Berita Pendidikan

President University Kukuhkan Prof Dr Retnowati STh MSi sebagai Guru Besar

Sebelum dikukuhkan sebagai Guru Besar, Prof Retno pernah menjabat sebagai Direktur Lembaga Riset dan Pengabdian Masyarakat di Presuniv.

Editor: Ichwan Chasani
Istimewa
Prof Dr Retnowati STh, MSi dikukuhkan sebagai guru besar di President University, baru-baru ini. 

Dalam sambutannya sebagai Ketua Senat Presuniv, Handa S. Abidin, mengungkapkan bahwa Prof Retno adalah guru besar ke-3 yang dikukuhkan oleh Presuniv.

Guru besar sebelumnya yang dikukuhkan oleh Presuniv adalah Prof Dr Jony Oktavian Haryanto, kini menjabat sebagai Sekretaris YPUP dan Staf Ahli Bidang Inovasi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Kebudayaan, serta Prof Dr Chairy, Wakil Rektor Presuniv bidang Kerja Sama.

“Dengan dikukuhkannya Prof Retno, saat ini Presuniv sudah memiliki sembilan guru besar yang tersebar di lima fakultas,” ucap Handa.

Meski begitu, lanjut dia, sembilan guru besar yang dimiliki oleh Presuniv sebetulnya masih terlalu sedikit.

Baca juga: Jelang Laga Kontra Timnas Indonesia, Pelatih Filipina Tegaskan Tak Dukung Vietnam

Baca juga: Usai Jatuh Bebas Rp 38.000 Per Gram, Harga Emas Batangan Antam di Bekasi Ahad Ini Ajeg Segini

“Itu sebabnya kami di Presuniv terus mendorong segenap dosennya agar segera menjadi guru besar,” tegas Handa S. Abidin.

 “Bagi kami, keberhasilan Prof Retno menjadi guru besar bukan hanya capaian beliau sebagai pribadi, tetapi juga capaian Presuniv. Bukan hanya Prof Retno dan keluarganya yang bahagia dan berbangga, tapi juga Presuniv,” imbuhnya.

Dalam pidato pengukuhannya, Prof Retno mengatakan bahwa pada era digital seperti sekarang dibutuhkan kajian antropologi untuk memprediksi kondisi sosial masyarakat.

“Itu baik untuk kondisi pada saat ini maupun masa mendatang, dan bagaimana implikasinya dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.

Menurut Prof Retno, di masyarakat ada pemahaman yang keliru tentang antropologi.

“Ilmu antropologi dianggap hanya mempelajari kelompok masyarakat yang terpencil, sederhana, terisolasi baik secara sosial ekonomi maupun teknologi. Contohnya, masyarakat Aborigin di Australia, suku Indian di Amerika Serikat, dan berbagai suku lainnya baik di Indonesia, di Afrika atau negara-negara lainnya,” ungkapnya.

Pemahaman yang keliru semacam ini, lanjut dia, membuat ilmu antropologi seakan-akan tersingkir dari kehidupan modern.

Baca juga: Bang Wara dan Mpok Wiri Resmi Dijadikan Maskot Pilkada Kota Bekasi 2024

Baca juga: PDIP Gelar Pentas Wayang Kulit, Angkat Kisah Sisupala Jadi Raja Namun Melupakan Jasa Kresna

“Di era globalisasi sekarang ini, definisi tentang masyarakat terpencil perlu dikaji ulang. Sekarang ini di era digital dan internet semuanya bisa dijangkau dengan mudah dan murah,” ujarnya.

Etnografi ke Netnografi

Menurut Prof Retno, perkembangan TIK telah mengubah pola interaksi, pola pikir, pola tindak dan perilaku masyarakat sehari-hari.

“Kalau dulu interaksinya dengan tatap muka, masyarakat sekarang merasa lebih nyaman, lebih efektif dan lebih efisien berinteraksi di dunia maya,” kata dia.

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved