Berita Daerah
Anies Sebut Separuh Warga Jakarta Buta Huruf saat Pertahankan Kemerdekaan di Lapangan IKADA
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebut saat 1945 separuh warga Jakarta buta huruf. Ini sangat memprihatinkan.
Penulis: Fitriyandi Al Fajri | Editor: Valentino Verry
TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA - Sekitar 300.000 orang berkumpul di lapangan Ikatan Atletik Djakarta (IKADA) pada 19 September 1945 silam.
Mereka berkumpul untuk mempertahankan kemerdekaan RI yang berusia sebulan kepada tentara Belanda dan Jepang.
Baca juga: Pencurian Motor di Pondok Ungu Permai Bekasi Utara Sering Terjadi, Aksinya Cepat Bikin Resah Warga
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyebut, penduduk Jakarta saat itu berjumlah sekitar 632.000.
Mayoritas mereka yang berkumpul di lapangan IKADA yang sekarang dikenal sebagai Kawasan Monumen Nasional (Monas), itu adalah buta huruf.
Meski kebanyakan buta huruf, namun mereka memiliki semangat untuk berjuang agar terbebas dari jajahan sekutu.
Tak heran, mereka menghibahkan nyawanya sendiri hanya untuk mempertahankan kemerdekaan yang sebulan sebelumnya telah diproklamasikan Presiden RI Soekarno.
“Bayangkan ada sebuah kota separuh penduduknya berkumpul di sebuah lapangan, menyatakan kepada dunia bahwa kami memang buta huruf, kami memang miskin, kami memang belum bersekolah, tapi kami punya harga diri dan kami tidak akan membiarkan republik ini dijajah kembali,” kata Anies saat memimpin upacara peringatan ke-76 Hari Rapat Raksasa IKADA di Balai Kota DKI, Senin (20/9/2021).
Baca juga: Ungkap Penembak Ustaz Polisi Selidiki Rekaman CCTV, Terduga Pelaku Mengenakan Seragam Atribut Ojol
Anies bercerita, saat itu tentara Jepang yang ada di Batavia (sebelum Jakarta) bergetar.
Bahkan tentara Belanda yang baru tiba di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara juga merasakan hal yang sama.
“Mereka tidak bisa membayangkan 300.00 orang berkumpul dalam satu lapangan, tua-muda, laki-perempuan, termasuk anak-anak dan semua menyatakan siap untuk melawan mereka,” ujar Anies.
Menurut Anies, pesan dan sikap dari ratusan ribu orang itu mengubah persepsi tentang proklamasi di mata sekutu.
Baca juga: Tyas Mirasih-Raiden Soedjono Resmi Bercerai, PN Agama Juga Putuskan Soal Harta Gono Gini
Awalnya sekutu menilai, proklamasi hanya keinginan dari sekelompok orang pribumi yang melek dengan pendidikan.
Pasalnya, mereka yang terlibat dalam sejumlah organisasi seperti Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), kebanyakan kelompok intelektual.
Sementara mayoritas warga Indonesia yang minim pendidikan saat itu cenderung pasrah dengan keadaan yang ada.
“Orang-orang yang mendapatkan ksempatan untuk sekolah di saat 95 persen penduduk Indonesia buta huruf, sedangkan yang lima persen terdidik ini yang mengikhtiarkan kemerdekaan," katanya.