Penyidik Kejagung Dinilai Langgar Aturan dalam Menangani Kasus Korupsi Tata Niaga Timah
Kejagung dinilai melanggar sejumlah aturan dalam menangani kasus dugaan korupsi tata niaga timah di Bangka. Kasus ini telah berguliri di pengadilan.
TRIBUNBEKASI.COM, JAKARTA - Penyidik Kejaksaan Agung (Kejagung) dinilai melanggar sejumlah aturan dalam menangani kasus tata niaga timah di Bangka.
Penilaian ini mencuat pada sidang kasus korupsi tata niaga timah di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (5/9/ 2024).
Sidang tersebut menghadirkan pimpinan CV Venus Inti Perkasa (VIP), yakni Thamron alias Aon.
Dugaan penyidik Kejagung melanggar aturan ini diungkap, Andy Inovi Nababan SH, penasihat hukum CV Venus Inti Perkasa, di dalam sidang yang agendanya adalah penyampaian eksepsi (nota keberatan).
Andy Nababan menyatakan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tidak berwenang mengadili perkara a quo (kompetensi absolut) karena penuntut umum salah menerapkan undang-undang tindak pidana korupsi yang tidak relevan dengan perkara aquo.
“Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi tidak relevan diterapkan dalam perkara a quo, karena status PT Timah Tbk hanyalah anak perusahaan BUMN yang tidak ada kaitannya dengan keuangan/kekayaan negara," kata Andi Nababan.
Andi pun menjelaskan dasar hukum anak usaha BUMN tidak ada kaitannya dengan keuangan negara.
Aturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perusahaan Perseroan (Persero) PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
"Melihat jangka waktu kejadian perkara, PT Timah Tbk saat itu masih menjadi anak perusahaan PT Inalum,” ujar Andy Nababan.
Andy menambahkan, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 01/PHPU-PRES/ XVII/2019 menyatakan, permodalan anak perusahaan BUMN tidak dari negara melainkan dari pemisahan kekayaan induk perusahaan, yaitu BUMN. Hal ini menyebabkan anak perusahaan BUMN tak memiliki keterkaitan dengan negara.
"Selain itu ada Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 10 Tahun 2020 tentang pemberlakukan rumusan hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung tahun 2020 sebagai pedoman pelaksanaan tugas bagi pengadilan tersebut perlu dikaitkan dengan Pasal 2A ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara pada BUMN,” ujarnya.
Alumni Universitas Padjajaran ini menambahkan, beberapa putusan Pengadilan Tipikor yang relevan dengan kasus ini, menyebutkan anak perusahaan BUMN tidak memiliki keterkaitan dengan hubungan dengan negara.
"Berdasarkan fakta-fakta tersebut, maka perkara a quo seharusnya diselesaikan dengan penyelesaian sengketa lingkungan hidup atau tindak pidana lingkungan hidup dan kerugian lingkungan hidup bukan merupakan kerugian keuangan negara," kata Andy.
"Dan penghitungan kerugian lingkungan hidup yang dilakukan penyidik Kejaksaaan Agung dalam perkara a quo bertentangan dengan undang-undang," katanya.
Maka, kata Andy, surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ada sudah cacat hukum, sehingga surat dakwaan JPU batal demi hukum.
Dalam hal ini penyidik Kejagung telah melakukan penyidikan dan melakukan penghitungan atas kerusakan lingkungan hidup sebagaimana diatur oleh UU Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto UU Nomor 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja, UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantas Perusakan Hutan (P3H) Jo UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
"Padahal, dalam UU tersebut telah diatur kewenangan yang melakukan penyidikan adalah tugas Polri dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS),” ujarnya.
Andy menyatakan, dalam kasus ini, penyidik Kejagung juga telah mengabaikan Pasal 14 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Dalam dakwaan JPU terdapat beberapa unsur kerugian negara akibat perbuatan terdakwa yang bertentangan dengan UU Minerba, UU Tentang PPLH dan UU Tentang P3H sedangkan pelanggaran tersebut bukanlah merupakan Tindak Pidana Korupsi,"kata Andy.
"Kalau pun ada pelanggaran maka penyelesaian perkara harus diselesaikan sesuai undang-undang yang mengaturnya, sesuai dengan azas lex spesialis sistematis,” tuturnya.
Andy mengatakan tindakan penyidik Kejagung, JPU, BPKP dan pihak-pihak lain dapat diduga melakukan perbuatan bertentangan dengan UU Minerba, UU Tentang PPLH dan UU Tentang P3H dan secara melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan dimana secara bersama-sama.
Selain itu, mantan penasihat hukum Kementerian Lingkungan Hidup ini menyatakan dalam perkara ini penyidik dalam perkara a quo adalah orang yang sama dengan JPU dan ini sangat bertentangan dengan KUHAP dan asas diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan Pidana di Indonesia, sehingga dakwaan yang dihasilkan dari proses penyidikan dan penuntutan juga bias dianggap melanggar hukum.
"Tim penuntut umum di persidangan maupun secara berkas perkara telah sangat jelas dan terang-terangan menunjukkan di hadapan persidangan bahwa penyidik dalam perkara a quo adalah orang yang sama yang merangkap sekaligus juga sebagai penuntut umum,” paparnya.
Padahal, implementasi asas diferensiasi fungsional di KUHAP memisahkan secara tegas antara fungsi penyidikan yang dijalankan oleh penyidik Polri atau PPNS dan fungsi penuntutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 dan Pasal 1 angka 6 KUHAP;
Pasal 1 angka 1 KUHAP menyatakan: Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang- undang untuk melakukan penyidikan.
Pasal 1 angka 6 KUHAP menyatakan:
(a) Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai Penuntut Umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(b) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan angka 6 KUHAP di atas maka telah jelas bahwa jaksa tidak memiliki kewenangan sebagai penyidik, karena KUHAP menghendaki pemisahan yang tegas antara fungsi penyidikan dengan fungsi penuntutan.(*)
Suparta, Terdakwa Korupsi Timah Rp 300 Triliun Meninggal di RSUD Cibinong |
![]() |
---|
Bertameng Sang Istri yang Jadi Wali Kota Semarang, Politisi PDIP Ini Minta Rp 10 Miliar dari Camat |
![]() |
---|
Penyidik Kejagung Temukan Duit Rp 5,5 Miliar di Rumah Hakim Ali Muhtarom, DPR Anggap Aib Memalukan |
![]() |
---|
Uang Suap ke Hakim Kasus Korupsi CPO Awalnya Hanya Rp 20 Miliar, Arif Nuryanta Minta 3 Kali Lipat |
![]() |
---|
Jaksa Bacakan Dakwaan, Yakin Bahwa Hasto yang Siapkan Uang Rp 600 Juta untuk Menyuap Komisioner KPU |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.