Berita Politik
Presidential Threshold, Fadli Zon Pernah Menolak UU Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2017: Tidak Fair!
Penolakan UU penyelenggaraan pemilu tahun 2017 oleh Fadli Zon, karena kebijakan presidential threshold atau ambang batas pencalonan.
Penulis: Miftahul Munir | Editor: Panji Baskhara
TRIBUNBEKASI.COM - Politisi Partai Gerindra Fadli Zon pernah menolak rencana Undang-undang (UU) penyelenggaraan pemilu di tahun 2017 silam.
Penolakan UU penyelenggaraan pemilu dilakukan Fadli Zon tersebut, karena presidential threshold atau ambang batas pencalonan.
Sebab, kata Fadli Zon, sebelum pemilu berlangsung kalangan elite politik atau oligarki sudah menentukan calon untuk didukung jadi orang nomor satu di Indonesia.
Artinya, kalangan elite atau oligarki ini yang bakal menempatkan siapa calon presiden dan wakil presiden agar maju di Pemilu serta menentukan pemenangnya.
Baca juga: Presidential Threshold, Sekjen Partai Bulan Bintang: Ajukan Gugatan Demi Daulat Rakyat
Baca juga: Ini Penjelasan Ahli Hukum Tata Negara Soal Urgensi Presidential Threshold dalam Pemilu di Indonesia
Baca juga: Polemik Kebijakan Presidential Threshold, Pakar Hukum Tata Negara: Pastikan Legal Standing
Sementara, calon-calon presiden lain yang sudah mantap ingin maju di Pemilu pasti terganjal dengan aturan presidential threshold.
"Padahal di tahun 2004, kita pernah punya lima calon pasangan capres dan cawapres, makanya dibuat sampai putaran dua," kata Fadli Zon di Jakarta, Sabtu (1/10/2022).
Secara tidak langsung, presidential threshold telah menghilangkan kesempatan calon-calon pemimpin bangsa Indonesia.
Padahal pemilih presiden itu seharus adalah rakyat Indonesia bukan kalangan elite partai politik ataupun orang yang memiliki kepentingan.
"Tapi ini ada semacam pemilihan, pembatasan oleh para elit, kalau dipaksa ada pemilihan elit terlebih dahulu, apakah elit partai politik atau karena memang UUD kita dipilih atau ditentukan oleh partai politik, saya kira itu cukup fair," jelas Fadli Zon.
"Tapi pembatasannya ini yang tidak fair, ini yang membuat kemudian sangat terbatas, kita tidak mempunyai calon-calon terbaik anak bangsa," sambungnya.
Kemudian, pembatasan usia juga menjadi masalah karena selama ini pemuda tidak diberi kesempatan untuk menjadi Presiden.
Usia muda yang dimaksud Fadli Zon diangka 35 tahun sampai 40 tahun dan selama ini yang menjadi Presiden adalah orang berusia di atas 50 tahun.
"Calon terbaik itu (kalangan muda) bisa tidak mendapatkan tiket, calon terbaik itu bisa disisihkan karena bisa dianggap tidak sejalan dengan kepentingan yang besar," ungkap Fadli Zon.
Oleh karena itu, ia minta kepada mahasiswa yang hadir di acara diskusi dengan tema "Dilema Pilpres 2024" Total Politik di Jakarta untuk menegakan demokrasi yang adil.
Sehingga, proses pemilihan umum dan aturannya bisa berjalan secara prosedural serta substansial.
"Jadi sejak awal ini sudah ada babak penyisihan, babak penyisihannya itu adalah misalnya dipatok dua paket atau tidak paket padahal bisa lebih banyak lagi (calonnya)," tuturnya.
Ditempat yang sama, Politisi Partai Nasdem Hillary Brigitta Lasut mengomentari aturan yang sama dan merasa kecolongan.
Sebab, aturan itu mempersilahkan masyarakat yang berpendidikan lulusan SMA untuk ikut Pemilu sebagai kepala negara.
Padahal mesin penggerak demostrasi di Indonesia adalah dari kalangan mahasiswa dan aturan itu menyuruh calon presiden tidak harus lulusan perguruan tinggi.
"Bagaimana nantinya kalau teman-teman dari BEM berdemonstrasi kepada presiden yang belum pernah jadi mahasiswa gimana perasaan kalian? dan gimana kalian menanggapinya," tanya Hillary.
Hillary pun menilai kemampuan psikis dan psikologis orang yang mengenyam pendidikan perguruan tinggi lebih baik daripada tak kuliah.
Mereka dengan pengalaman organisasinya semasa kuliah dan pendidikan di perguruan tinggi dapat menyelesaikan masalah.
"Sebenarnya yang dianggap cakap dan segala tindakan dapat dipertanggungjawabkan serta mereka di atas 21 tahun tidak ada larangan mencalonkan diri jadi apapun termasuk presiden," ucap wanita berkemaja putih.
Penjelasan Ahli Hukum Tata Negara Soal Urgensi Presidential Threshold
Ahli Hukum Tata Negara, Dr Mirza Nasution, tanggapi soal kebijakan presidential threshold.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ini juga berikan penjelasan soal urgensi presidential threshold di dalam sistem pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia.
Menurut Dr Mirza Nasution, presidential threshold atau nilai ambang batas dalam pencalonan presiden dan wakil presiden bukan lah hal yang baru, dalam praktek pemilu di Indonesia.
"Pertama kali dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003" jelasnya Dr Mirza Nasution, pada Kamis (6/1/2022).
UU itu tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan partai politik atau gabungan partai politik yang peroleh sekurang-kurangnya 15 persen jumlah kursi DPR, atau 20 persen dari perolehan suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Ketentuan inilah yang kemudian mencetuskan persyaratan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold), bagi partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, yang selanjutnya digunakan sebagai acuan presidential threshold untuk pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004.
Muatan materi presidential threshold dalam pasal ini kemudian dirubah jadi lebih tinggi persentasenya dengan UU No. 42 Tahun 2008 pasal 9.
Dimana pasal itu memiliki persamaan bunyi dengan perubahan terakhir dengan UU No. 17 Tahun 2017 Pasal 222.
Pasal itu mensyaratkan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR.
Atau, memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Selanjutnya digunakan sebagai acuan presidential threshold untul pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2009, 2014, 2019 dan pada tahun 2024 jika tidak ada perubahan.
Namun dalam perkembangannya, pasal tentang presidential threshold ini sering terjadi perdebatan di kalangan masyarakat.
Khususnya berkaitan dengan anggapan presidential threshold ini inkonstitusional dan diskriminasi, terhadap hak konstitusi setiap orang untuk menjadi presiden dan wakil presiden.
Hal itu sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945, sehingga telah berulang-ulang diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
"Perlu diingat bahwa, secara konstitusi pada pasal 6 UUD 1945 yang menyatakan bahwa syarat-syarat untuk jadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang'"
"dan pasal 6A ayat (2) 'Pasangan calon 'residen dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum'." paparnya.
Dengan demikian UUD 1945 telah mengamanatkan untuk mengatur lebih lanjut terkait persyaratan jadi presiden, dan pengaturan presidential threshold yang diatur dalam UU No. 17 Tahun 2017 Pasal 222, adalah konstitusional.
Sebab, merupakan penjabaran lebih lanjut terkait persyaratan untuk jadi presiden sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 tersebut.
Hadirnya UU No. 17 Tahun 2017 Pasal 222, jika dilihat dari sisi politik hukumnya, terdapat urgensi atau beberapa alasan mendalam terkait argumentasi kebijakan dilahirkannya pengaturan tentang ambang batas tersebut. Diantaranya:
1. Presidential threshold telah menjadi sebuah rangka bangun sistem ketatanegaraan dalam hal pemilu presiden dan wakil presiden di Indonesia dalam beberapa periode.
Sehingga jika Presidential threshold dihapuskan maka akan meruntuhkan rangka bangun sistem ketatanegaraan yang telah dibangun selama ini.
Artinya saat ini dengan adanya ambang batas 20 persen tersebut merupakan syarat pencalonan paslon presiden dan wakil presiden, harus diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik dan melarang pencalonan secara independen.
Jika ambang batas dihapuskan maka tidak menutup kemungkinan banyak pencalonan presiden jalur independen.
Sehingga semua sistem pemilu yang telah dibangun saat ini harus direkontruksi atau dibangun ulang, baik dari sisi peraturan tentang pemilu, dari sisi keamanan negara ketika pemilu dan lainnya.
Tentu menimbulkan banyak dampak negatif dari semua bidang kehidupan masyarakat, mulai dari sisi keamanan negara, ekonomi, sosial politik dan sebagainya.
2. Presidential threshold merupakan salah satu langkah dalam menguatkan sistem presidensial.
Presidential threshold diartikan sebagai pengaturan tingkat ambang batas dukungan dari DPR, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot), atau jumlah perolehan kursi (seat) yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat mencalonkan presiden dari partai politik tersebut atau dengan gabungan partai politik.
Sistem pemerintahan presidensiil didasarkan pada kehendak untuk menjamin suatu kekuasaan pemerintahan dibawah Presiden sebagai kepala kekuasaan eksekutif atau pun kepala pemerintahan.yang kuat dan stabil.
Sehingga penyelenggaraan kekuasaan berjalan efektif, artinya dalam menjalankan kekuasaannya presiden tidak mudah dijatuhkan ( impeachment) dalam masa jabatannya.
Sebab, apabila presiden terpilih ternyata tidak didukung oleh partai politik yang memperoleh kursi mayoritas di DPR, tentu dapat dipastikan akan menyulitkan Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan
3. Presidential threshold menjaga stabilitas politik negara.
4. Presidential threshold memastikan bahwa hubungan presiden dan parlementer bersinergi dan berhubungan dengan baik sehingga penyelenggaraan pemerintahan berjalan dengan efektif.
5. Presidential threshold merupakan langkah efektif dalam penyederhanaan multi partai secara alami
6. Presidential threshold dalam praktek pemilu serentak memberikan kemudahan dan efisiensi anggaran yang lebih murah dalam pelaksanaan pemilu.
Sebenarnya perdebatan mengenai presidential threshold yang dianggap inkonstitusional telah beberapa kali dilakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, dan Mahkamah Konstitusi melalui keseluruhan Putusannya mulai dari putusan No. 16/PUU-V/2007.
Terakhir saat ini Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 menolak semua gugatan tersebut dan menyatakan, kebijakan presidential threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan merupakan kebijakan diamanatkan oleh UUD yang bersifat terbuka.
Sebagaimana dalam pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final.
Hal itu untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Maka putusan mahkamah kontitusi bersifat final dan mengikat.
Sehingga perdebatan yang tepat ialah bukan lagi untuk menghapus presidential threshold karena inkonstitusional.
Melainkan perdebatan terkait besaran nilai persentasi dari presidential threshold tersebut.
Selain itu, mahkamah konstitusi dalam putusannya bahwa besaran nilai persentase tersebut merupakan legal opened policy.
Yaitu kewenangan tersebut kembali kepada pembentuk undang undang untuk merevisi besaran persentase dari presidential threshold.
(Wartakotalive.com/M26/TribunBekasi.com/CC)