Guru Besar IPB Desak Pencabutan Permen LH yang Jadi Dasar Penghitungan Kerugian Negara pada Kasus LH
Sejumlah guru besar dan praktisi hukum mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7 Tahun 2014
Penulis: | Editor: Ign Prayoga
TRIBUNBEKASI.COM, BOGOR - Metode penghitungan kerugian negara pada kasus kerusakan lingkungan hidup dinilai rawan penyimpangan.
Bahkan, kewajiban yang dibebankan kepada perusahaan yang dianggap telah merusak lingkungan bisa jadi bancakan.
Sebagai catatan, payung hukum penghitungan kerugian pada kasus kerusakan lingkungan hidup adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7 Tahun 2014.
Sedangkan ganti rugi yang dibayar perusahaan yang diberi sanksi disetor ke negara sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Berdasarkan kondisi ini, sejumlah guru besar dan praktisi hukum mendesak pemerintah mencabut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) No 7 Tahun 2014.
Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan, Fakultas Kehutanan IPB, Prof Dr Ir Sudarsono Soedomo MS MPPA menekankan kepedulian terhadap lingkungan tidak berarti mengorbankan kepentingan lain, termasuk ekonomi.
Menurutnya, sejumlah persoalan menjadi latar belakang munculnya desakan pencabutan Permen LH No 7 Tahun 2014.
Persoalan tersebut di antaranya metode penghitungan kerugian lingkungan yang menggelembung karena ada elemen yang dihitung dua kali, bahkan bisa tiga kali.
Juga penerapan Permen LH No 7 Tahun 2014 sebagai alat penghitung kerugian negara dalam kasus hukum sedangkan pada kasus lain yang digunakan sebagai dasar penghitungan adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Parahnya lagi, denda yang diperoleh negara melalui putusan pengadilan tidak diperuntukkan bagi pemulihan lingkungan yang rusak.
“Kerugian itu dianggap sebagai penerimaan negara bukan pajak, PNBP. Artinya jika kita ingin PNBP tinggi maka kerusakan negara harus tinggi, apa begitu? Itu kan salah logika,” kata Sudarsono Soedomo pada diskusi bertajuk “Menghitung Kerugian Lingkungan dengan Permen LH No 7/204, Tepatkah?“ yang diselenggarakan di kampus IPB University, Dramaga, Bogor, Jumat (13/12/2024).
Sudarsono pun membeberkan alur yang lebih tepat. “Kerugian lingkungan itu kita hitung, berapa kerugiannya? Uang harus dikembalikan lagi kepada lingkungan, bukan PNPB. Dikembalikan lagi ke lingkungan. Ini yang tidak terjadi,” katanya.
Sudarsono menambahkan, situasi jadi makin rumit ketika ahli yang ditunjuk menghitung kerugian berdasarkan Permen LH No 7/2014 adalah ahli yang jadi saksi di pengadilan.
Hal ini menimbukan kesan negara secara tidak langsung menjadikan beleid tersebut sebagai bancakan untuk menaikkan PNBP dengan dalih kerusakan lingkungan.
“Kurang lebih seperti itu (bancakan PNBP). Jadi PNBP bukan dikembalikan ke lingkungan tapi jadi mobil baru, yang menikmati bukan rakyat terdampak,” katanya.
Hadiri Rakor Terbatas Bahas PSEL, Wali Kota Bekasi Siap Terapkan Teknologi Pengolahan Sampah |
![]() |
---|
Wali Kota Bekasi Tri Adhianto Hadiri Rakor di Kemenko Bidang Pangan Bahas PSEL |
![]() |
---|
Usai Didemo, Pemprov Jakarta Prioritaskan Warga Bantargebang Kerja di RDF |
![]() |
---|
Taman Safari Indonesia Diminta untuk Dicabut Izinnya, Bupati Bogor Menundanya dengan Dalih Evaluasi |
![]() |
---|
Cegah Banjir Bandang, Menteri Hanif Minta Bupati Bogor Cabut Izin Usaha 9 Bangunan Ilegal di Puncak |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.