Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, setelah menerima Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) cum Presiden Partai Buruh, Said Iqbal di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 November 2024.
TRIBUNBEKASI.COM — Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan tidak berlaku lagi seiring dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, menegaskan hal itu setelah menerima Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu, 6 November 2024.
Sufmi Dasco Ahmad menegaskan bahwa PP 51 Tahun 2023 tersebut tak lagi berlaku seiring dengan keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
"Intinya bahwa sesuai dengan keputusan MK, bahwa kami dari DPR menyatakan bahwa memang PP 51 itu sudah tidak berlaku," kata Sufmi Dasco Ahmad.
Ketua Harian DPP Partai Gerindra ini menyebut, DPR dan pemerintah akan mengkaji mengenai pengupahan.
"Menyikapi keputusan MK mengenai upah dan lain-lain tadi sudah disepakati bahwa buruh, pemerintah, dan DPR akan mengkaji," ujar Sufmi Dasco Ahmad.
BERITA VIDEO: LAUTAN BURUH PADATI KAWASAN PATUNG KUDA, MINTA OMNIBUS LAW DICABUT
Sufmi Dasco Ahmad menuturkan, pihaknya akan mengkaji agar upah yang ditetapkan nantinya tidak merugikan buruh maupun pengusaha.
"Dan membahas dengan seksama bagaimana indeks upah buruh supaya tidak ada yang dirugikan baik dari pengusaha maupun buruh," jelasnya.
Sementara itu, Said Iqbal menyatakan upah minimun harus diberlakukan per 1 Januari 2025.
"Nah, kalau kita tarik mundur aturan Permenaker yang lama, bahwa 60 hari sebelum diberlakukan upah minimum, berarti kan 1 November 2024 sudah diputuskan. Dan itu sudah berlaku," ucapnya.
Sebelumnya, Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara uji materiil nomor 168/PUU/XXI/2024 tentang Undang-Undang Cipta Kerja yang diucapkan dalam sidang pada Kamis (31/10/2024) mewajibkan pelibatan Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan.
Para Pemohon sebelumnya mendalilkan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan prinsip otonomi daerah sebagaimana diatur dalam Paaal 18 UUD NRI Tahun 1945.
Hal tersebut karena aturan itu hanya memberikan kewenangan penetapan kebijakan pengupahan kepada pemerintah pusat, dan menghilangkan peran pemerintah daerah dalam pengaturan upah minimum.
Hakim Konstitusi Saldi Isra dalam pertimbangan yang diucapkannya saat sidang tersebut menjelaskan, menurut Mahkamah dengan mendasarkan pada UUD NRI Tahun 1955 telah ditegaskan bahwa pemerintah daerah tingkat provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan urusan pemerintagan menurut asas otomomi dan tugas pembantuan.
Dalam konteks ini, lanjut Saldi, pemerintah daerah melakukan dua fungsi sekaligus, yaitu fungsi mengatur/mengurus dirinya sendiri serta fungsi sebagai kepanjangan tangan Pemerintah Pusat dalam konteks tugas pembantuan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945.
Namun demikian, lanjutnya, cakupan otonomi daerah bukanlah tanpa batas.
Dalam konteks negara kesatuan, UUD NRI Tahun 1945 memberikan batasan-batasan terhadap sifat dan cakupan otonomi tersebut.
Di mana dalam Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, sambungnya, menegaskan pembatasan tersebut berupa "kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat".
Ketentuan Pasal 18 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 tersebut, ucapnya, menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah dalam penyelenggaraan urusan serta pembagian urusan dimaksud antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah harus diatur dalam undang-undang.
Dalam kaitan ini, kata Saldi, pembentuk undang-undang telah menentukan kewenangan absolut pemerintah pusat dan kewenangan yang dalam penyelenggaraannya dapat dibagi antara pusat dan daerah dengan mendasarkan pada sistem negara kesatuan (urusan konkuren).
Merujuk Pasal 13 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, kata Saldi, pembagian urusan konkuren tersebut didasarkan pada prinsip akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan kepentingan strategis nasional .
Berkenaan dengan urusan ketenagakerjaan, lanjutnya, jika dibaca secara seksama UU 14/2003 dan perubahannya dalam UU Cipta Kerja, telah menentukan bahwa pemerintah daerah diberikan beberapa urusan terkait dengan ketenagakerjaan, antara lain pengaturan mengenai kewenangan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah dalam pembinaan pelatihan kerja dan pemagangan.
Selain itu juga pengaturan mengenai kewenangan pemerintah pusat atau pemerintag daerah untuk mengenakan sanksi admonisttatif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan yang diatur dalam UU tersebut.
Pembagian urusan tersebut, ungkapnya, menunjukkan bahwa dalam sistem negara kesatuan tidak ada kewenangan konkuren yang hanya dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa membaginya kepada pemerintag daeeah sesuai dengan prinsip pembagian urusan.
Namun demikian, terkait dengan kewenangan "menetapkan kebijakan pengupahan" Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 menentukannya sebagai kewenangan pemerintah pusat.
Ia mengatakan ketentuan itu sama dengan sebelumnya yang telah ditentukan dalam Pasal 88 ayat (2) UU 13/2003, yang menyatakan "...pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh".
Artinya, kata Saldi, sejak semula pemerintah daerah tidak diberi kewenangan dalam menetapkan kebijakan pengupahan.
Sebab, ujarnya, kebijakan pengupahan yang ditetapkan oleh pemerintah pusat tersebut berlaku secara nasional dan merupakan bagian dari kebijakan strategis nasional.
Oleh karena itu, kata Saldi, sesuai dengan prinsip pembagian urusan salah satunya adalah kepentingan strategis nasional, maka untuk "menetapkan kebijakan pengupahan" dalam sistem negara kesatuan sebagai aspek yang strategis maka dengan sendirinya merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Namun, dalam proses untuk menentukan kebijakan pengupahan sebagai sebuah kebijakan strategis nasional tidak dapat dilakukan secara sentralistik oleh pemerintah pusat, sebagaimana yang dikhawatirkan para Pemohon karena pemerintah daerah tidak mendapatkan peran dalam penetapan upah minimum.
Dalam konteks ini, lanjut dia, perlu diperhatikan ketentuan Pasal 3 UU 13/2003 yang masih berlaku yang menyatakan, "Pembangunan ketenagakerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah."
Artinya, kata Saldi, sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan suatu keniscayaan dalam rangka pembangunan ketenagakerjaan.
Oleh karena itu, ujarnya, keterlibatan pemerintah daerah menjadi sangat penting artinya dalam proses penyusunan kebijakan pengupahan.
Hal itu agar dapat tersusunnya sebuah kebijakan pengupahan yang strategis dan sejalan dengan tujuan untuk mewujudkan hak pekerja/buruh atas penhidupan yang layak bagi kemanusiaan dan sejalan dengan salah satu tujuan pembangunan ketenagakerjaan yakni "memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan".
Sebab, ucapnya, dalam penyusunan kebijakan pengupahan ditetapkan aspek-aspek penting.
Aspek itu meliputi upah minimum, struktur dan skala upah yang proporsional, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu, bentuk dan cara pembayaran upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah, dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.
Ia mengatakan hal tersebut tentunya tidak dapat diputuskan dan ditetapkan secara sepihak oleh pemerintah pusat.
"Artinya, penyusunan kebijakan pengupahan tersebut harus melibatkan banyak pihak. Kekhawatiran para Pemohon atas tidak adanya peran pemerintah daerah tidaklah beralasan," ucap Saldi.
"Karena keberadaan pemerintah daerah justru ditegaskan oleh Pasal 98 ayat (1) dalam. Pasal 81 angka 39 UU 6/2023 yang memiliki kewenangan dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan melalui dewan pengupahan," sambungnya.
Dengan adanya kewenangan pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan, lanjutnya, dapat menjadi salah satu upaya daerah untuk memastikan bahwa kebijakan perumusan pengupahan merupakan bukti adanya sikap responsif terhadap upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak.
Hal ini, sambungnya, mengingat pemerintah daerah memiliki pemahaman yang lebih mendalam mengenai potensi, tantangan, dan realitas yang dihadapi oleh tenaga kerja dan pengusaha di daerah mereka masing-masing.
"Selain pemerintah daerah yang harus dilibatkan dalam perumusan kebijakan pengupahan, peran dewan pengupahan juga memegang arti penting untuk terlibat aktif dalam memberikan saran dan pertimbangan yang bermakna agar dapat tersusun sebuah kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah pusat," kata Saldi.
Terlebih, lanjutnya, unsur dari dewan pengupahan tersebut sesuai dengan tingkatan daerahnya adalah pemerintah, organisasi pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh, pakar dan akademisi.
Oleh karena itu, kata Saldi, pemerintah pusat tidak dapat menetapkan kebijakan pengupahan tanpa sungguh-sungguh memerhatikan aspirasi daerah termasuk pemerintah daerah melalui proses yang bersifat bottom up.
Ia mengatakan dalam hal ini, apabila dicermati secara seksama norma Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 UU Cipta Kerja telah ternyata sama sekali tidak memuat ketentuan berkenaan dengan keterlibatan dewan pengupahan daerah.
Padahal, kata Saldi, dalam perumusan kebijakan pengupahan telah ditentukan dalam Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 UU Cipta Kerja yang mengatur keterlibatan dewan pengupahan yang di dalamnya terdapat keterlibatan pemerintah daerah.
Dengan demikian, untuk mendapatkan kejelasan dan kepastian dalam penetapan kebijakan pengupahan maka ketentuan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023, menurut Mahkamah, perlu dilakukan pemaknaan "dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebujakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan".
"Berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, menurut Mahkamah, oleh karena norma Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 tidak secara tegas melibatkan dewan pengupahan daerah termasuk pemerintah daerah dalam penetapan kebijakan pengupahan," ucap Saldi.
"Maka dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk sebagian," sambungnya.
Hal itu juga ditegaskan dalam amar putusan yang diucapkan oleh KetuaMKSuhartoyo.
Terdapat 25 poin dalam amar putusan yang dibacakan oleh Suhartoyo.
