Berita Daerah
PLN tak Tahu Soal Jaringan Listrik di Dalam Sel Lapas Kelas I Tangerang
Manajemen PLN ternyata tak tahu banyak soal jaringan listrik ayng ada di dalam sel Lapas Kelas I Tangerang.
TRIBUNBEKASI.COM, TANGERANG - Manajemen PT PLN (Persero) tampak kebingungan terkait adanya aliran listrik di dalam sel Lapas Kelas I Tangerang.
Sebab, hal tersebut bukan lah kewenangan PLN, namun pelanggan.
Baca juga: Pemkab Bekasi Siapkan Strategi Gerai Vaksinasi Per RW
General Manager PLN Unit Induk Distribusi (UID) Banten, Sandika Aflianto mengatakan, pihaknya memastikan untuk selalu kooperatif terkait adanya insiden ini.
“Pada prinsipnya PLN sangat kooperatif dan membantu sepenuhnya terkait proses yang sedang berlangsung,” ucapnya, Senin (13/9/2021).
Manager PLN UP3 Cikokol, Adi Fitri Atmojo juga menjelaskan, dalam hal instalasi ini, kewenangan PLN hanya sampai pada kWh meter, sehingga peran serta pelanggan untuk ikut menjaga instalasi yang menjadi tanggung jawabnya sangat vital.
“Instalasi di rumah pelanggan harus sering dicek dan dipastikan apakah sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) melalui Lembaga Inspeksi Terdaftar (LIT), penggunaannya juga harus dipastikan aman misalnya tidak menumpuk stekker," katanya.
Alat kWh meter di bangunan milik pelanggan merupakan alat pengukur dan pembatas (APP) kelistrikan yang dipasok PLN.
Sebagai pengukur, alat ini mencatat pemakaian listrik oleh pelanggan.
Baca juga: Tim Biawak Kabupaten Bekasi Kerja Keras Angkut Lima Ton Sampah di Kali Jambe dalam Empat Hari
Sebagai pembatas, kWh meter ini menjadi titik batas kewenangan antara PLN dan pelanggan.
"Dari kWh meter ke instalasi pelanggan adalah tanggung jawab pelanggan,” jelas Adi Fitri.
Sebelumnya, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam mencatat ada persoalan masuknya penggunaan arus listrik dalam sel di Lapas Kelas I Tangerang yang terbakar.
Arus listrik tersebut, kata Choirul, digunakan oleh narapidana untuk mengakses handphone atau gawai.
"Persoalan masuknya penggunaan arus listrik yang bukan untuk peruntukannya (narapidana) dan di jamnya," kata Choirul dikutip dari Kompas.
Dirinya menyampaikan, hal itu berdasarkan hasil kunjungannya ke Lapas Kelas I Tangerang, Kamis (9/9/2021) atau sehari setelah kebakaran.
Menurut dia, penggunaan handphone oleh narapidana jelas merupakan pelanggaran.
Ia mengingatkan, narapidana memang tidak diizinkan mengakses handphone dalam sel.
Baca juga: Aksinya Bikin Resah dan Viral di Medsos, Lokasi Balapan Liar Mobil di Kalimalang Dijaga Polisi
"Itu juga persoalan, harusnya memang, HP enggak boleh masuk dong. Salah satunya itu yang diceritakan," imbuh dia.
"Tapi bukan berarti komunikasi di narapidana tidak boleh. Boleh, tapi pada waktu tertentu, tempatnya juga tertentu. Bukan di tempat-tempat kayak gitu (sel) seharusnya. Apalagi kalau ini jumlahnya sangat padat," lanjutnya.
Adanya akses gawai bagi narapidana itu, menurut Choirul, bisa menjadi salah satu faktor penyebab kebakaran.
Sebab, selama ini dugaan sementara kebakaran karena adanya arus pendek listrik atau korsleting.
"Jadi, kalau rebutan colokan atau instalasi diimprovisasi, ya potensial memang kebakaran diakibatkan arus listrik," ucapnya.
Di sisi lain, ia menambahkan bahwa susunan kabel dalam lapas tersebut berada di atas.
Hal ini dinilai berbeda dengan kondisi lapas yang baru di mana kabel tertanam dengan beton atau berada di bawah bangunan.
Baca juga: Sampah Seberat 5 Ton di Kali Jambe Tambun Sudah Diangkut, Sumardi: Alhamdulillah Belum Ada Kendala
"Improvisasi yang tidak dengan setting atau standar kabel yang aman," tambah dia.
Meski begitu, Choirul mengaku tak ingin berspekulasi lebih jauh dan menyimpulkan penyebab kebakaran karena bukan ranahnya.
Menurut dia, wewenang tersebut dimiliki oleh pihak kepolisian yang akan mengungkap hasil investigasi penyebab kebakaran.
Sementara itu, mantan Ketua KPK yang pernah ditahan di Lapas Kelas I Tangerang, Antasari Azhar, berharap kebakaran hebat di lapas itu menjadi bahan evaluasi internal Kemenkumham.
“Karena kalau kita lihat saat ini ada perbandingan rasio yang jauh antara jumlah sipir dengan jumlah narapidana, sehingga lapas jadi sangat tidak ideal. Mungkin satu sipir berbanding dengan 50 orang narapidana, jelas ini tidak sesuai,” ucapnya, Senin (13/9/2021).
Baca juga: Viral Balapan Liar Mobil di Kalimalang, Polisi Bakal Bakal Buat Marka Kejut
Menurut Antasari, kelebihan di Lapas Tangerang sudah 400 persen, itu artinya ada banyak yang tidak dapat terawasi.
“Ketika ada peristiwa kebakaran seperti kemarin, tentu akan sangat sulit untuk diatasi, akibat keterbatasan sipir tadi,” tegasnya.
Jebolan Universitas Sriwijaya ini menyatakan berdasarkan pengalaman pribadi selama menjalani masa hukuman di Lapas Kelas I Tangerang, dia melihat rasio antara tenaga sipir dan penghuni jadi kian tak seimbang.
“Dulu tahun 2011 ketika saya di sana, penghuninya baru 1.000-an, setelah beberapa bulan saya keluar jadi 2.000-an, sekarang kabarnya sudah lebih dari itu,” ucapnya.
Mantan Kasubdit Penyidikan Kejagung ini menyatakan dulu ketika dirinya berada di dalam lapas, dia pernah ditunjuk sebagai kepala pengamanan yang berasal dari napi untuk membantu para sipir.
“Karena memang jumlah sipirnya terbatas sehingga harus dibantu,” ujarnya.
“Kalau kondisi aman sih, mungkin para sipir terlihat cukup, namun jika sudah ada keributan baru terlihat para sipir kewalahan,” lanjutnya.
Baca juga: Kuasa Hukum Terduga Pelaku Pelecehan Seksual pada Pegawai KPI juga Somasi Beberapa Akun Medos
“Maka ketika itu kami diperbantukan membuat pengamanan diantara blok, sehingga pernah kami bikin acara panggung gembira bagi napi yang diperkirakan akan rusuh ternyata aman, karena memang sudah terbentuk tim keamanan untuk membantu sipir lapas agar tidak ada kerusuhan,” tuturnya.
Antasari menyatakan, sudah selayaknya Kemenkumham mengevaluasi jumlah sipir yang ada.
Selain itu jumlah para napi juga harus bisa dikurangi. Caranya dengan menyeleksi siapa yang harus masuk penjara dan siapa yang tak perlu masuk penjara.
“Di sistem hukum kita kan sudah ada kesalahan sejak awal dari mulai penyidikan, penuntutan dan peradilan,” katanya.
Menurut Antasari, separuh kasus narkoba seharusnya tidak berada di dalam lapas dan sudah layak keluar. Sebab penanganan hukum terhadap mereka salah.
“Dalam kasus narkoba ada terjadi si A punya narkoba lima kg, kemudian si B beli dua kg. Untuk pengantaran si A memakai tukang ojek, ojek nggak tahu isinya apa sampai depan rumah si B, dia ditangkap polisi, ojek yang masuk penjara bukan si A atau si B terkadang lolos,” ucapnya.
“Padahal si tukang ojek harusnya menjadi saksi kunci. Proses hukumnya seperti ini yang perlu diperbaiki, jika proses hukumnya benar maka LP sepi,” kata pria kelahiran Pangkal Pinang ini.
Maka dia mengaku tak setuju dengan wacana pembangunan lapas baru, sebab yang paling penting adalah mengurangi over kapasitas di dalam lapas.
Jadi yang tidak perlu masuk penjara sebaiknya tidak dipenjara.
Baca juga: BNPT Pindahkan 33 Napiter dari Rutan Polda Metro Jaya dan Cikeas ke Sejumlah Lapas
“Kalau kita nambah lapas terus akhirnya kita akan dikenal internasional negeri penjara, itu kesannya kriminal kita tinggi. Sehingga investor pun jadi nggak mau masuk, lebih baik kita membenahi sistem hukum kita,”ucapnya.
Antasari juga meminta semua pihak untuk tidak saling mengkambinghitamkan dalam kasus kebakaran Lapas Kelas I Tangerang ini.
“Yang namanya kebakaran bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, di laut saja bisa terjadi kebakaran,” ujarnya.
“Namun, yang perlu kita lihat sekarang adalah bukan menyalahkan siapa dan pihak mana yang harus kita jadikan kambing hitam, tapi musibah ini tetap harus dipandang sebagai sebuah hikmah yang harus kita syukuri,” lanjut Antasari.
Mengapa harus disyukuri? Karena menurutnya, dengan kondisi Lapas Tangerang yang dibagi menjadi blok-blok, membuat kebakaran kemarin tidak merembet ke blok-blok lain.
“Kalau kebakaran itu menimpa LP lain yang satu blok penuh, maka kalau ada kebakaran akan menghanguskan seluruh Lapas. Lihat saja bagaimana kebakaran gedung Kejagung, kan terbakar semua. Maka hal itu yang perlu kita syukuri,” ucapnya.
Dalam kesempatan itu, Antasari juga meminta keluarga korban untuk tabah menerima musibah ini.
“Saya dulu juga pernah merasa senasib sepenanggungan sebagai warga binaan di lapas Tangerang, sehingga saya sudah seperti keluarga di sana,” katanya.
“Karena itu sebaiknya kita doakan saja semua korban yang meninggal semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT,” imbuhnya. (Tribunnews/Bambang Ismoyo)