Bahlil Raih Gelar Doktor

Soal Penangguhan Kelulusan Bahlil sebagai Doktor, Pengamat Nilai Langkah UI Layak Diapresiasi

Menurut Jamiluddin Ritonga, UI memang harus melakukan hal itu untuk menjaga reputasi akademiknya.

dokumentasi/Tribunnews.com
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia saat sidang terbuka promosi doktor yang digelar oleh Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (UI) di Kampus UI, Depok pada Rabu lalu, 16 Oktober 2024. 

TRIBUNBEKASI.COM — Universitas Indonesia (UI) telah resmi menangguhkan kelulusan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebagai doktor. 

Pengamat yang juga dosen di salah satu perguruan tinggi Jakarta, M. Jamiluddin Ritonga, menilai langkah UI yang menangguhkan kelulusan gelar doktor Bahlil Lahadalia itu layak diapresiasi.

Menurut Jamiluddin Ritonga, UI memang harus melakukan hal itu untuk menjaga reputasi akademiknya.

Sebab, kata dia, UI selama ini menjadi salah satu barometer mutu pendidikan di tanah air.

"Karena itu, UI tentu tak ingin namanya tercoreng hanya karena meluluskan seseorang yang yang dinilai belum layak diluluskan,” ucap Jamiluddin Ritonga, Kamis, 14 November 2024.

Baca juga: Kena Tipu Miliaran Rupiah, Adelia Pasha Belum Juga Lapor Polisi, Kenapa?

Baca juga: Lokasi Layanan Samsat Keliling di Kota/Kabupaten Bekasi dan Karawang, Kamis 14 November 2024

Jamiluddin menambahkan bahwa ketegasan UI kiranya layak diikuti kampus lain di tanah air.

Hal itu perlu dilakukan karena saat ini banyak lulusan doktor yang kualitasnya diragukan. 

“Ada kesan sebagian lulusan doktor (S3) dalam negeri kualitasnya tak jauh beda dengan lulusan master (S2). Hal itu setidaknya bisa dilihat dari kualitas disertasi yang tak jauh berbeda dengan thesis,” ucap Jamiluddin Ritonga.

Dia menilai, kecenderungan yang sama juga terjadi pada jenjang pendidikan S2 dan S1.

Banyak thesis yang kualitasnya tak jauh beda dengan skripsi.

Baca juga: SIM Keliling Kabupaten Bekasi Kamis Ini, 14 November 2024, di Burger King Lippo Cikarang

Baca juga: Layanan SIM Keliling Karawang, Kamis 14 November 2024 ini, di Mall Cikampek Hingga Pukul 14.00 WIB

“Hal itu terjadi tentu disebabkan banyak faktor. Salah satunya, karena ada kewajiban keluaran antar input dan output. Kalau hal ini tidak dipenuhi dapat berpengaruh terhadap akreditasi perguruan tinggi,” jelas dia.

Akibatnya, sebagian kampus melakukan "cuci gudang" bila input dan output tidak seimbang.

Mahasiswa yang tak layak didorong untuk sidang, meskipun karya ilmiahnya belum layak.

Dia menjelaskan, perguruan tinggi seolah salah bila tidak bisa mengantarkan mahasiswa lulus sarjana atau master atau doktor.

Padahal tidak semua orang harus menjadi sarjana atau master atau doktor.

Baca juga: SIM Keliling Kota Bekasi, Kamis 14 November 2024 di Bekasi Cyber Park Sampai Pukul 10.00

Baca juga: Lowongan Kerja Karawang: PT Karawang Cipta Persada Cari Teknisi Elektrik

Hanya mahasiswa yang punya kualifikasi akademik tertentu saja yang memang layak lulus.

“Jadi, selama aturan input dan output itu masih dijadikan salah satu penilaian akreditasi, maka peluang cuci gudang akan terjadi di perguruan tinggi. Hal itu akan menambah banyaknya sarjana atau master atau doktor yang kualitasnya diragukan,” ungkapnya.

“Kalau doktor dan master seperti itu yang mengajar di perguruan tinggi, maka dapat dipastikan akan terjadi penurunan kualitas pada lulusan berikutnya. Hal ini tentunya akan semakin menurunkan kualitas perguruan di tanah air,” tambah dia.

Hal itu terjadi karena mereka sebenarnya belum cukup layak untuk mengajar di S1 atau S2 atau S3.

Mereka hanya punya "SIM" tapi ilmu mereka belum cukup untuk menjadi dosen di S1 atau S2 atau S3. 

Baca juga: Tak Terima Ditegur Pasutri, Dua Pria Mabuk Pukuli Sejumlah Warga di Bekasi, Begini Tampangnya

Baca juga: Kejari Tolak Penangguhan Penahanan Soleman, Wakil DPRD Kabupaten Bekasi Tersangka Kasus Gratifikasi

Hal itu terjadi karena perguruan tinggi kerap hanya melihat gelar dosen dari sisi administratif, bukan kualifikasi akademiknya. 

Semua itu harus dipenuhi untuk memenuhi salah satu persyaratan akreditasi.

Semakin banyak dosen bergelar doktor, maka semakin tinggi nilai akreditasinya. 

Semua itu membuat idealisme perguruan tinggi kerap menjadi terdegradasi.

Perguruan tinggi akhirnya menjadi lebih pragmatis dengan merekrut dosen bergelar doktor untuk pemenuhan administratif.

Baca juga: Diduga Diretas, Situs Resmi NTMC Polri Berganti Tampilan Judi Online, Ini Kata Mabes Polri

Baca juga: Terlibat Kecelakaan dengan Truk di Bekasi, Ibu dan Anak Pengendara Motor Tewas 

Kalau kampus sudah terkikis idealismenya, maka yang tak layak lulus juga "dipaksa" diluluskan.

Dosen yang idealis justru dipersalahkan karena tak meluluskan mahasiswa semacam itu.

"Akibatnya, kampus berubah menjadi pabrik. Proses input dan output diberlakukan. Karena itu, yang tak layak pun harus diluluskan. Inilah dilema perguruan tinggi saat ini," pungkasnya. (Wartakotalive.com/Yolanda Putri Dewanti)

Baca berita TribunBekasi.com lainnya di Google News

Ikuti saluran TRIBUN BEKASI di WhatsApp. 

Sumber: Wartakota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved