Oplos BBM

Kasus Oplos BBM Pertalite Jadi Pertamax: Dua Warga Ini Kecewa Berat Pilih Isi Bensin di SPBU Swasta

"Kayaknya kalau pengin nyari bensin dengan kualitas serupa Pertamax, mending sekalian ke SPBU lain (SPBU swasta) deh yang udah pasti-pasti,

Editor: Dedy
Tribun Bekasi/Muhammad Azzam
SPBU PERTAMINA --- Sejumlah konsumen BBM Pertamina di Karawang mengeluh dengan kenaikan harga BBM, mulai Sabtu (3/9/2022). Sejumlah warga kini beralih memilih isi bensin di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) milik swasta ketimbang di Pertamina menyusul dugaan oplos BBM Pertalite menjadi Pertamax. 

TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA --- Sejumlah warga kini beralih memilih isi bensin di SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) milik swasta ketimbang di Pertamina.

Langkah warga mengisi bensin di SPBU swasta menyusul adanya kasus dugaan pengoplosan BBM jenis Pertalite menjadi Pertamax dalam konstruksi kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina Patra Niaga. 

Luthfa (22), warga Jakarta, mengaku bakal beralih ke SPBU swasta pasca-terbongkarnya pengoplosan BBM ini. Dia takut hal serupa bakal terjadi kembali.

"Kayaknya kalau pengin nyari bensin dengan kualitas serupa Pertamax, mending sekalian ke SPBU lain (SPBU swasta) deh yang udah pasti-pasti," kata dia.

Luthfa pun mengaku kecewa dengan pengoplosan tersebut.

Pasalnya, dia rela membayar lebih untuk mendapat kualitas bahan bakar lebih baik, namun yang ia dapat tak demikian. 

Baca juga: Pertamin Dicecar Komisi XII DPR Soal Isu Oplos BBM, BPKN: Masyarakat Bisa Gugat Minta Ganti Rugi!

"Kecewa banget sih, karena kan gue bayar lebih, ya gue expect kualitas yang lebih jugalah," tambah dia.

Rafi (25), warga Pancoran, Jakarta Selatan, mengaku kapok menggunakan BBM Pertamax usai mengetahui dugaan pengoplosan Pertalite jadi Pertamax. 

Setelah ini, Rafi mengaku tak akan lagi membeli Pertamax. Ia bakal beralih ke SPBU swasta.  

"Ke depannya kayaknya bakal beli di SPBU swasta aja. Lebih aman dan terjamin, plus secara servis orangnya ramah-ramah. Toh harganya cuma beda beberapa ratus perak aja," kata Rafi, Rabu (26/2/2025).

Rafi menghabiskan uang sebesar Rp 50.000 hingga Rp 100.000 setiap minggu untuk membeli Pertamax di SPBU Pertamina.

Meski harganya lebih mahal, Rafi rela mengisi kendaraannya dengan Pertamax dengan harapan mendapat bahan bakar lebih berkualitas.

"Wah kecewa banget sih saya pas dengar (pengoplosan Pertalite jadi Pertamax) ini karena kan sudah rela bayar lebih mahal dengan tujuan buat dapatin kualitas BBM yang baik dan pas, ternyata itu dioplos, kesal banget," tambah dia.

Diberitakan sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan (RS) sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023. 

Melansir keterangan Kejagung, PT Pertamina Patra Niaga diduga membeli Pertalite untuk kemudian “diblending” atau dioplos menjadi Pertamax.

Namun, pada saat pembelian, Pertalite tersebut dibeli dengan harga Pertamax.

“Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax), padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92,” demikian bunyi keterangan Kejagung, dilansir Selasa (25/2/2025).

“Dan hal tersebut tidak diperbolehkan,” imbuh keterangan itu.

Dalam perkara ini, ada enam tersangka lain yang turut ditetapkan. Mereka adalah Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi (YF); SDS selaku Direktur Feedstock dan Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional; dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Lalu, MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa; DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa sekaligus Komisaris PT Jenggala Maritim; dan GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Masyarakat bisa gugat

Masyarakat Indonesia yang merupakan konsumen dari PT Pertamina disebut bisa menggugat dan meminta ganti rugi jika Pertamax yang beredar terbukti adalah Pertalite hasil oplosan.

Hal tersebut disampaikan oleh Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) saat menanggapi terkait temuan dan dugaan sementara dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) tahun 2018-2023.

