Berita Nasional
Rawan Penyalahgunaan Kekuasaan, Revisi UU Desa Soal Jabatan 9 Tahun Harus Pertimbangkan Putusan MK
Menurut Dian Suryana, dari Putusan MK dan realitas banyaknya kades terjerat korupsi tersebut harus menjadi pertimbangan DPR dalam revisi UU Desa.
Penulis: Muhammad Azzam | Editor: Ichwan Chasani
TRIBUNBEKASI.COM, KARAWANG — Tuntutan revisi Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang disuarakan organisasi kepala desa, salah satunya tentang penambahan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Wacana revisi UU Desa tersebut menuai beragam tanggapan.
Pusat Studi Konstitusi dan Kebijakan (PUSTAKA) menilai, jika ada revisi UU Desa tentang penambahan masa jabatan DPR harus mempertimbangkan beberapa hal, salah satunya putusan Mahkamah Konstitusi.
Direktur PUSTAKA, Dian Suryana mengatakan, dalam ratio decidendi Putusan MK Nomor 42/PUU-XIX/2021 tentang pengujian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sangat jelas dikatakan bahwa jabatan kades 6 tahun.
Selain itu, aturan tersebut menyebutkan bahwa kades diberi kesempatan sampai 3 kali periode.
BERITA VIDEO: BUPATI TANGERANG DAN DIRJEN BINA PEMDES PANTAU PILKADES SERENTAK
Pembatasan tersebut supaya ada kesempatan kepastian terjadinya alih generasi kepemimpinan juga mencegah penyalahgunaan kekuasaan karena terlalu lama berkuasa.
"Ratio decidendi Putusan MK tersebut selain secara hukum bersifat final dan mengikat, menurut saya masuk akal. Data KPK dari 2012 hingga 2021, ada 686 kades dan aparatur desa terjerat korupsi. Sederhananya, dengan dibatasi 6 tahun saja banyak yang terjerat korupsi apalagi dengan diperpanjang," beber dia.
Menurut Dian Suryana, dari Putusan MK dan realitas banyaknya kades terjerat korupsi tersebut harus menjadi pertimbangan DPR dalam revisi UU Desa nanti.
Baca juga: Solihin Alias Duloh, Pelaku Pembunuhan Berantai Cianjur-Bekasi, Mengaku Bisa Obati Berbagai Penyakit
Baca juga: Sering Kekurangan Air, Ratusan Petani dari Dua Desa di Karawang Unjuk Rasa di Kantor Bupati
Dian Suryana menjelaskan, dalam wacana revisi UU Desa tidak hanya berfokus pada masalah perpanjangan masa jabatan, akan tetapi hal yang sangat krusial seperti fenomena politik uang pada saat pemilihan kepala desa (Pilkades).
Menurutnya, maraknya fenomena politik uang saat Pilkades menjadi salah satu penyebab cost politic calon kades menjadi besar.
Secara tidak langsung menjadi beban ketika calon kepala desa terpilih saat menjabat, sehingga memperbesar peluang potensi korupsi.
"Praktik politik uang di Pilkades harus disikapi serius. Supaya kualitas pesta demokrasi di tingkatan desa lebih bermartabat,"katanya.
Dia menjelaskan, fenomena politik uang saat Pilkades menjadi marak lantaran tidak ada aturan yang secara tegas dan jelas mengatur soal perbuatan tersebut.
Baca juga: Keluarga Sopir Taksi Online Belum Tahu Kronologis Kejadian di Depok yang Menewaskan Sony
Baca juga: Sebelum Ditemukan Tewas di Depok, Sopir Taksi Online Sudah Tiga Hari Tidak Pulang ke Rumah
Baca juga: Naik Rp 2.000 Per Gram, Harga Emas Batangan Antam di Bekasi Selasa Ini Jadi Segini, Cek Detailnya
Karena Pasal 149 KUHP lama tidak bisa digunakan sebagai landasan yuridis untuk menjerat pelaku politik uang di Pilkades. Selain sudah ada pembaharuan KUHP, aturan tersebut tidak secara jelas dan tegas mengatur perbuatan politik uang di Pilkades.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.