Info Pemilu

Pengamat Komunikasi Politik Ungkap Ada Tiga Hal Isi Pidato Prabowo Subianto yang Patut Dikritisi

Tiga hal patut dikritisi dari isi Prabowo Subianto setelah dapat dukungan dari Partai Golkar dan PAN dibeberkan Pengamat Komunikasi Politik M Lukman.

Editor: Panji Baskhara
Tribunnews.com/Rizki Sandi Saputra
Empat Ketua Umum Partai Politik yakni Airlangga Hartarto (Partai Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), Muhaimin Iskandar (PKB) dan Prabowo Subianto (Gerindra) resmi mendeklarasikan Prabowo Subianto sebagai bakal calon presiden dari koalisi KIR di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Menteng, Jakarta, Minggu (13/8/2023). 

"Ucapan Prabowo Subianto yang ditepuk-tangani oleh para pimpinan partai koalisi justru urung dilihat secara signifikan sebagai narasi kepemimpinan yang sarat visi."

"Implikasi serius ke depannya, sejarah membuktikan terpilihnya pemimpin dengan hanya bermodalkan ambisi berkuasa semata (tanpa visi kerakyatan yang transparan kepada publik) berpotensi besar membahayakan demokrasi kepada regresi yang konkret," ujar Lukman.

Ketiga, Lukman menyebut framing terhadap statement bahwa mereka berada dalam kapal pemerintahan yang dipimpin Presiden RI Joko Widodo.

Sekaligus dengan demikian mereka 'sangat mengerti' pokok persoalan rakyat dan sebagainya, bisa digolongkan sebagai sikap politik band-wagoning.

Yaitu gestur politik yang hanya menempel/mengunci kepada 'sang lokomotif' dan akan mengikuti kemana pun lokomotif mengarahkan tujuannya.

Sebagai capres yang pernah mengalami kekalahan politik sebanyak dua kali, Lukman sebut Prabowo Subianto seharusnya mampu lebih bijak, cerdas, dan berhati-hati dalam menyuarakan.

Sekaligus juga bisa membedakan apa itu political claims dan performance claims (sebagai Menteri).

Pernyataan glorifikasi pekerjaan atau performance claims dari masing-masing Menteri tidak relevan dan tidaklah etis untuk diklaim sebagai 'keberhasilan' pribadi Menteri yang bersangkutan apalagi untuk di-glorifikasi menjadi 'keberhasilan' partai koalisi.

'Hal ini tentunya akan menimbulkan internal discomfort dalam Kabinet Pemerintahan yang juga berisikan para Menteri dari partai koalisi yang lain. Presiden Joko Widodo tentu tidak akan menoleransi 'kekisruhan' dalam kabinetnya, khususnya yang berkaitan dengan legacy kinerja pemerintahannya selama total dua periode," ujarnya.

Sebagai pribadi yang selalu berhati-hati dalam menempatkan diri ketika menjadi kader partai dan ketika menjadi pemimpin negara, pun hingga saat ini, dalam jabatan Presiden, Joko Widodo dinilai tidak pernah menyatakan mendukung satu pun nama Bacapres secara resmi.

"Presiden Joko Widodo tentu akan fokus dengan penyerasian legacy-nya dan pencatutan namanya demi aktivitas manuver politik dan glorifikasi kepentingan tertentu justru berpotensi dianggap Presiden sebagai upaya disloyalty dan memecah-belah keseriusan kinerja Pemerintah," ujarnya.

Terkait tiga hal yang telah diuraikan, Lukman mengingatkan kepemimpinan di Indonesia membutuhkan 'kreativitas'. Ketiadaan visi yang jelas, politik band-wagoning, dan ambisi berbasiskan glorifikasi justru berkebalikan dengan habit dan situasi Joko Widodo sejak pertama kali diusung sebagai Capres.

"Joko Widodo justru konsisten dengan blusukan yang dilakoninya sejak menjadi Pedagang Kayu dan Mebel, Walikota, Gubernur, hingga Presiden."

"Dari situlah ia membaca, mengkreasikan dan mengamalkan 'kerakyatan' secara langsung dengan sepenuh kesadaran atas risiko munculnya pro dan kontra dari keputusan dan/atau kebijakannya."

"Semua orang bisa melakukan blusukan, namun ke-khas-an itu hanya kembali terlekatkan kepada sosok Joko Widodo sebagai influencer of 'blusukan'," ujar Lukman.

Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved