Info Pemilu

Proposal Prabowo Subianto Ditolak Pemerintah Ukraina, Pembentukan Image Menjelang Pemilu 2024?

Editor: Panji Baskhara
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menteri Pertahanan Ukraina, Oleksii Reznikov menilai proposal perdamaian ditawarkan Prabowo Subianto merugikan negaranya. Foto Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto

Bahkan, dia mengingatkan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy baru saja mengatakan Ukraina siap melakukan serangan balik terhadap Rusia.

"Lantas mendadak disuruh berhenti dan mundur? Jelas tidak masuk akal bagi Ukraina. Bagi Rusia, yang sekarang terdesak juga dengan krisis di wilayahnya sendiri, usulan ini masuk akal" ujar Radityo.

Selain itu, Radityo mempertanyakan DMZ didasarkan pada posisi yang mana. Jika asumsinya serangan di Belgorod juga bagian dari serangan balik maka sebagian akan berada di wilayah Rusia. Jika tidak, maka seluruh wilayah DMZ akan berada di wilayah Ukraina.

"Tentu Ukraina tidak bisa menerima itu. Bagaimana mungkin negara agresor seperti Rusia dibiarkan menginvasi, lalu diberi hadiah bisa menguasai sebagian wilayah yang diambil?"

"Selain berlawanan dengan prinsip integritas wilayah, juga malah menjadi insentif bagi negara 'kuat'" ujarnya.

Kemudian, dia menilai tawaran referendum di wilayah sengketa sebagai sesuatu yang sangat keliru.

Pasalnya, dia menegaskan tidak ada wilayah sengketa dalam perang antara Rusia dengan ukraina.

"Wilayah yang mana yang dimaksud oleh Prabowo? Kalaupun kita mau berargumen bahwa wilayah yang sedang diklaim dikuasai sebagai 'wilayah sengketa',"

"Bukankah kita sedang memberi hadiah pada agresor? Apakah kita sedang berargumen bahwa negara kuat boleh menginvasi, lalu nanti bisa referendum di sana?" ujar Radityo.

Di sisi lain, Radityo menilai ada masalah teknis dan prinsip dalam proposal yang ditawarkan oleh Prabowo Subianto.

Dia juga mempertanyakan posisi dan kepentingan Indonesia melalui proposal yang dibawa oleh Prabowo Subianto.

Dia juga berkata proposal itu tidak memposisikan Rusia sebagai agresor dan justru melemahkan posisi tawar Ukraina.

Proposal ini masih bias 'great power' tapi seakan berusaha menjadi penengah dan netral.

Selain itu, proposal ini bias karena hanya didasarkan pengalaman Rusia dan Asia, tanpa menghitung trauma sejarah Eropa Timur dan negara bekas Soviet.

Imperialisme Rusia di masa Soviet tidak diperhitungkan dan justru Indonesia meminta Ukraina dengan legowo duduk bersama bekas penjajahnya.

Halaman
123