Pembeli Semakin Sedikit, Pedagang Pasar Ciracas Terpaksa Menutup Kiosnya
Suasana suram juga tampak di lantai satu Pasar Ciracas di Jakarta Timur yang ditempati para pedagang pakaian.
Penulis: Miftahul Munir | Editor: Ign Prayoga
TRIBUNBEKASI.COM, CIRACAS -- Lorong-lorong gelap, lantai retak, dan deretan rolling door yang tertutup menjadi pemandangan umum di banyak pasar tradisional Jakarta. Salah satunya di Pasar Ciracas, Jakarta Timur, yang kini lebih sering diselimuti kesunyian ketimbang hiruk-pikuk transaksi jual beli seperti masa jayanya dulu.
Suasana suram juga tampak di lantai satu Pasar Ciracas di Jakarta Timur yang ditempati para pedagang pakaian. Pantauan pada akhir pekan lalu, hanya segelintir kios yang buka. Beberapa kios dalam kondisi tutup dan ditempeli tulisan ‘dikontrakkan’.
Tia, salah satu pedagang pakaian, lebih banyak duduk di depan kiosnya sambil menunggu pembeli. Kondisi ini berbeda apabila dibandingkan periode 10 tahun pertama Tia berdagang di Pasar Ciracas. “Dulu sehari bisa jual puluhan potong baju, sekarang paling empat,” katanya, Jumat (24/10/2025).
Berjualan pakaian di Pasar Ciracas sejak 2011, Tia memiliki dua kios pribadi dan satu kios sewa. Awalnya Tia hanya memiliki satu kios. Ketika usahanya berkembang, dia pun menambah kios.
Namun, keadaan berubah. Ketiga kios itu tak menghasilkan pendapatan sebesar dulu. Kini, salah satu kios dijadikan gudang.
Pada masa keemasannya, Tia memiliki dua pegawai dan bisa meraup omzet hingga Rp 800 ribu dalam tempo tiga jam, mulai dari buka kios pukul 08.00 hingga pukul 11.00 WIB.
Lima tahun terakhir, penjualan pakaian di Pasar Ciracas mulai meredup. Satu per satu kios pakaian pun tutup. “Kondisi sekarang sepi sekali. Hampir 50 persen pedagang di sini sudah gulung tikar, terutama yang kiosnya sewa,” ujarnya.
Di tengah situasi tersebut, Tia dan para pedagang bakal menghadapi tantangan lain. Masa kontrak seluruh kios Pasar Ciracas akan berakhir pada 2029. Setelah itu, posisi kios akan dikocok ulang oleh pihak pengelola yakni Perumda Pasar Jaya, perusahaan milik Pemprov Jakarta yang bertugas mengelola pasar.
Para pemilik lama seperti Tia tidak bisa memilih lokasi strategis. “Sistemnya undian, jadi belum tentu dapat tempat di bagian depan,” katanya.
Pada masa sekarang, transaksi antara pedagang dan penjual tak selalu dilakukan secara tatap muka karena bisa dilakukan secara online. Hasil survei Populix menunjukkan, belanja online sangat popular di kalangan usia 18-21 tahun dan 22-28 tahun, masing-masing 35 persen dan 33 persen.
Sedangkan usia 29-38 tahun berada di posisi ke tiga sebesar 18 persen. Mereka termasuk generasi milenial (kelahiran 1981-1996) dan generasi Z (kelahiran 1997 ke atas) dan tumbuh di tengah perkembangan teknologi yang pesat.
Kemampuan adaptasi teknologi ini membuat teknologi e-commerce mudah diadopsi oleh kedua generasi ini.
Secara populasi, kedua generasi ini mendominasi piramida penduduk Indonesia. Hal itu pula yang menjadikan milenial dan gen z menjadi pasar terbesar e-commerce di Indonesia.
Tia tak menggunakan strategi jualan online. Dia tetap berjualan secara konvensional karena tak memahami cara berjualan online.
Menurut Tia, masalah yang terjadi saat ini adalah penurunan daya beli, bukan perkara jualan oflline atau online.
Tia mengatakan, rekan-rekannya yang berjualan secara online pun kini mengeluhkan penurunan jumlah pembeli. “Ekonomi lagi anjlok. Mau online, mau offline, semua sepi,” tuturnya.
Situasi muram yang dialami para pedagang selaras kondisi pasar yang terkesan kurang nyaman. Lantai keramik banyak yang terkelupas. Di area penjual daging, lantainya becek dan udaranya dipenuhi aroma menyengat.
Transaksi di pasar basah ini mirip yang terjadi pada area kering. Seorang pedagang bahan pokok, Hj Mujiati mengatakan, daya beli masyarakat mengalami penurunan tajam sejak pandemi.
Omzet pedagang bahan pokok sepertinya dirinya juga tergerus. “Dulu bisa dapat jutaan rupiah sehari, sekarang untuk dapat ratusan ribu saja sulit sekali,” ucapnya.
Mujiati menilai, masyarakat kini lebih memilih berbelanja ke tukang sayur dekat rumah atau melalui layanan oline. “Harga bahan pokok naik terus, orang mikir dua kali kalau mau ke pasar,” katanya.
Meski begitu, Mujiati tetap bersyukur masih bisa berjualan. “Yang penting sehat. Soal pembeli, ya sudah nasib. Sekarang jam 12 siang saja sudah tutup karena enggak ada yang datang,” ujarnya pasrah.
Para pedagang menyatakan belum ada upaya nyata dari pihak pengelola untuk meningkatkan kunjungan pembeli. Renovasi pasar yang sudah dilakukan tidak berdampak besar terhadap peningkatan aktivitas ekonomi. Sementara, tagihan dari pengelola pasar terus datang setiap bulan. Mujiati mengaku rutin membayar Rp 300 ribu untuk listrik dan iuran kebersihan.
Harga Sewa Kios
Suasana muram juga terlihat di pasar tradisional Radio Dalam, Jakarta Selatan, pada Sabtu (25/10). Hanya sedikit pembeli melintas di lorong-lorong pasar, sementara banyak kios tertutup rapat. Sebagian bahkan disegel karena tunggakan sewa yang menumpuk selama bertahun-tahun.
Kondisi sepi ini, menurut para pedagang, sudah lama terjadi. Mereka saat ini berada pada posisi berjuang agar usahanya tetap bertahan di tengah minimnya pengunjung. Di sisi lain, pengelola pasar yakni Perumda Pasar Jaya, dinilai kurang aktif untuk menghidupkan kembali aktivitas ekonomi.
“Kami rutin bayar iuran bulanan, tapi pasarnya tetap aja sepi. Harusnya PD (perusahaan daerah) jangan cuma doyan nagih iuran, tapi juga kreatif biar pasar ramai,” ujar Roy (35), pedagang sayur.
Roy menjelaskan, biaya sewa kios memang tergolong murah, hanya Rp 125 ribu per bulan. Namun, pedagang tetap terbebani biaya besar lainnya, mulai dari pembelian kios yang mencapai Rp50 juta hingga biaya keamanan, listrik, dan pengelolaan sampah. “Pasarnya sepi, tapi pengeluaran terus ada,” ujarnya.
Keluhan serupa datang dari Sulistyo, pedagang ayam kampung. Ia mengatakan, banyak kios disegel karena pemiliknya tidak sanggup membayar iuran di tengah sepinya pembeli.
“Sejak Covid, banyak yang nggak sanggup bayar. Tapi (Perumda) Pasar Jaya nggak kasih solusi biar pasar hidup lagi. Harusnya ada promosi, papan nama besar, atau parkiran yang layak,” ucapnya.
Sulistyo menilai, salah satu penyebab utama sepinya Pasar Radio Dalam adalah minimnya fasilitas pendukung. Letak pasar yang tersembunyi tanpa papan penanda besar membuat masyarakat tidak tahu keberadaan pasat tersebut.
Area parkir yang sempit juga menyulitkan pembeli untuk berkunjung. “Kalau pasarnya nyaman dan mudah diakses, pasti pedagang juga semangat bayar kewajiban,” tambahnya.
Para pedagang kini berharap Perumda Pasar Jaya lebih fokus pada upaya meningkatkan kunjungan dan memperbaiki fasilitas pasar, bukan hanya menagih iuran. “Kalau pasarnya ramai, kami juga lancar bayar kewajiban. Jangan cuma nyegel-nyegel kios, tapi biarkan pasar mati,” kata Roy.
Kondisi Pasar Paseban di Jalan Kramat Raya, Senen, Jakarta Pusat, juga memprihatinkan. Pasar yang dahulu ramai kini tampak kumuh dan hampir mati aktivitas jual belinya. Pantauan di lokasi pada Jumat (24/10/2025), suasana sepi langsung terasa sejak pintu masuk. Di sisi kiri pasar berjajar penjual pakaian, sementara di kanan terdapat pedagang elektronik. Di bagian belakang, hanya terlihat beberapa kios sayur mayur dan toko emas yang masih buka.
Pada lorong pasar, tampak satu atau dua pengunjung melintas tanpa berhenti untuk berbelanja. Namun, pengunjung datang hanya untuk membandingkan harga dengan toko online, bukan untuk membeli. Para pedagang terlihat duduk sambil memainkan ponsel, sesekali merapikan dagangan mereka. Aktivitas jual beli hampir tak terdengar.
Bukan hanya sepi pengunjung, kondisi fisik pasar pun memprihatinkan. Lantainya banyak yang pecah dan terkelupas, lalu ada genangan air di beberapa titik, sementara dinding sejumlah toko mulai rusak.
Tangga menuju lantai dua pun tampak berkarat dan keropos, membahayakan pengunjung.
Selain itu, sejumlah toko terlihat tutup dengan menempelkan kertas bertuliskan “Toko Dikotrakan”. Ada pula surat peringatan dari PD Pasar Jaya terkait tunggakan Biaya Pengelolaan Pasar (BPP) yang mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah.
Nur, salah satu pedagang pakaian, mengaku prihatin melihat keadaan pasar. “Dulu sewa toko bisa Rp 12 sampai Rp 15 juta per tahun, tergantung posisi. Sekarang turun jadi sekitar Rp2 juta, tapi tetap sepi pembeli,” ujarnya sambil merapikan dagangan.
Ia menilai, bukan kondisi bangunan yang menjadi masalah utama, melainkan penurunan minat masyarakat berbelanja di pasar tradisional. “Pembeli cuma lewat, jarang yang beli. Dulu kita hafal wajah pelanggan, sekarang yang datang cuma lihat-lihat,” kata Nur.
Hal senada diungkapkan Helmi, pedagang Pasar Paseban. Ia mengaku kesulitan menutup biaya hidup karena dagangannya tak laku. “Sejak pandemi makin sepi, sekarang parah sekali. Kadang buat makan sehari aja susah,” ujarnya. (m27/m26/m32/m31)
| Penganiaya Mantan Ketua RT di Ciracas Jaktim Menyangkal Perbuatannya |
|
|---|
| Perumda Tirta Bhagasasi Potensi Kehilangan 14.000 Ribu Pelanggan Pascapemisahan Aset |
|
|---|
| Miris! Perumda Tirta Patriot Bekasi Mendapat Rating Rendah 2,0 di Google |
|
|---|
| Melalui Pusbinroh, Perumda Pasar Jaya Hadiahi Ibadah Umrah Bagi Pegawai Hingga Pegiat Pasar |
|
|---|
| Tarif Parkir Disinsentif bagi Mobil yang Belum atau Gagal Uji Emisi Mulai Dikenakan di Pasar |
|
|---|
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/bekasi/foto/bank/originals/Pasar-Ciracas-Jaktim.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.