Polisi Sita Uang Rp 97 Juta dari Tersangka Pemerasan di Program Spesialis Anestesi Undip

Polda Jateng menetapkan 3 dokter terlibat dalam pemerasan terhadap Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Undip

Penulis: | Editor: Ign Prayoga
TribunJateng.com/Fajar Bahruddin Achmad
Seorang warga berdoa di makam almarhumah dr Aulia Risma Lestari di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Panggung, Kota Tegal, Kamis (15/8/2024). 

TRIBUNBEKASI.COM, SEMARANG -- Dokter asal Tegal, Aulia Risma Lestari, meninggal dunia di tengah masa pendidikan dokter spesialis anestesi di Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah, Agustus 2024.

Kasus ini melebar ke dugaan bullying dan pemerasan di program pendidikan dokter spesialis anestesi Undip.

Aulia Risma Lestari diduga mengakhiri hidup karena tak kuat menghadapi tekanan senior di pendidikan dokter spesialis tersebut. Bahkan, ada dugaan Aulia diperas oleh seniornya.

Kabar terbaru, polisi menyatakan ada tiga dokter yang terlibat dalam kasus pemerasan terhadap Aulia Risma Lestari, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.

Ketiga tersangka yakni seorang pria dan dua perempuan. Mereka adalah TEN (pria), Ketua Program Studi Anestesi FK Undip.

Lalu dua perempuan lainnya yakni SM selaku kepala staf medis kependidikan prodi Anestesiologi dan ZYA, senior korban.

Hal ini dibenarkan Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Artanto, Selasa (24/12/2024).

"Iya ada tiga tersangka, mereka para senior korban," ujarnya, dikutip dari TribunJateng.com.

Selain itu, pihak kepolisian juga menyita uang sejumlah Rp 97.770.00 dari tangan ketiga tersangka.

"Dari ketiga tersangka kami menyita barang bukti sebesar Rp 97.770.000. Hasil dari rangkaian dari peristiwa tersebut," sambung Artanto.

Artanto menuturkan, ketiganya dijerat pasal berlapis, Pasal 368 ayat 1 KUHP tentang pemerasan, Pasal 378 KUHP soal Penipuan, dan Pasal 335 soal Pengancaman atau Teror terhadap Orang Lain.

"Untuk ancaman hukumannya maksimal 9 tahun," ujarnya.

Meski telah ditetapkan sebagai tersangka, tapi ketiganya belum ditahan karena masih menunggu keputusan dari penyidik.

Ketiga tersangka tak ditahan karena dinilai kooperatif.

"Iya belum (ditahan) itu pertimbangan penyidik,"

"(Kapan ditahan?) Nanti nunggu penyidik," katanya.

Diketahui, Risma Aulia ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya di Kota Semarang, pada 15 Agustus 2024.

Risma meninggal mengakhiri hidupnya sendiri lantaran diduga mendapatkan bullying dan pemerasan dari seniornya.

Lalu pada 4 September 2024, ibu korban, Nuzmatun Malinah melaporkan kasus ini ke Polda Jawa tengah.

Dalam perjalanannya, pihak kepolisian memeriksa lebih dari 30 saksi.

Sementara itu, kuasa hukum keluarga Risma, Misyal Achmad, menyatakan tersangka pemerasan adalah:

- TEN, pria yang menjabat sebagai Ketua Program Studi Anestesiologi Fakultas Kedokteran Undip.

- SM, perempuan yang merupakan kepala staf medis kependidikan prodi Anestesiologi.

- ZYA, perempuan yang merupakan senior korban di program Anestesi.

"Iya ada tiga tersangka, mereka para senior korban," ujar Misyal,  Selasa, 24 Desember 2024.

Misyal Achmad menilai bahwa ketiganya layak diberhentikan dari profesi dokter.

Pencopotan status dokter terhadap ketiga tersangka perlu dilakukan karena mereka dianggap telah mengalami gangguan mental, sehingga tidak layak untuk menjalankan praktik kedokteran.

“Kalau orang sakit secara mental, bagaimana mereka bisa mengobati orang sakit?” ungkap Misyal.

Misyal dan timnya kini sedang menyiapkan skema untuk mencabut izin praktik dan izin mengajar yang dimiliki oleh para tersangka.

“Saya akan berjuang untuk mencabut status dokter dari para tersangka ini supaya mereka tidak lagi bisa menjadi dokter sampai kapanpun,” tegasnya.

Misyal juga menyoroti bahaya pemerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan kedokteran.

Selain itu, Misyal juga menyayangkan langkah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang memberikan dukungan hukum kepada tersangka.

Ia menyatakan bahwa seharusnya IDI memberikan pendampingan kepada korban, Aulia Risma, bukan kepada pelaku.

“Harusnya bukan saya yang mendampingi, tapi dari IDI yang menyiapkan lawyer. Kok dia pilih pelaku bukan korbannya, aneh ini,” kata Misyal.

Sebagai langkah pencegahan, Misyal telah mengajukan surat permohonan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti Bullying.

Satgas ini diharapkan melibatkan unsur kepolisian, kejaksaan, dan praktisi hukum untuk mengawasi dan memproses kasus bullying di lingkungan pendidikan kedokteran.

“Satgas yang dibentuk selama ini kurang efektif, jadi perlu ada lembaga-lembaga lain yang terlibat agar semua pelaku bullying bisa diproses pidana,” kata Misyal.

Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJateng.com

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved