Edukasi

Penipuan Bermodus File APK yang dapat Menguras Tabungan Nasabah, ini Saran Pengamat Keamanan Siber

Menghindari tabungan dikuras, jangan klik apapun yang diberikan oleh orang asing baik lewat WA, telegram, email maupun media sosial.

Penulis: Ramadhan L Q | Editor: Lilis Setyaningsih
Shutterstock
Ilustrasi - waspada lima tanda (red flag) penipuan online. 

"Pelaku selanjutnya meyakinkan korban (social engineering) agar mau melakukan instalasi file APK dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan dalih undangan perkawinan," lanjut dia.

Baca juga: Incar Kaum Wanita Mapan di Media Sosial, Begini Modus Polisi Gadungan di Bekasi Lakukan Penipuan

Ia mengatakan, dalam proses instalasi inilah, biasanya ada penolakan dari sistem ponsel Android, karena secara default biasanya ponsel android menolak melakukan instalasi dari pihak ketiga, instalasi hanya dari Google Playstore.

"Di sinilah pelaku meyakinkan dan “membimbing” korban melakukan instalasi. Setelah terinstal, maka pelaku bisa melakukan remote dan melihat aktivitas ponsel korban," kata Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber CISSREC itu.

"Dimulailah aksi membobol mobile banking. Request OTP via SMS bisa dilakukan pelaku, sekaligus pelaku bisa melihat password dan PIN yang dibutuhkan untuk proses pemindahan uang ke rekening yang mereka kehendaki," sambungnya.

Pelaku dapat ikut mengambil data dan mengontrol ponsel korban. Aplikasi ini juga menggunakan malware RAT (remote access trojan) yang fungsinya dapat melakukan remote ponsel korban.

Ia mengatakan, sangat mudah mendeteksi bahwa file kiriman sebagai APK.

"Karena dari file yang dikirimkan langsung ketahuan di Whastapp bahwa itu APK," ucap dia.

Guna mengantisipasi, Pratama mengatakan pihak terkait mesti melakukan edukasi karena sudah banyak korban.

"Yang patut dicatat dan menjadi sangat penting adalah, banyaknya korban karena data masyarakat yang bocor begitu banyak, mulai dari kebocoran sim card, data BPJS, Tokopedia, KPU dan berbagai kebocoran lainnya. Kondisi ini jelas mempermudah pelaku dalam melakukan targeting calon korban," kata dia.

"Pemerintah dan perbankan harus melakukan edukasi, karena tindak kejahatan ini langsung ke masyarakat," lanjutnya.

Selain edukasi, pemerintah harus bisa menegakkan Undang-undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP) agar mengurangi kebocoran data di berbagai lembaga, baik lembaga negara maupun swasta.

Untuk urusan edukasi ini, ia menuturkan pemerintah bisa mendorong sektor swasta yang dijadikan topeng oleh para pelaku.

"Misalnya dalam hal ini perbankan dan ekspedisi. Misalnya perbankan sering melakukan WA dan SMS eduksi ke masyarakat, termasuk warning di aplikasi perbankan mereka," ucap Pratama.

Pelaku, kata dia, cukup pintar berpura-pura sebagai kurir karena saat ini memang belanja online sudah menjadi budaya baru di masyarakat Indonesia, terutama sejak pandemi.

"Keamanan aplikasi perbankan memang berbeda-beda setiap bank. Namun dengan peningkatan kasus Fraud, mereka juga meningkatkan standar keamanan. Perbankan relatif lebih flexible dan mempunyai anggaran yang banyak untuk melakukan peningkatan keamanan siber di ekosistem mereka," tuturnya.

Halaman
123
Sumber: Wartakota
Berita Terkait

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved