Berita Nasional

Komisioner KPAI Sebut Selama Pandemi Virus Corona Jumlah ODGJ Meningkat Drastis

Komisioner KPAI, Jasra Putra, mengungkapkan data menarik. Ternyata pandemi virus corona memicu peningkatan jumlah ODGJ (orang dengan gangguan jiwa).

Istimewa
Ilustrasi ODGJ - Selama pandemi virus corona jumlah ODGJ meningkat drastis. Hal ini tentu membahayakan bagi pola urus anak-anak. 

TRIBUNBEKASI.COM - Kementerian Kesehatan mencatat jumlah penyandang disabilitas gangguan jiwa (ODGJ) selama pandemi meningkat di Indonesia.

Jika pada 2019 ada 197.000 orang maka jumlahnya meningkat menjadi 277.000 orang saat ini.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar Kemenkes, ada 11,2 persen warga Jakarta memiliki masalah kejiwaan, sehingga satu dari empat orang dideteksi mengalami gangguan jiwa. 

Baca juga: Densus 88 Polri Tangkap Salah Satu Terduga Teroris Bekasi Usai Salat Subuh

"Artinya banyak anak Indonesia yang mendapatkan perilaku salah karena situasi ini, dari mulai gejala ringan sampai berat," ungkap Jasra Putra, Komisioner KPAI, Jumat (10/8/2021).

Apalagi ditambah kondisi ini diperparah dengan cara perilaku politik belakangan, yang banyak menyerang kejiwaan, seperti kasus persekusi melalui sosial media yang terus ada.

Persekusi ini bahkan masuk ke rumah rumah ibadah dan privacy keluarga, yang menyebabkan kedisharmonisan dalam keluarga itu sendiri.

Pada masa pandemi sekarang ini orang akan lebih mudah mengidap gangguan kejiwaan. 

Bahkan kita tahu dampaknya sekarang, dunia melawan post truth yang tidak mudah sampai sekarang.

Hal-hal seperti ini karena ada perilaku menyimpang yang menjadi keresahan di masyarakat.

Dampak ini harus menjadi perhatian serius, dalam menjawab ledakan masalah gangguan kejiwaan apalagi di masa pandemi Covid-19 yang masih berjalan hingga saat ini.

Baca juga: Ariza Kaget saat Ditanya Ada Keluarga Pejabat Terima Vaksin Booster

Menurut Jasra, hal ini jangan menjadi stigma, fokusnya lebih pada antisipasi penanganan. 

Orang tua harus bertanggung jawab atas perilakunya terhadap anak, karena mengerti resiko perbuatannya.

Jika dilihat lebih jauh, penanganan anak dalam keluarga gangguan jiwa, masih minim penanganan. 

Hal ini ditandai dari evaluasi instrumentasi Kota Layak Anak di beberapa daerah yang belum bisa memotret anak hidup dalam keluarga rentan.

"Dengan kebijakan menyebutkan dengan anak-anak membutuhkan perlindungan khusus," ungkapnya.

Berbeda dengan kebijakan daerah di urusan lain untuk anak, seperti hak pendidikan, hak sipil yang telah memiliki norma, SOP dan anggaran, sehingga aparat mudah jemput bola bila terjadi permasalahan. 

Terkait hal ini, perlu ditelaah lebih dalam, sehingga dapat menjadi potret lebih luas untuk nasib anak anak yang hidup dalam perilaku salah.

Baca juga: Camat Tambun Utara Keluhkan Masyarakat yang Buang Sampah Sembarangan ke Kali Busa

Sebagai Negara maju, Indonesia tidak terlepas dari persoalan masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan.

Pemicunya ada berbagai faktor, seperti pembangunan dibeberapa tempat yang belum merata, respons permasalahan kemanusiaan yang masih berbeda beda standardnya karena perbedaan kebijakan dan prioritas daerah.

Masalah geografis yang meninggalkan tantangan untuk edukasi dan informasi, penanganan gangguan jiwa masih sangat sedikit di Indonesia, dan kondisi masyarakat yang minim pengetahuan mendeteksi ini.

Sulitnya masuk ruang privat dalam mencegah perilaku menyimpang, lifestyle hidup yang dipaksakan terutama di perkotaan, kondisi alam bencana yang membutuhkan recovery panjang, penanganan rehabilitasi yang belum dikatakan berhasil 100 persen, letak geografis. 

Lalu bagaimana, ketika anak anak Indonesia hidup diantara keluarga yang mengalami gangguan kejiwaan.

Undang-undang Perlindungan Anak menyampaikan, ada kewajiban langkah preventif untuk pemerintah dan pemerintah daerah, dalam rangka menyelamatkan anak anak. 

Bahkan kita sering mendengar anak-anak yang mendapatkan trauma dalam keluarga seperti ini, dan kemudian ketika tidak tertangani, anak dalam keluarga tersebut juga mengalami gangguan kejiwaan. 

Baca juga: Teh Celli Gelar PTM untuk Murid Kelas VI SD dan SMP Karawang Mulai 14 September

Ditambah shelter rujukan untuk kasus seperti ini lebih banyak ditangani masyarakat, sehingga perlu ada jaminan bahwa penanganannya dijamin selesai.

Hal ini juga dialami anak atau orang yang mengalami disabilitas, bila tidak mendapat penanganan kesehatan jiwa, maka hambatannya dalam mengakses sosial kehidupan juga terancam, sehingga dapat mengalami gangguan kejiwaan.

Upaya perlindungan anak, dengan situasi keluarga yang dapat menyebabkan perilaku menyimpang, baik kepada keluarga dan anak.

Harus mulai diambil langkah-langkah kebijakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 

Apa yang terjadi pada pelaku yang adalah seorang Ibu dan kekerasan yang terjadi pada anak. 

Menandakan ada perilaku salah yang dihadapi anak.

Anak masih belum memahami perilaku ibunya, karena terbiasa di asuh.

Sehingga saat peristiwa terjadi ada kebingungan yang dialami anak dengan perilaku Ibunya.

Selama kebijakan, tidak mampu menjawab, bagaimana ketika terjadi tangisan, kekerasan ringan sampai berat, tidak dapat di deteksi petugas dan mendalami, serta ada kebijakan yang hak untuk menyelamatkan anak sementara.

Baca juga: Densus 88 Polri Tangkap Tiga Terduga Teroris di Bekasi Jumat Pagi

Tentu dengan kondisi ini, anak akan terlepas dari pengasuhan utama, sehingga pemerintah dan pemerintah daerah, perlu mengalihkan pengasuhannya, bisa di keluarga sedarah (kindship care) ataupun keluarga pengganti (foster care). 

Namun terkait hal ini, sangat perlu pengawasan secara periodic, agar anak dapat menjalani tumbuh kembangnya dengan baik, dan cepat pulih.

"Tentu buat anak adalah penanganan panjang dan berkelanjutan, karena Negara menjamin anak sampai 18 tahun, untuk mendapatkan hak hak mereka," pungkasnya.

Sumber: Wartakota
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved