Wawancara Eksklusif

Dandim Jakarta Utara Kolonel Frega Wenas: Tentara Sekarang Tak Cukup Modal Dengkul

Prosesnya berdarah-darah. Di Angkatan saya yang lulus ada 36 orang, kami masuk di peringkat atas, lulusan terbaik di Akmil untuk menjadi instruktur.

Penulis: M. Rifqi Ibnumasy | Editor: Dedy
Wartakotalive.com
Kolonel Inf Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang resmi menjabat sebagai Komandan Kodim 0502/Jakarta Utara sejak 2022 lalu. 

TRIBUNBEKASI.COM --- Kolonel Inf Frega Ferdinand Wenas Inkiriwang resmi menjabat sebagai Komandan Kodim 0502/Jakarta Utara sejak 2022 lalu.

Selain mengantongi berbagai prestasi di dunia militer, perwira menengah TNI Angkatan Darat ini dikenal sebagai prajurit "pemikir". Pasalnya ia berhasil meraih gelar doktornya di Inggris.

Frega meraih gelar Ph.D. di universitas ternama Inggris yakni London School of Economic and Political Science (LSE) di tahun 2021. Di dunia militer, suami Ollen Ester ini pernah berdinas di Brigade Infanteri Para Raider 17 atau Brigif PR 17/Kujang, yang merupakan satuan elite TNI Angkatan Darat (AD).

Selain itu, bapak satu anak ini masih aktif sebagai seorang dosen di Universitas Pertahanan (Unhan) RI, Bogor, Jawa Barat.

Kamis (23/2) lalu, Jurnalis Warta Kota M Rifqi Ibnumasy berkesempatan mewawancarai Frega secara eksklusif di Makodim 0502 Jakarta Utara, Jalan Yos Sudarso, Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Pada kesempatan itu, Frega menceritakan perjuangannya di Inggris selain membicarakan kariernya sebagai prajurit TNI hingga dipercaya menjabat Dandim 0502/Jakarta Utara. Berikut hasil wawancara yang dibagi menjadi dua seri:

Bisa diceritakan perjalanan Anda, dari lahir hingga masuk ke TNI?

Saya lahir di Surabaya (Jawa Timur) tapi saya sendiri orang Sulawesi Utara. Sebagai anak tentara, saya dan keluarga memang berpindah-pindah. Di Surabaya, Makassar, terakhir sebelum almarhum ayah pensiun, beliau dinas di Jakarta. Almarhum ayah angkatan laut. Kalau ibu saya besar di Makassar (Sulawesi Selatan). Jadi budaya Jawa, Makassar, dan Manado campur. Saya anak tertua (dari empat bersaudara), beda dengan adik-adik hanya (umur) setahun. Tapi dengan yang paling kecil bedanya 15 tahun. Kemudian di pendidikan, tahun 1995 saya masuk TNI. Tahun 1998 saya lulus. Walaupun ayah Angkatan Laut (AL) tapi beliau tidak mendoktrin, "Kamu harus jadi tentara". Justru itu muncul karena keinginan saya sendiri pas kelas 3 (SMA).

Sebagai TNI, gaji ayah saya tidak terlalu banyak. Karena anaknya banyak, saya sebagai anak tertua akhirnya mengalah. Saya berpikir mencari kuliah atau sekolah gratis kedinasan. Jujur karena tidak pernah diedukasi tentang Akademi TNI (dulu AKABRI--red), waktu itu enggak kepikiran. Tapi pas SMA kelas tiga itu ada kakak kelas yang sudah lulus kemudian gabung ke akademi militer. Dia datang dan bilang, "Akademi ini gratis, dapat uang saku". Saya lihat seragamnya juga, saya membatin, "Kok gagah juga ya?". Akhirnya saya coba ikut tes sampai akhirnya lulus masuk di Magelang. Di saat yang sama saya dinyatakan lulus SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Sempat terlintas di pikiran benarkah saya ingin jadi tentara atau tidak? Namun setelah dipertimbangkan, kalau saya mundur (dari Akademi TNI) mesti ganti biaya seleksi dari daerah dengan pusat. Karena pertimbangan saya membantu orangtua, ya sudah saya putuskan bertahan (di Akademi TNI) karena mungkin itu rencana terbaik yang disiapkan Tuhan.

Selanjutnya setelah jadi anggota TNI, Anda melanjutkan pendidikan sampai mendapat gelar Ph.D. Bisa diceritakan perjuangannya?

Prosesnya berdarah-darah. Di Angkatan saya yang lulus ada 36 orang, kami masuk di peringkat atas, lulusan terbaik di Akmil untuk menjadi instruktur. Saya dua tahun di sana. Berkecimpung di lembaga pendidikan membentuk karakter saya sebagai tenaga pendidik. Jadi walaupun jadi militer, kami juga harus mengajar taktik, masalah militer dasar sampai jadi dosen bahasa inggris. Unik memang. Kemudian sebelum saya Ph.D., saya tugas di (Kabupaten) Poso (Sulawesi Tengah), saya dapat kesempatan seleksi S2 di Australia. Itu menjadi fondasi. Pada saat saya Sesko, di Amerika Serikat ada program namanya Master in Military Art and Science (MMAS). Wah ini kok dari tahun 1987 sampai 2012, waktu itu berarti sudah 25 tahun, enggak pernah lagi ada (TNI) yang ambil.

Yang pertama ambil itu Bapak Letjen Purn Agus Widjojo, yang sekarang bertugas di Filipina. Saya orangnya empiris, selalu ingin tau. Saya bertanya-tanya ini kenapa sih kok enggak pernah ada yang ambil, susah atau bagaimana? Kemudian waktu itu saya mengambil keputusan untuk mencoba, akhirnya bisa diterima walaupun memang prosesnya juga berat. Tapi justru itu yang memberikan fondasi saat ambil program doktoral. Dengan ijazah itu, akhirnya saya mendaftar. Kebetulan saya juga terdaftar sebagai dosen, pada tahun 2015 ada proses akreditasi sehingga dosen-dosen dimotivasi untuk upgrade punya S3.

Tapi untuk proses S3 di luar enggak mudah, apalagi soal biaya hidup, Di London, Inggris, harga menjulang. Tahun 2016, misalnya. Saya beli kue kecil seharga 25 pence (mata uang di bawah poundsterling). Tahun berikutnya jenis kue yang sama harganya sudah 1 poundsterling (100 pence sama dengan 1 poundsterling). Naiknya sudah empat kali lipat. Belum yang lain. Lalu pergumulan yang paling susah adalah budaya. Saya belum pernah ke Inggris jadi harus adaptasi. Kemudian saya langsung bawa keluarga, istri dan anak, biayanya otomatis bengkak. Kemudian yang ketiga bahasa, walaupun saya bahasanya di atas rata-rata, tapi bahasa saya adalah bahasa akademik.

Apalagi dari tahun 2013 sampai 2016, ada jarak sekitar tiga tahun enggak sekolah. Waktu awal jujur saya minder, ada yang lulusan Oxford, Indiana University, LSI (kampus saya), dari Kanada, Israel, Australia, Amerika Serikat, mereka masih muda-muda dan cerdas-cerdas. Tapi bersyukur karena saya tentara, pokoknya time frame-nya harus pas, terus paksa walaupun kurang tidurnya. Alhamdulillah saya bersama tiga orang teman bisa selesai on time, empat tahun. banyak juga yang selesai setelah lima tahun, bahkan ada juga tiga orang teman saya yang tidak selesai. Padahal kalau dilihat mereka native, lulusan Inggris. Tapi karena mengerjakan Ph.D. itu sebenarnya berkompetisi dengan diri sendiri, mengatur waktu, load-nya, dan sesuai dengan timeline.

Menurut Anda, seberapa penting seorang prajurit terdidik dalam bidang akademik?

Sumber: Wartakota
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved