Berita Nasional

Dewan Guru Besar UI Sebut DPR Khianati Konstitusi, Indonesia kini Dalam Bahaya Otoritarianisme

Akibat tingkah DPR yang mengkhianati konstitusi, DGB UI mengingatkan bahwa Indonesia kini berada dalam bahaya otoritarianisme.

Editor: Ichwan Chasani
Tribunnews.com/Gita Irawan
Ilustrasi - Massa aksi dari aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) tiba di gerbang utama DPR RI Senayan Jakarta pada Senin (11/4/2022) sekira pukul 13.50 WIB. 

Para wakil rakyat mempertontonkan itu ketika mengubah 180 derajat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang semestinya berlaku final dan mengikat sesuai perintah Undang-Undang Dasar 1945.

"Kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg DPR, tapi cara ini, buat saya pribadi, ini adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, dalam hal ini MK yang tidak lain adalah lembaga negara yang oleh Konstitusi ditugasi untuk mengawal UUD 1945," kata eks hakim MK 2 periode, I Dewa Gede Palguna, yang kini mengetuai Majelis Kehormatan MK, Rabu (21/8/2024).

Semua ini melibatkan orang-orang yang sama, juga partai-partai yang nyaris sama: partai-partai di dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), sekoci Presiden Joko Widodo setelah pisah ranjang dengan PDI-P

Semua tahu, MK pernah terlibat skandal putusan kontroversial soal syarat usia minimum capres-cawapres pada 16 Oktober 2023.

Baca juga: Lowongan Kerja Bekasi: PT Indo Creative Mebel Butuh HSE Officer

Baca juga: Jadi Calon Tunggal, Bahlil Lahadalia Resmi Ditetapkan sebagai Ketua Umum Golkar Periode 2024-2029

Dalam Putusan 90/PUU-XXI/2023 itu, MK secara janggal mengabulkan gugatan yang tidak pernah disidangkan dan baru saja didaftarkan ke MK dalam tempo dua pekan sebelumnya.

Putusan itu pun bersifat ultra petita--MK merumuskan sendiri pelonggaran usia capres-cawapres dengan klausul "pernah menjadi pejabat hasil pemilu".

Putusan ini membukakan pintu untuk putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming, maju sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto berbekal pengalamannya sebagai Wali Kota Solo meski belum genap 40 tahun.

Ketika itu, DPR anteng-anteng saja meskipun kejanggalan putusan itu berserakan di depan mata.

Proses pencalonan Gibran pun melenggang begitu saja di KPU tanpa perlu revisi UU Pemilu.

Apa boleh buat, seperti kata UUD 1945, putusan MK memang sudah dengan sendirinya berlaku final dan mengikat sehingga tak dapat ditelikung dengan revisi UU Pemilu. Suka atau tidak suka.

Baca juga: Inilah Upaya Tepat Menurut Pj Wali Kota Bekasi untuk Realisasikan Lapangan Pekerjaan Baru 

Baca juga: Warga Kota Bekasi Segera Memiliki Dua Lapangan Olahraga Serbaguna Terbaru di Rawalumbu

Namun, ternyata logika hukum bisa dibuat begitu cair mengikuti dinamika politik.

Padahal, jika konsisten dengan prinsip "final dan mengikat" putusan MK, partai-partai KIM yang tergabung di DPR seharusnya menghormati Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Apa daya, putusan itu menegaskan bahwa titik hitung usia minimal calon kepala daerah 30 tahun harus diambil sejak penetapan pasangan calon oleh KPU.

Ini merugikan putra bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, yang telah memperoleh lampu hijau dari KIM untuk maju sebagai cawagub Jawa Tengah bersama pensiunan polisi Ahmad Luthfi.

Pasalnya, jika menggunakan putusan MK, Kaesang tidak memenuhi syarat maju Pilkada 2024 karena masih berusia 29 tahun pada saat penetapan calon dilakukan KPU pada 22 September 2024 mendatang.

Halaman
1234
Sumber: Tribunnews.com
Berita Terkait
  • Ikuti kami di

    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved