Berita Karawang
Pemburu Liar Bersenjata Api Berkeliaran di Pegunungan Sanggabuana Karawang, Satwa Langka Terancam
Sebenarnya, tambah Solihin, pihaknya sudah melakukan sosialisasi ke warga di sekitar hutan tentang larangan perburuan satwa dilindungi ini
Penulis: Muhammad Azzam | Editor: Dedy
TRIBUNBEKASI.COM, KARAWANG --- Keberadaan satwa langka di Pegunungan Sanggabuana, Karawang, Jawa Barat, terancam.
Banyaknya pemburu liar bersenjata api rakitan dan senapan angin mengancam satwa langka di pengunungan yang membentang di Karawang, Purwakarta, Bogor, dan Cianjur itu.
Setelah Juli 2020 ditemukan perburuan macan tutul jawa (panthera pardus melas) di Pegunungan Sanggabuana, Jawa Barat, kemudian Agustus 2022 lalu, kembali satwa dilindungi, landak jawa (manis javanica) menjadi korban moncong senjata rakitan.
Tidak bisa dipungkiri, ancaman terhadap keanekaragaman hayati Pegunungan Sanggabuana ini, salah satunya berasal dari para pemburu liar.
BERITA VIDEO : CURUG CROSS, AIRNYA BIRU TERSEMBUNYI DI SERANG
"Kepemilikan senjata api rakitan ini memang umum di masyarakat. Beberapa memang warisan secara turun temurun sejak zaman perang dengan Belanda. Kadang mereka membawa senjata ke hutan untuk berjaga-jaga kalau ketemu hewan buas. Tapi ini sebaliknya memburu satwa langka dan yang dilindungi," kata Solihin Fu’adi, Direktur Executive Sanggabuana Conservation Fondation (SCF), pada Rabu (12/10/2022).
Menurutnya, perlu adanya penyuluhan secara masif kepada masyarakat karena sesuai Undang-undang Darurat No 12 Tahun 1951, kepemilikan senjata api ilegal ini sanksi pidananya bisa hukuman mati atau seumur hidup.
Sedangkan dalam Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2018, senapan angin, termasuk pistol angin, air gun dan air soft gun masuk dalam kategori senjata api, dan hanya boleh digunakan di lapangan tembak untuk olahraga, tidak boleh buat berburu, apalagi berburu satwa dilindungi.
Baca juga: Katak Bertanduk Jawa, Satwa Liar Langka dan Unik Teridentifikasi di Pegunungan Sanggabuana Karawang
Baca juga: Mahasiswa Pecinta Alam Pergoki Aksi Perburuan Landak Jawa di Pegunungan Sanggabuana
"Jadi kepemilikan senapan angin pun kalau tanpa izin juga bisa dikenai sanksi sesuai UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951. Sedangkan sanksi pidana berburu satwa dilindungi, sesuai pasal 50 (ayat) 2 UU No 5 Tahun 1990 adalah pidana kurungan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah)," ungkap dia.
Sebenarnya, tambah Solihin, pihaknya sudah melakukan sosialisasi ke warga di sekitar hutan tentang larangan perburuan satwa dilindungi ini. Juga memasang spanduk imbauan di tiap pintu masuk hutan.
"Tapi memang kadang, pemburu datang dari luar Karawang," ujar dia.
Bulan lalu, terkait perburuan landak, barang bukti perburuan berhasil ditemukan di hutan ketika patroli bersama aparat desa Medalsari. Pemburunya diduga berasal dari kawasan Cariu dan Jonggol di Bogor.
“Barang bukti berupa tiga pucuk senapan. Satu senapan angin dan dua senjata api rakitan jenis dorlok. Ketiga senjata ini setelah berkoordinasi dengan Pak Kapolres Karawang kemudian kita serahkan ke Sat Intelkam Polres Karawang," kata dia.
Pada Minggu (1/10/2022), Solihin mengungkapkan, Sahrul Hidayat, anggota Komunitas Baraya Sanggabuana mengaku bertemu dengan tiga orang pemburu di jalur ke Curug Cikoleangkak.
Saat itu yang sedang mengawasi tanaman hasil rehabilitasi dan rumah bibit di Curug Cikoleangkak.
Para pemburu yang menggunakan senapan angin PCP ini mengaku berburu burung walik di Sanggabuana.
Para pemburu ini masuk ke hutan Pegunungan Sanggabuana dari kawasan Wana Wisata Puncak Sempur.
Selain Sahrul, RS seorang fotografer hidupan liar yang sedang melakukan pengamatan burung migran di sebuah bukit di Wana Wisata Puncak Sempur juga melaporkan mendengar suara tembakan dari senjata api sekitar pukul 15.00 WIB pada Sabtu (8/10/2022).
Suara tembakan sebanyak tiga kali itu berasal dari dalam hutan di kawasan Pegunungan Sanggabuana.
Di sekitar kawasan penyangga hutan di Pegunungan Sanggabuana, sebagian besar masyarakat pemilik senjata api rakitan melakukan perburuan babi hutan yang dianggap hama.
Namun banyak juga ditemui berburu babi sebagai mata pencaharian dengan menjual daging babi hasil buruannya ke bandar yang ada di Cariu dan Jonggol.
Namun, para pemburu babi ini, ketika ke hutan dan menemukan satwa lain kadang juga dtembak.
SCF mendapat informasi, pemburu babi hutan mendapatkan bubuk mesiu dari bandar yang menampung daging babi hutan buruannya di Cariu dan Jonggol.
Mereka mendapat mesiu pada saat mengirim daging babi, dengan cara dipotong dari harga penjualan daging babi.
Di Cariu dan Jonggol, daging bab hasil buruan warga dihargai Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu per kilogram.
Akan tetapi, menurut Solihin, berburu babi sebagai hama harus mengantongi surat permintaan pengendalian populasi hama babi. Bisa ke kelurahan atau minta bantuan ke TNI atau Polri, atau Perbakin.
"Jadi yang diburu atau dikendalikan populasinya adalah babi hutan yang ada di sawah, ladang atau kebun penduduk, bukan babi hutan yang ada di tengah hutan," ujar Solihin.
Solihin menyebut pemburu untuk pengendalian hama babi ini juga harus mempunyai lisens berburu, atau minimal terdaftar di Perbakin dan senjata apinya adalah senjata api yang mempunyai izin resmi.
Pengendalian populasi babi hutan di hutan, tugasnya karnivora besar yang ada di hutan.
Jika babi diburu untuk dijual dan habis, pakan alami karnivora besar menjadi berkurang. Hal ini bisa memicu konflik hewan dengan manusia.
"Seperti bulan puasa kemaren, induk macan kumbang turun bersama dua ekor anaknya dan memangsa domba ternak warga," kata dia.