi dan Bisnis Universitas Dwijendra, Ni Made Adi Novayanti dalam keterangannya, Jumat (7/11/2025).
Terlepas dari pro dan kontra yang saat ini tengah terjadi di publik mengenai gelar pahlawan tersebut, perempuan yang akrab disapa Nova ini menilai banyak capaian yang sudah ditorehkan oleh Presiden Soeharto selama memimpin Indonesia 32 tahun.
Baca juga: Cerita Pilu Penyintas Tragedi Tanjung Priok, Tolak Gelar Pahlawan untuk Soeharto!
“Yang jelas, kita tidak boleh melupakan sejarah dan jasa beliau,” imbuhnya.
Kendati demikian, Nova tidak ingin pemberian gelar pahlawan untuk Soeharto tersebut malah menimbulkan sebuah isu yang kemudian menimbulkan konflik.
Oleh karena itu peran media menjadi penting dalam hal ini.
“Jadi kita sebagai orang-orang media ketika ada hal-hal yang seperti itu, kita tanggapi secara positif tapi tidak digoreng dalam bahasa medianya itu sebagai sebuah konflik. Kita tujuannya seperti lagi-lagi, kita sebagai media yang harus netral ketika ada isu-isu itu,” jelas dia.
Senada dengan Nova, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, I Gede Nandya Oktora menilai bangsa yang besar tidak boleh melupakan jasa para pemimpin terdahulu, termasuk Soeharto yang dikenal sebagai bapak pembangunan nasional.
“Yang jelas, kita tidak boleh melupakan sejarah dan jasa beliau,” ucap pria yang akrab disapa Nandya ini.
Kendati demikian, Nandya menyerahkan seluruh proses administrasi dan kelaiakan gelar pahlawan Presiden Soeharto kepada pihak yang berwenang agar lebih tepat dengan juga mendengarkan masukan publik.
“Tapi untuk urusan setuju atau tidaknya, saya serahkan pada pihak yang berwenang,” ungkapnya.
BERITA VIDEO : PSI BERUBAH 180 DERAJAT, KINI NGOTOT SOEHARTO LAYAK JADI PAHLAWAN
Diusulkan Golkar
Sebelumnya, Ketua Umum Golkar Bahlil Lahadalia menyampaikan usulan mengenai Soeharto menjadi pahlawan nasional saat bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta.
Bahlil yang juga menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) ini mengatakan Prabowo mempertimbangkan ihwal usulan tersebut.
"Yang berikut kami juga tadi melaporkan kepada Bapak Presiden selaku Ketua Umum DPP Partai Golkar. Saya bilang, Bapak Presiden, dengan penuh harapan, lewat mekanisme rapat DPP Partai Golkar, kami sudah mengajukan Pak Harto sebagai pahlawan nasional," kata Bahlil setelah bertemu dengan Presiden Prabowo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (3/11).
Menteri Bahlil menuturkan Prabowo menerima aspirasi yang disampaikan partainya tersebut.
Menurut dia, Prabowo juga akan mempertimbangkan apa yang menjadi usulan partai beringin itu.
"Bapak Presiden menerima aspirasi dari Golkar tentang permohonan Golkar agar Pak Harto, Presiden Soeharto menjadi pahlawan nasional. Bapak Presiden Prabowo mengatakan bahwa saya menerima dan akan mempertimbangkan. Sudah barang tentu itu lewat mekanisme internal, kan ada, ada mekanisme yang harus dilalui," ucapnya.
Ibu korban Tragedi 98: tak sudi!
Aksi Kamisan yang berlangsung selama 18 tahun akan terinjak-injak dengan wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional untuk mendiang Presiden RI ke-2 Soeharto.
Diketahui Ibu korban tragedi 1998, Maria Catarina Sumarsih, bersama puluhan orang lainnya setia menggelar aksi damai di depan Istana Merdeka, Jakarta sedari tahun 2007 setiap hari Kamis.
Tuntutan para peserta Aksi Kamisan hanya satu, adili Soeharto dan kroni-kroninya yang terlibat dalam kekerasan selama 32 tahun mengusai Indonesia.
Namun demikian harapan itu mulai pupus setelah pemerintah melemparkan wacana memberikan gelar pahlawan untuk Soeharto.
Di bawah langit mendung Jakarta, Maria Catarina bersama puluhan orang memakai baju hitam berkumpul di depan Istana Merdeka, Jakarta.
Langit Jakarta Kamis (30/10/2025) mewakili perasaan gundah gulana para peserta Aksi Kamisan.
Baca juga: Pemberian Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto Tunggu Keppres, Koalisi Masyarakat Sipil Menolak!
Sumarsih tidak habis pikir dengan para elit politik yang mengajukan nama Soeharto sebagai Pahlawan Nasional hanya untuk menjilat Presiden saat ini yakni Prabowo Subianto.
Padahal kata Sumarsih, sudah jelas-jelas usai keruntuhan rezim Orde Baru pada tahun 2000 Soeharto pernah berstatus sebagai terdakwa dan hampir diadili oleh pengadilan atas kasus korupsi.
Namun kata Sumarsih, persidangan tersebut batal lantaran kejaksaan memilih menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto karena perkara ditutup demi hukum, yaitu gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan.
Diketahui pada 31 Maret 2000, kejaksaan menetapkan Soeharto sebagai tersangka atas dugaan korupsi tujuh yayasan yang dipimpinnya.
Kemudian, pada Agustus 2000, perkara masuk tahap persidangan.
Namun mengingat upaya menghadirkan Soeharto dalam persidangan selalu gagal, maka pada 11 Mei 2006 kejaksaan memilih menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Soeharto karena perkara ditutup demi hukum, yaitu gangguan kesehatan permanen pada Soeharto sehingga persidangan tidak mungkin dilanjutkan.
Meski demikian berdasarkan Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP, penghentian penuntutan karena perkara ditutup demi hukum tidaklah menghapuskan tindak pidana terdakwa.
Maka kata Sumarsih, pemberian gelar pahlawan terhadap Soeharto sangat kontradiksi dengan status hukum yang diemban Soeharto hingga meninggal dunia.
Sumarsih mengatakan kejahatan Soeharto lebih banyak ketimbang kebaikannya untuk Indonesia.
Mulai dari korupsi hingga kekerasan sipil paling banyak terjadi di era Soeharto.
Jadi menurut Sumarsih, bagaimana gelar pahlawan bisa diberikan kepada sosok yang banyak melakukan kejahatan untuk negaranya.
"Kalau ditimbang-timbang, kejahatan Soeharto sama kebaikannya itu lebih banyak kejahatannya, jangan sampai Pak Harto menodai orang-orang yang benar-benar bergelar pahlawan," ungkap Sumarsih.
BERITA VIDEO : ALASAN SAVIC ALI MINTA GUS IPUL KELUAR DARI PBNU APABILA KUKUH INGIN SOEHARTO DAPAT GELAR
Maka Sumarsih pun mengingatkan Presiden RI Prabowo Subianto bahwa jabatannya saat ini merupakan amanat dari rakyat.
Sehingga setiap keputusan yang diambil harus berdasarkan kesepakatan rakyat bukan atas kepentingan pribadi.
Termasuk dalam hal memberikan gelar pahlawan kepada suatu tokoh juga harus berdasarkan kehendak rakyat.
Sebagai informasi mekanisme pemberian gelar Pahlawan Nasional dilakukan melalui proses berjenjang mulai dari usulan masyarakat ke pemerintah daerah, kemudian diteruskan ke pemerintah pusat melalui kementerian sosial dan dewan gelar, dan akhirnya ditetapkan melalui Keputusan Presiden (Keppres).
Prosesnya meliputi pengajuan usulan, verifikasi dan pengkajian di tingkat daerah oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Daerah (TP2GD) dan di tingkat pusat oleh Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP), serta sidang di Dewan Gelar.
(Sumber : Wartakotalive.com, Yolanda Putri Dewanti/m27/Desy Selviany)
Baca berita TribunBekasi.com lainnya di Google News
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/wartakota/foto/bank/originals/soeharto1.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.