Namun terkait hal itu ditegaskan dalam poin 10 dan poin 18 amar putusan tersebut.
Berikut bunyi lengkapnya:
10. Menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan";
18. Menyatakan Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif";
Sebelumnya, Majelis Hakim Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materil undang-undang Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah serikat buruh lainnya dalam sidang pengucapan putusan di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) Jakarta Pusat pada Kamis lalu, 31 Oktober 2024.
Dalam amar putusan perkara nomor 168/PUU/XXI/2024 yang dibacakan KetuaMKSuhartoyo tersebut terdapat 25 poin amar putusan.
"Mengadili: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kata Suhartoyo.
Berikut ini selengkapnya:
2. Menyatakan frasa "Pemerintah Pusat" dalam Pasal 42 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undant-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja,";
3. Menyatakan Pasal 42 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undant-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertetntu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia";
4. Menyatakan Pasal 56 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 12 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama lima tahun, termasuk jika terdapat perpanjangan";
5. Menyatakan Pasal 57 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 13 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf Latin";
6. Menyatakan Pasal 64 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 18 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Pemerintah memetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya";
7. Menyatakan Pasal 79 ayat (2) huruf b dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai mencakup frasa, "atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu";
8. Menyatakan kata "dapat" dalam Pasal 79 ayat (5) dalam Pasal 81 angka 25 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan berdasarkan Perjanjian Kerja" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat;
9. Menyatakan Pasal 88 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "termasuk penghasilan yang menenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua";
10. Menyatakan Pasal 88 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 27 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnua terdaoat unsur pemerintah daerah dalam perumisan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan";
11. Menyatakan frasa "struktur dan skala upah" dalam Pasal 88 ayat (3) huruf b dalam Pasal 81 angka 27 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "struktur dan skala upah yang proporsional";
12. Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 26 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayau provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota";
13. Menyatakan frasa "indeks tertentu dalam Pasal 88D ayat (2) dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "indeks tertentu merupakan variabel yamg mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh";
14. Menyatakan frasa "dalam keadaan tertentu" dalam Pasal 88F dalam Pasal 81 angka 28 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan";
15. Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakayan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Buruh di Perusahaan";
16. Menyatakan Pasal 92 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 33 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Pengusaha wajih menyusum struktur dan skala upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi";
17. Menyatakan Pasal 95 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 36 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukam pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan", bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Hal lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahylukam pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur prederens kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan";
18. Menyatakan Pasal 98 ayat (1) dalam Pasal 81 angka 39 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) yang menyatakan "Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan" bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara aktif";
19. Menyatakan frasa "wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh" dalam Pasal 151 ayat (3) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh";
20. Menyatakan frasa "pemutusan hubungan kerja dilakukam melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubunhan industrial" dalam Pasal 151 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 40 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkam kesepakatan maka Pemutusan Hubunhan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap";
21. Menyatakan frasa "dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya" dalam norma Pasal 157A ayat (3) dalam Pasal 81 angka 49 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang PPHI";
22. Menyatakan frasa "diberikan dengan ketentuan sebagai berikut" dalam Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, "paling sedikit";
23. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia;
24. Menyatakan permohonan para Pemohon berkenaan dengan norma Pasal 156 ayat (4) dalam Pasal 81 angka 47 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856) tida dapat diterima.
25. Menolak peemohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya.
Sidang yang dimulai sekira pukul 09.00 WIB tersebut sempat diskors sebanyak dua kali yaitu sekira pukul 12.00 WIB dan pukul 16.00 WIB.
Usai sidang, Kuasa Hukum Partai Buruh Said Salahudin mencatat setidaknya terdapat 21 norma dimohonkan pihaknya yang dikabulkan oleh Majelis Hakim Konstitusi.
Sebanyak 21 norma tersebut mencakup tujuh isu.
Tujuh isu tersebut yakni upah, outsourcing, PKWT atau karyawan kontrak, PHK, pesangon, cuti dan istirahat panjang, dan tenaga kerja asing.
"Intinya adalah harus dilakukan pembentukan undang-undang baru ketenagakerjaan. Tetapi Partai Buruh mendorong agar sebelum dibentuknya Undang-Undang secara normatif oleh DPR ada baiknya untuk ditetapkan Perppu," ungkap
Presiden Partai Buruh Said Iqbal mengaku terharu atas keputusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Konstitusi tersebut.
Said iqbal juga mengapresiasi para hakim Konstitusi di mana keputusan tersebut bulat diputuskan oleh sembilan hakim tanpa dissenting opinion.
Ia mengatakan keputusan tersebut adalah kemenangan rakyat kedua kalinya.
"Ini adalah kemenangan rakyat yang kedua kalinya. Pertama ketikaMKmemutuskan revisi terhadap undang-undang Pilkada," kata Said Iqbal.
"Kemenangan kedua yang dilakukan judicial review oleh Partai Buruh adalah kemenangan kaum buruh termasuk rakyat kecil yang bekerja di sektor informal," sambung dia. (Tribunnews.com/Fersianus Waku/Gita Irawan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.