Kasus Timah

Penghitungan Kerugian Negara pada kasus Timah Pakai Permen LHK, Jaksa Dinilai Salah Terapkan Aturan

Kejagung telah melimpahkan 22 tersangka kasus korupsi timah ke Kejari Jaksel. Kejagung menyebut kerugian negara pada kasus ini Rp 300 triliun

|
Penulis: Ign Prayoga | Editor: Ign Prayoga
TribunBekasi.com
Andy Inovi Nababan, penasihat hukum pengurus CV Venus Inti Perkasa (VIP) yang terbelit kasus timah. Kasus ini juga menjadikan Harvey Moeis, suami Sandra Dewi, sebagai tersangka. 

TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA - Kasus dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah yang ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung) terus bergulir.

Sejauh ini, Kejagung telah melimpahkan berkas dan 22 tersangka kasus dugaan korupsi timah ini ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.

Pelimpahan ke Kejari Jaksel dilakukan untuk keperluan proses penuntutan dan persidangan.

Dari 22 tersangka yang dilimpahan ke Kejari Jaksel, empat di antaranya merupakan pengurus CV Venus Inti Perkasa (VIP). Mereka berinisial TN, AA, BY, dan HC.

Penasihat hukum VIP, Andy Inovi Nababan, menyampaikan beberapa hal terkait perkara yang menjerat keempat kliennya yakni TN, AA, BY, dan HC.

Baca juga: Asal Usul Permen LH No 7 yang Dipakai Bambang Hero untuk Menghitung Nilai Korupsi Suami Sandra Dewi

Keempatnya dijerat tuduhan korupsi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No 7 tahun 2014.

"Kami merasa perlu memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No 7 tahun 2014," kata Andy Nababan dalam keterangan tertulis, Kamis (13/6/2024).

Menurutnya, selama ini, opini publik telah digiring bahwa kerugian ekologis dapat dihitung sebagai kerugian negara.

"Namun, perlu diketahui bahwa Permen LHK 7/2014 dibuat untuk mengatur mekanisme penyelesaian sengketa perdata lingkungan baik di dalam maupun di luar pengadilan," kata Andy Nababan.

Dalam hal ini, negara bertindak sebagai wali lingkungan karena lingkungan tidak dapat bertindak untuk dirinya sendiri.

Peraturan ini bertujuan agar siapa pun yang merusak lingkungan dapat digugat dan bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan.

Baca juga: Dua Tersangka Kasus Korupsi Timah Rp 300 Triliun Siap Diadili, Harvey Moeis dan Sandra Dewi Menyusul

"Kami mempertanyakan bagaimana penyidik menggunakan metode perhitungan ekologis sebagai kerugian riil," ujar Andy Nababan.

"Menurut kami, ahli yang dijadikan rujukan Kejaksaan Agung secara membabi buta menggunakan pasal ganti rugi kerugian lingkungan dan mengabaikan fakta bahwa perhitungan ini adalah perhitungan awal," imbuhnya.

Kekeliruan Fatal dalam Berpikir

Penggunaan Permen LHK No. 7/2014 untuk menghitung kerugian riil dari suatu perbuatan yang diduga sebagai tindak pidana korupsi adalah tindakan sewenang-wenang dan zalim, terutama dengan mengatasnamakan lingkungan hidup.

Halaman 1 dari 4
Rekomendasi untuk Anda

Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved