Berita Nasional
Pengamat Keuangan Sebut Utang Obligor BLBI Sedikit Menutup Defisit APBN Akibat Pandemi Virus Corona
Pengamat keuangan Ariston Tjendra mengatakan tekad pemerintah yang kuat mengejar utang obligor BLBI, karena kebutuhan yang mendesak.
TribunBekasi.com, Jakarta - Pengamat keuangan Ariston Tjendra mengatakan tekad pemerintah yang kuat mengejar utang obligor BLBI, karena kebutuhan yang mendesak.
Seperti diketahui, saat ini ekonomi nasional sedang terpukul akibat pandemi virus corona.
Sektor riil yang rontok akibat daya beli masyarakat yang terjun bebas, membuat APBN defisit.
Baca juga: SMPN 2 Kota Bekasi Awasi Pelajar yang Nongkrong Usai PTM Melalui Group WA Orangtua
Berbagai cara pun dicari untuk mengatasi masalah tersebut, salah satunya dengan mengejar 48 obligor BLBI tadi.
Jika ditotal, utang 48 obligor kakap ini mencapai Rp 110 triliun.
Menurut Ariston, kalaupun utang ratusan triliun itu dibayar lunas sekaligus, tidak bisa membantu banyak dalam kesulitan menutup defisit APBN.
"Total utang BLBI Rp 110 triliun itu ya pastinya tidak bakal menutup penuh defisit, tapi setidaknya penerimaan bertambah,” ujarnya,” Senin (30/8/2021).
“Lagian belum tentu juga penagihan terhadap individu-individu tersebut bisa dibayar lunas sekaligus, pastinya perlu waktu untuk proses tagihnya," imbuhnya melalui pesan singkat kepada Tribunnews.
Selanjutnya, Ariston menjelaskan, penagihan utang BLBI bukan jalan pintas untuk mengejar penerimaan karena proses berlangsung lama.
Baca juga: Setiap Kali Chelsea FC Menang, 3 Indonesia Bakal Berikan Kuota Ekstra Hingga 10GB
"Mengingat BLBI ini juga sudah lama, sudah sejak 1998. Namun, utang BLBI ini ya memang harus ditagih," tegasnya.
Dia merincikan, defisit APBN 2020 lebih dari Rp 900 triliun, begitu juga dengan perkiraan di 2021 masih di atas Rp 900 triliun.
Defisit APBN sudah mencapai kisaran enam persen dari produk domestik bruto (PDB), itu memang akibat terkena dampak pandemi Covid-19.
Sementara sebelum pandemi, defisit APBN 2019 sekitar Rp 350 triliun atau 2,2 persen, sehingga pelebaran menjadi enam persen tersebut di luar kewajaran.
"Ini karena pendapatan turun dan diperkirakan biaya tambahan untuk mengendalikan pandemi," pungkas Ariston.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Kusfiardi menyoroti sikap pemerintah dalam penagihan utang obligor dan debitur BLBI senilai Rp 110 triliun.
Baca juga: Lebih Memilih Berhati-hati, Kegiatan Belajar Mengajar di Karawang Masih Daring