Permintaan ganti rugi itu bisa dilakukan melalui mekanisme gugatan yang telah diatur undang-undang.

 "Konsumen atau masyarakat berhak untuk menggugat dan meminta ganti rugi kepada PT Pertamina melalui mekanisme gugatan yang telah diatur dalam perundang-undangan."

"Salah satunya dapat secara bersama-sama karena mengalami kerugian yang sama," ujar Ketua BPKN RI, Mufti Mubarok, dalam keterangan resminya, dikutip Rabu (26/2/2025), dari Kompas.com.

Dijelaskan oleh Mufti, berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), pemerintah atau instansi terkait juga harus turut serta melakukan gugatan karena kerugian yang besar dan korban yang tidak sedikit. 

Apabila dugaan oplosan ini benar, maka para tersangka telah meniadakan hak konsumen.

Seperti hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar, kondisi, dan jaminan yang dijanjikan.

"Konsumen dijanjikan RON 92 Pertamax dengan harga yang lebih mahal, malah mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah," kata Mufti. 

Tindakan para tersangka itu, lanjut Mufti, juga diduga merampas hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. 

"Dalam kasus ini, diduga konsumen telah memperoleh informasi yang palsu dan menyesatkan karena label RON 92 pertamax yang dibayarkan tetapi ternyata mendapatkan RON 90 Pertalite yang lebih rendah," ujarnya.

Untuk menindaklanjuti dugaan-dugaan tersebut, BPKN akan segera memanggil Direktur Utama Pertamina untuk meminta klarifikasi atas dugaan pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) yang terjadi. 

BPKN juga akan segera melakukan uji sampling terhadap Pertamax yang tengah beredar di SPBU. 

"BPKN bersama Pemerintah (Kementerian ESDM dan BUMN) akan membentuk tim kerja bersama yang melibatkan stakeholder terkait untuk melakukan mitigasi, penyuluhan informasi kepada masyarakat, dan aktivasi mekanisme pengaduan konsumen bagi yang mengalami kendala akibat kejadian ini," urai Mufti.

Sebelumya, Kejagung mengungkapkan dugaan kasus korupsi yang menyeret Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS). 

Di mana, RS diduga melakukan pembayaran produk kilang untuk RON 92 (Pertamax), tetapi BBM yang dibeli adalah jenis RON 90 (Pertalite). 

BBM RON 90 itu kemudian dicampur di Depo untuk menjadi RON 92.

"Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92 (Pertamax)."

"Padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 (Pertalite) atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. Dan hal tersebut tidak diperbolehkan," demikian keterangan dari Kejagung, dilansir Kejagung.go.id, Rabu.

Klarifikasi Pertamina

Sementara itu, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, memastikan BBM Pertamax yang dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU) di Indonesia saat ini bukanlah campuran Pertalite.

Dia menegaskan BBM Pertamax yang terjual itu telah memenuhi spesifikasi Migas ron 92.

"Pertamax yang dijual sudah sesuai dengan spek Migas untuk produk dengan RON 92," kata Heppy, Selasa (25/2/2025).

Pernyataan ini muncul setelah terungkapnya dugaan kasus korupsi yang menyeret Riva Siahaan (RS). 

Dalam kasus ini, Kejagung total menetapkan tujuh tersangka.

Akibat perbuatan tujuh tersangka itu, negara mengalami kerugian sebesar Rp193,7 triliun.

Para tersangka itu diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 Juncto Pasal 3 Juncto Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka mereka kini ditahan selama 20 hari kedepan.

Berikut daftar ketujuh tersangka beserta perannya dalam kasus korupsi tersebut:

  • RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga
  • SDS selaku Direktur Feedstock And Produk Optimitation PT Pertamina International
  • YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping
  • AP selaku Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina International
  • MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa
  • DW selaku Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim
  • GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak

Dalam hal ini, Riva Siahaan bersama SDS dan AP memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum. 

Sementara itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka AP untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.

Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (Ron 92). 

Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (Ron 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92. 

Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan. 

Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.

Dalam hal ini, negara mengeluarkan fee sebesar 13 hingga 15 persen secara melawan hukum, sehingga tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut. 

"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi."

"Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN."

"Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen," demikian keterangan dari Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar, Senin (24/2/2025).

(Sumber : Kompas.com)

Baca berita TribunBekasi.com lainnya di Google News

Ikuti saluran TRIBUN BEKASI di WhatsApp

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Warga Kapok dan Bakal Beralih ke SPBU Swasta

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved