Seiring meluasnya pelebaran kekuasaan Batavia, penduduk Tomang sudah bercampur antara masyarakat asli dengan pendatang dari Jawa khususnya Sunda, Sumatera, Nusa Tenggara, dan keturunan Cina.
Penduduk asli banyak yang hidup berkecukupan dengan menjual tanah yang dulunya masih belum bertuan.
Rumah tradisional Tomang-Jati Pulo berbentuk kebaya dan masih berdinding gedek serta beratap rumbia.
Hanya rumah kepala kampung saja yang sebagian sudah bertembok.
Antara satu rumah dengan rumah yang lain masih terdapat hutan kecil atau semak belukar.
Di samping rumah dibangun blandongan untuk menimbun dedak. Selain itu juga ada empang atau kolam ikan yang juga digunakan untuk buang air besar.
Di belakang rumah ada kandang kambing dan sumur untuk air minum.
Di dekat rumah juga ada tempat sholat untuk tiga atau empat orang.
Pada saat lebaran, penduduk selalu membunyikan petasan.
Kalau tidak akan dianggap tidak menghormati hari raya ini.
Tata cara pernikahan di Tomang
Zaman dulu, warga Tomang memiliki tata cara perkawinan yang unik.
Hal unik itu terlihat ketika pasangan mempelai belum saling mengenal karena mereka dijodohkan oleh orang tuanya.
Pada malam pengantin, pengantin laki-laki menegur istrinya dengan meletakkan uang sebesar 25 atau 50 sen di sebuah tempat kemudian dia harus menyingkir jauh-jauh sambil melirik apakah uang itu diambil atau tidak oleh pengantin wanita.
Jika diambil maka istrinya akan menyahut kalau ditegur. Tetapi kalau tidak, uangnya harus ditambah.